WWF DORONG FASILITATOR PETANI KELAPA SAWIT LINDUNGI HUTAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI
PONTIANAK – Minyak sawit merupakan pilar ekspor komoditi pertanian Indonesia. Lebih dari 16,5 juta ton CPO (minyak sawit mentah) telah diekspor pada tahun 2011. Melihat sejarah, pertumbuhan luas tanaman kelapa sawit meningkat dari hanya 2 juta hektar pada tahun 1995 menjadi 8 juta hektar hingga tahun 2011. Rata-rata pertumbuhan mencapai 400.000 ha per tahun. Ini merupakan hasil pembangunan Perkebunan Besar Negara, Perkebunan Besar Swasta, dan Perkebunan Rakyat. Kontribusi dari Perkebunan Rakyat sangat signifikan, lebih dari 35% produksi CPO Indonesia dihasilkan dari kebun rakyat, tak terkecuali di Kalimantan Barat.
Cepatnya pembangunan perkebunan kelapa sawit, tak jarang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial. HCV and Degraded Land Senior Program Officer WWF-Indonesia, Haryono mengatakan kegiatan alih fungsi hutan alam dapat menimbulkan berbagai persoalan. “Dampaknya bisa mengancam keanekaragaman hayati, emisi gas rumah kaca sebagai akibat konversi lahan gambut menjadi kebun sawit yang menyebabkan pemanasan global, dan bencana alam,” katanya di Pontianak, Selasa (20/6).
Dalam upaya menekan dampak lingkungan dan sosial, WWF-Indonesia bekerjasama dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) menyelenggarakan pelatihan bagi fasilitator petani kelapa sawit untuk mempertahankan nilai konservasi tinggi dan pemahaman sertifikasi sawit berkelanjutan.
Dari kacamata lingkungan, sertifikasi RSPO dapat menekan dampak lingkungan, ekologi, dan sosial. Sedangkan dari sudut pandang ekonomi, skema sertifikasi sawit berkelanjutan itu mampu meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya produksi, sekaligus pula memperluas pasar.
Menurut Project Leader WWF-Indonesia Kantor Sintang, Rudi Zapariza, di Kabupaten Sintang, terdapat banyak kawasan lindung dan konservasi. Namun di sisi lain perluasan perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun menjadi ancaman nyata bagi kelestarian kawasan tersebut. “Upaya memberdayakan petani sawit ini lebih diarahkan pada penguatan kelompok serta penerapan Best Management Practise (BMP), yang pada akhirnya juga meningkatkan produktivitas Tandan Buah Segar (TBS)-nya sendiri”, ungkap Rudi.
Menurut Haryono, pembangunan perkebunan kelapa sawit yang tidak memperhatikan hak-hak adat, ulayat, masyarakat asli, bisa memicu terjadinya konflik sosial. Tidak heran jika industri kelapa sawit kerap kali diidentikkan dengan industri yang merusak lingkungan dan keanekaragaman hayati, berkontribusi besar dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca ,serta memarjinalkan masyarakat lokal.
Begitu pula dengan petani kelapa sawit, dalam pandangan Haryono, pengelolaan kebun mereka masih kurang memperhatikan kaidah-kaidah keberlanjutan. Terutama yang bersentuhan langsung dengan lingkungan yang menjadi habitat sejumlah spesies dilindungi, jasa lingkungan, serta nilai sosial dan budaya yang sejatinya masih harus dipertahankan.
Atas dasar itu, WWF-Indonesia memfasilitasi para penyuluh perkebunan dengan menggelar Pelatihan untuk Fasilitator Kelompok Petani Kelapa Sawit di wilayah Heart of Borneo (HoB) di Sintang dan Melawi yang diselenggarakan pada 25-28 Juni.
Pelatihan empat hari tersebut mengusung tema Perlindungan High Conservation Value (HCV)/ Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi dan Peningkatan Produktivitas Menuju Sertifikasi RSPO. Penyelenggara membidik peserta dari unsur fasilitator daerah, Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat, para penyuluh pertanian/perkebunan Kabupaten Sintang dan Melawi, serta calon-calon fasilitator kelompok/manager group certification tingkat masyarakat.
Melalui pelatihan itu diharapkan penyuluh perkebunan dan petani kelapa sawit dapat berbagi pengetahuan dan keahlian yang telah diperoleh selama training kepada petani kelapa sawit lainnya. Selain meningkatkan pengetahuan untuk menilai, mengelola, dan memantau keberadaan kawasan bernilai konservasi dan sosial-budaya tinggi juga membangun pemahaman tentang RSPO serta prinsip dan kriteria berproduksi minyak sawit berkelanjutan. Khusus untuk petani swadaya, juga diberikan pemahaman tentang sistem sertifikasi kelompok petani plasma dan swadaya.
Kegiatan ini juga diharapkan mampu meningkatkan kemampuan fasilitator untuk memotivasi petani agar dapat menerapkan prinsip dan kriteria RSPO. “Semoga pengelolaan kebun mereka kelak, dapat didampingi oleh para penyuluh perkebunan yang memiliki kapasitas pemahaman terhadap perlindungan hutan bernilai konservasi dan sosial-budaya tinggi,” pungkas Haryono.