ALIH FUNGSI HUTAN DESAK POPULASI GAJAH KERDIL BORNEO
JAKARTA – Organisasi konservasi WWF Indonesia dalam penelitiannya sejak tahun 2007 hingga 2011 mengungkap keberadaan gajah Borneo (Elephas maximus borneensis) dengan perkiraan populasi sementara pada kisaran 20-80 individu di wilayah utara Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Sabah, Malaysia. Namun, perambahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang terus terjadi menyebabkan semakin berkurangnya habitat serta wilayah jelajah gajah Borneo.
Hilangnya habitat hutan wilayah jelajah gajah Borneo, membuat satwa yang kerap dijuluki “Borneo pygmy elephant” atau gajah kerdil Borneo tersebut terdesak, sehingga kemudian memicu adanya konflik antara manusia dan gajah. Data WWF menunjukkan bahwa dari 2005 hingga 2007 tercatat sekitar 16 ribu tanaman sawit milik masyarakat dan perusahaan perkebunan rusak dimakan gajah. Dari hasil pemantauan, tahun 2005 hingga 2009 terdapat 11 desa yang rawan konflik gajah, semua desa-desa tersebut berada di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.
Untuk mengurangi resiko konflik gajah, khususnya di Kecamatan Tulin Onsoi Kabupaten Nunukan, WWF Indonesia bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim dan Pemerintah Kabupaten Nunukan membantu memfasilitasi pembentukan anggota Satuan Tugas (satgas) mitigasi konfik gajah yang anggotanya terdiri dari masyarakat setempat. Tugas utama Satgas adalah melakukan pencegahan dan penanggulangan konflik gajah.
“WWF Indonesia mengharapkan adanya dukungan operasional serta pendampingan dari pemerintah dan pihak swasta kepada anggota Satgas gajah tersebut,” kata Agus Suyitno, Staff Mitigasi Konflik Gajah WWF Indonesia di Nunukan. “Pemerintah dan semua pihak terkait diharapkan dapat mempertahankan hutan habitat gajah yang tersisa, agar konflik tidak bertambah besar,” tambah Agus.
Selain melakukan kerjasama dengan masyarakat, pemerintah dan LSM, WWF juga bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan konsesi yang beroperasi di wilayah habitat gajah untuk pengembangan dan implementasi rencana pengelolaan konservasi gajah, yang terintegrasi dalam pengelolaan konsesi secara berkelanjutan. Survei WWF-Indonesia tahun 2010 dan 2011 memfokuskan kegiatan di wilayah konsesi hutan alam PT Adimitra Lestari yang dilewati oleh sungai – sungai utama di Kabupaten Nunukan seperti Sungai Agison, Sibuda, Tampilon, Apan, dan merupakan habitat terakhir serta jalur lintasan gajah Borneo di wilayah Indonesia. Survei bertujuan memantau keberadaan gajah di habitat utamanya, sehingga informasi terbaru mengenai kondisi habitat, populasi dan pergerakannya dapat diketahui.
“Peran serta pihak swasta dalam pengelolaan habitat satwa dilindungi, khususnya di areal konsesi yang dimilikinya, menjadi kunci keberhasilan upaya perlindungan gajah Borneo,” ujar Anwar Purwoto, Direktur Program Kehutanan, Spesies dan Air Tawar, WWF-Indonesia. “WWF memberikan apresiasi kepada pemegang konsesi seperti PT Adimitra Lestari atas komitmennya untuk terlibat aktif melindungi spesies langka di dalam lahan konsesi mereka. Hal ini merupakanwujud implementasi ekonomi hijau dimana kegiatan produksi tidak menggangu populasi satwa yang terancam punah, namun bisa berjalan sering”, tambahnya.
