WASPADAI PERUBAHAN IKLIM ANCAM INDONESIA
Perubahan iklim akibat pemanasan global sekarang mulai makin terasa Gejala itu tampak dari terjadinya perubahan musim dan berbagai dampaknya. Banjir besar di Pakistan Baratlaut yang menewaskan 3.000 orang, banjir dahsyat yang melanda China menelan korban jiwa 1.000 orang, serta berbagai bencana di tempat lain dalam pekan terakhir ini seperti membawa pesan bahwa dampak pemanasan global bukan lagi sekadar teori, namun sudah semakin terasa dan sampai pada taraf mengkhawatirkan.
Beberapa waktu lalu, topik pemanasan global dan perubahan iklim seolah-olah baru sebatas sebagai topik konferensi dan menjadi pengetahuan yang terkesan wacana dan terbatas pada kelompok keahlian terbatas.
Masyarakat sekarang pada umumnya bisa semakin merasakan. Hujan yang masih mencurah pada musim kemarau misalnya, menjadi realitas yang gampang terasa di pancaindera. Fenomena hujan dan cuaca buruk pada musim kemarau bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di berbagai kawasan di seluruh dunia.
Kalangan yang paling merasakan anomali cuaca adalah kelompok petani. Petani tembakau menjerit karena bibit tanaman rusak akibat hujan salah musim. Menurut penelitian klimatologi, iklim di Indonesia menjadi lebih hangat selama abad 20. Curah hujan tahunan turun 2% hingga 3%. Anomali cuaca membawa rentetan dampak lainnya. Gelombang panas yang melanda Eropa juga meningkatkan heat stroke yang mematikan.
Jagat raya sedang mengirim pesan kuat tentang akibat yang menyertai fenomena pemanasan global. Bumi dan manusianya menghadapi ancaman bencana akibat efek peningkatan emisi gas rumah kaca. Lalu bagaimana umat manusia, khususnya para pemimpin di dunia menangkap pesan ini? Konferensi Internasional Perubahan Iklim, atau biasa disebut COP, merupakan salah satu upaya menjawab tantangan itu. Namun, perubahan iklim berlangsung lebih cepat ketimbang negosiasi tersebut.
Pengurangan emisi gas rumah kaca, sebagai salah satu cara mencegah pemanasan global memang tidak semudah membalikkan tangan. Banyak tumbukan, terutama industri dan kepentingan ideal jangka panjang. Kalangan industri berpandangan, penerapan teknologi untuk mengurangi emisi gas karbon adalah beban biaya tambahan pada proses produksi, meskipun beban itu pada akhirnya disangga oleh konsumen. Realitas yang kita hadapi, bumi dan penghuninya sedang bekejaran dengan waktu untuk menahan laju emisi.
Pesimisme masih membayang mengenai komitmen para pemimpin dunia. Keputusan APEC tahun lalu yang membatalkan target pengurangan emisi gas rumah kaca menguatkan hal itu. Rancangan deklarasi APEC yang menargetkan pengurangan emisi hingga separuh pada 2050 gagal disepakati,. ladi, sekarang makin dibutuhkan gerakan akar rumput dalam skala global untuk mendesak para pemimpin segera menelurkan komitmen mengatasi perubahan iklim, dengan terlebih dahulu menjembatani perbedaan negara kaya dan miskin.*