WWF BANTU KEMBANGKAN MINYAK KAYU PUTIH WALABI
Oleh: Masayu Yulien Vinanda
Merauke (30/08)- Taman Nasional (TN) Wasur menyimpan potensi hasil hutan nonkayu yang sangat besar yaitu kayu putih. 70 persen lebih kawasan taman secara alami ditumbuhi pohon kayu putih jenis Melaleuca. Pohon penghasil Minyak Kayu Putih (MKP) tersebut jika dikembangkan dengan optimal mampu menunjang kegiatan perekonomian masyarakat lokal. Inilah yang diupayakan oleh WWF-Indonesia di Kabupaten Merauke sejak awal ‘90an.
Bersama masyarakat dan pemerintah daerah, WWF memberikan dampingan berupa pelatihan panen kayu putih secara berkelanjutan dan teknik penyulingan, studi banding ke Pulau Buru, Maluku sebagai salah satu tempat penghasil minyak kayu putih, serta mengaktifkan kembali kelompok-kelompok penyuling masyarakat dan membantu mengembangkan pemasaran minyak kayu putih.
Menurut Community Empowerment Coordinator WWF-Indonesia Kantor Papua Paschalina Ch. M Rahawarin, salah satu strategi yang diterapkan untuk mendorong masyarakat lokal dalam memproduksi kayu putih adalah dengan mengatur sistem kelompok yang tepat. Berbagai sistem diujicobakan demi memperoleh strategi yang paling baik dalam rangka meningkatkan kemauan dan produktivitas para pengrajin kayu putih.
“Semula kita atur kelompok campuran , tapi ternyata tidak berjalan efektif, salah satunya disebabkan oleh pembagian hasil yang kurang adil diantara mereka. Akhirnya kita ubah lagi jadi kelompok marga. Jadi satu marga yang sama misalnya kelompok Mbanggu, satu kelompok itu berasal dari marga Mbanggu saja. Tetapi ini pun tidak selamanya mulus. Akhirnya kita ubah lagi jadi kelompok keluarga inti. Artinya bapak, mama, dan anak..Kelompok ini pergi mencari daun lalu kemudian menyuling. Ini lebih berjalan. Jadi kelompok marga hanya untuk penempatan alat penyulingan saja, mereka sendiri yang atur jadwal menyulingnya,” imbuhnya.
Selain menerapkan sistem keluarga inti, WWF juga mengoptimalkan peran motivator. Mereka adalah masyarakat pedagang yang ada di kampung-kampung. Uniknya, tiga motivator di salah satu desa penghasil minyak kayu putih “Yanggandur,” merupakan masyarakat pendatang yang telah tinggal bertahun-tahun tinggal dengan masayarkat lokal. Selain memberikan motivasi kepada masyarakat lokal untuk memproduksi kayu putih, mereka juga siap membeli daun kayu putih hasil panen masyarakat untuk kemudian disuling di tempat mereka dan dijual ke YWL (Yayasan Wasur Lestari).
Transaksi jual beli daun kayu putih di tempat penyulingan tersebut tidak selamanya dibayar dengan uang. Ada kalanya, masyarakat lebih memilih sistem barter dengan kebutuhan rumah tangga seperti beras, gula, kopi, atau pinang. Per kilogram daun kini dihargai 500 sampai dengan 600 rupiah. “Untuk sekarang memang ada peningkatan.Kalau untuk pertama memang harga daun sekitar 75 rupiah perkilogram. Terus naik menjadi, 100 rupiah, kemudian 150 rupiah, 300, 400, sampai kemudian menjadi 600 rupiah. Namun kami berharap daun harus lebih baik harganya, karena kalau kita petik daun cukup berat juga, dan pikulnya cukup jauh ke tempat penyulingan,” jelas Mikael, masyarakat lokal yang telah menyuling sejak tahun 1991.
Sementara untuk pemasarannya, WWF menjalin kerjasama dengan PT Djasulawangi di Jakarta untuk membeli minyak kayu putih yang tersedia. “Mereka siap mengambil dari kita, dan kita juga harus menjelaskan bahwa produk ini berasal dari masyarakat. Jadi ya kadang kita harus kumpulkan dulu selama 2-3 bulan, setelah cukup banyak, maka abru kita kirim. Karena kalau dikirim terlalu sedikit kan mahal di transportasinya. Rata-rata kita bisa mengirim 200-300 kilogram,” jelas Paschalina. Lebih jauh lagi, tambahnya, WWF ingin mengembangkan lebih optimal lagi produksi kayu putih di TN. Wasur dengan tidak mengesampingkan koridor kawasan konservasi dan tidak mengganggu ekosistem atau hutan kayu putih itu sendiri.
“Potensi kayu putih di TN Wasur ini sangat besar. Kualitasnya juga sangat baik. Kandungan cineolnya mencapai 60 %. Mengapa kita tidak coba kembangkan di kampung yang lain. Yang penting ada dukungan pihak lain seperti pemerintah daerah, misalnya dalam hal pengadaan alat, pelatihan, dan yang lebih penting lagi adalah pendampingan untuk masyarakat secara rutin dan teratur sehingga mereka dari hari kehari bisa mengambil kayu putih sebagai salah sumber penghasilan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan hidup keluarganya,” pungkasnya.