1,2 JUTA HA LAHAN MERAUKE UNTUK LUMBUNG PANGAN NASIONAL
Merauke - Presiden Jokowi pada tanggal 9 Mei 2015 yang lalu datang ke Merauke untuk melakukan panen raya diatas lahan sawah padi yang dikelola oleh PT. Parama Pangan Papua (PPP) di Wapeko. Pada kesempatan tesebut, Presiden juga mencanangkan Merauke menjadi pusat penghasil pangan padi nasional atau dikenal dengan istilah “ lumbung pangan nasional” dalam kurun waktu 3 tahun dengan cakupan lahan seluas 1,2 juta ha. Dengan luasan tersebut diperkirakan akan diperoleh produksi padi 24 ton per hektar per tahun maka secara keseluruhan akan dihasilkan sekitar 24 juta ton per tahun. Jumlah ini sama dengan 30 % produksi padi nasional (produksi padi nasional 70,83 juta ton per tahun).
Kebijakan dan pencanangan program tersebut mendapat tanggapan pro dan kontra. Kritikan banyak disampaikan oleh kelompok masyarakat, pemerhati masyarakat dan aktivis lingkungan hidup. Apakah ada kepastian masyarakat mendapatkan manfaat dan peningkatan kesejahteraan dari kebijakan ini menjadi hal utama yang dipertanyakan. Selain itu yang juga menjadi sorotan adalah bagaimana mencari luasan lahan untuk memenuhi angka 1,2 juta ha, apakah memanfaatkan lahan hutan dan lahan tidur? Lalu bagaimana pelibatan peran masyarakat adat sebagai pemilih hak ulayat?
Bertempat di Hall Room - Hotel Megaria - Merauke, pada tanggal 18 Juni 2015, Pemerintah Kabupaten Merauke bekerjasama dengan Yasanto, PUSAKA dan WWF Indonesia- Site Merauke menggelar kegiatan diskusi publik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas sekaligus memotivasi semua lapisan masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam mensukseskan kebijakan pemerintah menjadikan Merauke sebagai penghasil pangan nasional.
Dalam sambutannya pada acara diskusi ini, Bupati Merauke yang diwakili oleh Asisten I Bidang Pemerintahan, Drs. Agustinus Joko Guritno, M.Si, menyatakan, “kebijakan ini dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Merauke yang sudah diterima menjadi kebijakan nasional untuk kesejahteraan masyarakat. Kebijakan menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan nasional ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, sudah dihitung secara teknis untuk kesejahteraan masyarakat lokal atau siapa saja yang terlibat. Kegiatan yang dilakukan ini positif untuk membuat pemerintah lebih baik lagi dalam membuat program pelayanan masyarakat.”
Namun demikian, yang menjadi salah satu topik dalam diskusi publik ini adalah sebelum kebijakan pembukaan lahan 1,2 juta ha tersebut diimplementasikan, perlu dilakukan analisis ketersediaan ruang agar tidak terjadi konflik ruang. Sebagaimana diketahui bahwa sebelumnya Kabupaten Merauke telah ditetapkan sebagai pusat pengembangan pangan dan energi atau dikenal dengan nama “Merauke Integrated Food and Energy Estate-MIFEE”. Sesuai dengan pola ruang Kabupaten Merauke, luas daratan Kabupaten Merauke adalah 4.670.163 ha. Dari luas tersebut telah dialokasikan untuk kawasan perlindungan seluas 2.455.694 ha dan untuk kepentingan investasi seluas 1.598.822 ha. Areal ini sebelumnya dialokasikan untuk mendukung kepentingan nasional menjadikan Kabupaten Merauke sebagai pusat program MIFEE.
Direktur WWF Indonesia-Program Papua, Benja V. Mambai menjelaskan, “pertanyaan mendasar apakah dengan kebijakan 1,2 juta ha untuk lumbung pangan nasional ini, maka secara langsung akan menggantikan kebijakan MIFEE dan menggunakan alokasi lahan yang sebelumnya telah dialokasikan untuk mendukung implementasi tersebut? Hal ini belum jelas. WWF selama ini telah fokus pada survei ketersediaan ruang kelola masyarakat adat dan ketersediaan air. Ini penting dan jangan sampai ada overlap pemanfaatan lahan apalagi yang terkait dengan areal pemanfaatan adat dan konservasi. Jadi perlu banyak pertimbangan untuk implementasinya.”
Salah satu tokoh masyarakat Malind Anim, Jhon Gluba Gebze mengatakan, “sebaiknya bukan hanya target luas lahan yang dikejar. Lebih baik mengejar target produktivitas dari lahan yang sudah ada. Saat ini petani di Kabupaten Merauke panen setahun sekali dengan produktivitas 3 ton/ha. Maka dengan perbaikan sistem irigasi dan penyedian pupuk maka diharapkan panen dapat dilakukan 3 kali dalam setahun dengan produktivitas 7-8 ton/ha. Apabila hal ini dapat dilakukan tidak mustahil target menjadikan Kabupaten Merauke sebagai lumbung pangan nasional dapat dipenuhi.”
Dari keseluruhan hasil paparan narasumber dan tanggapan dari peserta kegiatan, implementasi program Kabupaten Merauke sebagai lumbung pangan nasional perlu mendapat kajian yang lebih komprehensif, sosialisasi ke semua pihak, pelibatan peran aktif masyarakat adat, dan pemetaan tanah-tanah adat oleh pemerintah. Lebih lanjut, pemerintah juga diharapkan dapat menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat adat oleh pihak swasta (perusahaan) dan menjadi mediator antara perusahaan dengan masyarakat.
Sebagai bentuk langkah tindak lanjutnya, pendampingan masyarakat adat menjadi fokus utama. Selain itu upaya untuk memperkuat jaringan masyarakat sipil terkait dengan investasi pangan modern di Merauke juga termasuk dalam agenda penting. Terkait dengan rencana tindak lanjut ini, WWF dalam hal ini kantor site Merauke ditunjuk sebagai ‘noken atau wat (dalam bahasa Malind)’, yaitu sebagai ‘wadah’ tempat menampung informasi dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat.