APAKAH LOBSTER AKAN PUNAH?
Kemampuan manusia untuk menciptakan tren telah membawa lobster keluar dari liangnya, dimana pada abad ke-19 biota ini hanya dikenal sebagai hidangan bagi golongan rakyat tak mampu. Lobster, dengan kulitnya yang tebal dan keras serta capit besarnya, kemudian mulai mendapatkan tempat yang istimewa bagi penikmat hidangan laut di seluruh dunia.
Cepatnya laju pasar yang dinamis akan kebutuhan lobster, telah mendongkrak kehidupan nelayan di seluruh dunia, namun akibatnya bersifat tetap dan dapat diduga. Perikanan lobster di perairan selatan Lombok, termasuk perairan Lombok Tengah, yang dulu berlimpah, sekarang sangat bergantung pada musim. Dari dua pengumpul lobster di wilayah Teluk Gerupuk dan Mawun yang diamati, hasil tangkapan lobster pada bulan Mei hingga akhir tahun ketika musim selatan yang berangin kencang sangat sedikit bahkan tidak ada tangkapan sama sekali.
Ketika lobster berukuran besar susah didapat, tak ayal benih pun ditangkap demi menyambung kehidupan. Pengetahuan tentang lobster telah membawa nelayan untuk menciptakan alat tangkap yang efektif untuk memancing benih-benih lobster, dikenal dengan nama Pocong.
Agar tetap mendapatkan penghasilan, para nelayan di wilayah Lombok Tengah berfokus pada penangkapan benih-benih lobster dengan menggunakan alat tangkap pocong yang dipasang pada keramba jaring apung.
Pocong terbuat dari karung plastik berfungsi sebagai substrat bagi anakan lobster yang menjadi tempat menempelnya anakan lobster. Kemudian anakan lobster tersebut dipanen oleh nelayan dan dibawa menuju kolam-kolam penampungan
Penangkapan anakan lobster berukuran 0,5-1,5 cm ini dilakukan setiap hari sepanjang tahun, kecuali saat bulan purnama. Dalam sehari, jumlah anakan lobster yang tertangkap bisa mencapai 10.000 ekor. Bahkan dalam satu bulan bisa mencapai 100.000 ekor.
Anakan lobters yang terkumpul dijual oleh nelayan kepada pengumpul dengan harga mencapai Rp 15.000,00 per ekor. Dari para pengumpul, anakan lobster ini kemudian diekspor ke luar negeri, seperti Vietnam dan Cina lalu dibesarkan sampai mencapai ukuran konsumsi.
Apabila dikaji lebih dalam, pengusahaan penangkapan anakan lobster ini sebenarnya sangat merugikan bagi perikanan di Lombok Tengah. Secara ekonomi, harga per ekor teramat murah, dan secara ekologi, kondisi ini memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan perikanan lobster.
Siklus hidup lobster membutuhkan waktu yang cukup lama (3-4 tahun dari ukuran anakan). Eksploitasi anakan lobster secara besar-besaran ini akan menyebabkan recruitment overfishing, mengancam keberlanjutan stok lobster dewasa di alam.
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia melalui Peraturan Menteri Nomor 1/Permen-KP/2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus) telah menegaskan dalam Pasal 3 tentang ukuran tangkap yang dibolehkan. Ukuran tangkap yang diizinkan untuk lobster adalah dengan ukuran panjang karapas di atas 8 cm serta mewajibkan pelepasan kembali spesies laut yang dalam kondisi bertelur.
Peraturan tersebut akan dilakukan secara bertahap, secara umum tentunya sangat menjamin proses rekrutmen ketiga komoditas tersebut di alam. Namun, kondisi ini bertentangan dengan kegiatan penangkapan anakan lobster di Lombok Tengah. Penangkapan anakan yang ukurannya jelas kurang dari 8 cm akan mengganggu kestabilan stok yang seharusnya sudah didukung dengan Peraturan Menteri tersebut.
WWF-Indonesia mendukung penerapan Peraturan Menteri tersebut dan prihatin akan kegiatan eksploitasi anakan lobster secara berlebihan di alam. Sebagai upaya mitigasi dari recruitment overfishing, salah satu langkah yang dapat diambil adalah pengalihan mata pencaharian dengan menggali potensi sumber daya ikan lokal yang ada. Selain itu, perlu dilihat pula potensi daerah setempat yang bisa dikembangkan. Karena jika nelayan hanya mengandalkan penangkapan lobster, lama kelamaan sumber dayanya pun akan habis.
Permintaan tinggi terhadap lobster membuat biota ini ditangkap dengan segala cara dalam jumlah besar. Jika kondisi ini masih terus berlangsung, sejumlah ahli perikanan dunia memperkirakan bahwa di tahun 2048, warga dunia hanya hanya dapat mengkonsumsi ubur-ubur dan plankton. WWF berusaha untuk mengenalkan gagasan "sustainable seafood" kepada konsumen dan mendorong mereka untuk memilih hidangan laut secara bijak. Jadilah penikmat hidangan laut yang bijak dengan mengunduh Seafood Guide.
Penulis: Adrian Damora – Fisheries Science Officer WWF-Indonesia