WWF-Indonesia melalui program Global Forest & Trade Network (GFTN) memfasilitasi PT Adimitra Lestari dalam meningkatkan pengelolaan hutan alam yang mereka kelola. Artinya kegiatan operasional perusahaan tidak merusak habitat gajah, lintasan edar dan pohon – pohon yang menjadi pakan gajah. Gajah Borneo masih mampu bertahan hidup di dalam kawasan hutan produksi yang sedang ditebang, selama satwa ini disediakan ruang bergerak dan sumber pakan alami. . Penebangan kayu di hutan dapat berjalan bersama-sama dengan pelestarian gajah, selama praktiknya dilakukan secara tepat.
“Kami memiliki semangat dan komitmen tinggi untuk mengelola konsesi hutan alam secara bertanggung jawab. Kehadiran gajah Borneo sudah ada jauh sebelum kami beroperasi di wilayah tersebut, sehingga keberadaan mereka harus dihargai. Pengelolaan perusahaan kami sesuaikan dengan kebutuhan dan populasi gajah yang ada,” kata Bambang Supriambodo, Direktur Utama PT Adimitra Lestari.
Gajah Borneo merupakan subspesies terpisah dari gajah Sumatra dan daratan Asia lainnya – hal itu telah dibuktikan melalui uji DNA pada tahun 2003. Karena ukuran tubuhnya yang relatif paling kecil diantara gajah lainnya, Gajah Borneo kerap dijuluki “Borneo pygmy elephant” atau gajah kerdil Borneo. IUCN mengklasifikasikan satwa ini dalam kategori terancam (endangered).
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
- Agus Suyitno, Human-Elephant Conflict Officer, WWF Indonesia,email agoes.mpff@gmail.com
- Wiwin Effendy, Koordinator WWF-Indonesia di Kalimantan Timur, weffendy@wwf.or.id
- Desmarita Murni, Communications Manager, WWF-Indonesia, dmurni@wwf.or.id
Catatan untuk editor:
- Foto dan Lembar Fakta tentang gajah Borneo dapat didownload di http://www.mediafire.com/?6uxq7jt0oa4umqt ,dengan catatan pemakaian foto harus disertai dengan pencantuman copyright photo WWF
- Sebelas desa yang rawan terhadap konflik gajah di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur adalah Desa Semunad, Sekikilan, Kalun Sayan, Tembalang, Salang, Tinampak I, Tinampak II, Tau Baru, Naputi, Balatikon dan Sanur. Empat desa yang paling kerap terjadinya konflik gajah adalah desa Semunad, Sekikilan, Kalun Sayan dan Tembalang.
WWF-Indonesia
WWF-Indonesia merupakan bagian independen dari jaringan WWF dan afiliasinya, organisasi pelestarian global yang bekerja di 100 negara di dunia. Visi WWF-Indonesia adalah pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia untuk kesejahteraan generasi sekarang dan di masa mendatang. Sedangkan misi WWF-Indonesia mencakup: promosi etika pelestarian yang kuat, kesadaran serta aksi di kalangan masyarakat Indonesia; fasilitasi upaya multi pihak untuk melindungi keanekaragaman hayati dan proses ekologis dalam skala ekoregional; melakukan advokasi kebijakan, hukum dan penegakan hukum yang mendukung upaya pelestarian; dan promosi pelestarian bagi kesejahteraan masyarakat, melalui pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. (www.wwf.or.id)
Global Forest & Trade Network (GFTN)
GFTN-Indonesia adalah salah satu inisiatif WWF untuk mengeliminasi pembalakan liar (illegal logging) dan mendorong peningkatan manajemen hutan yang berkelanjutan. Dengan memfasilitasi jaringan perdagangan antar perusahaan yang berkomitmen dalam mencapai dan mendukung kehutanan bertanggungjawab, GFTN menjunjung tinggi sertifikasi hutan yang independen, berbasis multi pihak sebagai sebuah alat yang penting dalam mendorong manajemen hutan, dan perdagangan produk-produk kayu bertanggungjawab sepanjang rantai bahan baku. Melalui skema keanggotaan, GFTN – Indonesia saat ini memiliki 39 perusahaan anggota (13 HPH/ HTI dan 26 perusahaan industri) (www.wwf.or.id/gftn)