UPAYA MENGURANGI DAMPAK KONFLIK GAJAH DAN MANUSIA DI ACEH
Oleh: Chik Rini (Communication Officer WWF-Indonesia Kantor Program Aceh)
Sejak 2015, WWF-Indonesia mulai melakukan pendampingan bagi desa-desa yang mengalami konflik dengan gajah liar di Aceh. Awalnya, ini adalah salah satu respon yang dilakukan WWF setelah jatuh korban jiwa seorang petani bernama Hasan Basri yang meninggal diserang gajah saat ia bersama Tim Delapan sedang menggiring gajah keluar dari kawasan perkebunan warga di Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah pada Oktober 2015 silam.
Tim Delapan merupakan tim mitigasi konflik gajah-manusia yang dibentuk atas inisiatif masyarakat yang dipimpin oleh Suherry, seorang aktivis peduli satwa di Bener Meriah. Mereka belum pernah sama sekali mendapat pelatihan dan pengetahuan tentang teknik penggiringan gajah. Semua dipelajari dengan pengalaman uji coba di lapangan.
Oleh karena itu, WWF-Indonesia melalui Flying Squad WWF yang datang dari Riau memberikan pendampingan dan pelatihan cara penggiringan gajah yang aman.Tim Delapan adalah tim pertama yang dilatih oleh Flying Squad WWF. Mereka mendapat pengetahuan baru tentang cara melakukan penggiringan gajah yang aman, efektif, dan berbiaya murah. Tim Delapan saat ini menjadi salah satu tim yang diandalkan oleh pemerintah di Bener Meriah dan Aceh Tengah untuk membantu mengatasi konflik dengan gajah.
Suherry mengatakan bahwa pelatihan ini banyak memberi pemahaman baru bagi tim mereka. “Sebelum ada pelatihan, kami mengusir gajah dengan mengikuti kemana saja dia bergerak. Tapi kami tidak memerhatikan tingkah laku gajah. Setelah ada pelatihan yang dibuat WWF ini, kami tahu mana gajah kelompok, mana gajah yang tunggal. Manfaat terbesar dari pelatihan ini adalah bisa terhindar dari kecelakaan. Kami dulu jaraknya terlalu dekat dekat dengan gajah, tapi setelah ada pelatihan ini kami tahu harus menjaga jarak minimal 50 meter. Yang penting dari pelatihan ini adalah teknik penggiringan dan tahu sifat gajah. Kami berharap tim kami mendapat kepercayaan dari pemerintah dan masyarakat,” ujarnya.
Pelatihan tidak berhenti pada Tim Delapan saja. Konflik gajah dan manusia yang terus terjadi di Aceh mendorong WWF untuk membentuk lebih banyak tim masyarakat di desa-desa yang mengalami konflik dengan gajah. Mau tidak mau, masyarakat harus siap dan harus bisa mandiri melakukan mitigasi konflik dengan gajah agar dampak kerugian seperti rusaknya tanaman budidaya dan jatuhnya korban jiwa dapat diminimalisir.
Selama dua tahun terakhir, Syamsuardi dan Ruswanto dari Flying Squad secara berkala berkunjung ke Aceh untuk melatih kelompok masyarakat dari desa ke desa. WWF menyebarkan praktik-praktik mitigasi konflik yang telah diuji selama 20 tahun oleh tim Flying Squad, meliputi teknik penggiringan, jarak aman, membaca perilaku gajah, dan menghindari cara-cara tidak aman dalam melakukan mitigasi konflik sehingga jatuhnya korban jiwa di kedua belah pihak (manusia dan gajah) dapat dihindari.
WWF juga melatih membuat dan menggunakan alat-alat mitigasi konflik yang berbiaya murah, seperti meriam karbit dan bola asap. Alat-alat berbiaya murah ini bisa menjadi salah satu solusi mengganti penggunaan mercon yang berbiaya mahal setiap melakukan penggiringan gajah.
Syamsuardi selalu mengingatkan prinsip-prinsip dalam penggiringan gajah. “Yang kita lakukan adalah membangun komunikasi dengan gajah. Meriam bukanlah alat untuk menakuti gajah. Tapi itu adalah alat komunikasi kita dengan gajah. Harapannya, setiap gajah yang mendengar suara meriam itu menerima pesan untuk menjauhi suara meriam,” jelas Syamsuardi kepada tim-tim yang dilatihnya.
Hingga saat ini, WWF sudah mendistribusikan 230 unit meriam karbit kepada tim masyarakat. Jumlah tim yang dilatih sudah mencapai 300 orang yang terdiri dari masyarakat petani, Imuem Mukim, Pawang Uteuen, ranger masyarakat, anggota LSM dan Forum, polisi hutan, babinsa (TNI), dan binmas (polisi) di wilayah DAS Peusangan, DAS Krueng Sabee, dan Pidie. Dalam pelatihan ini, kelompok perempuan di desa juga aktif ambil bagian karena mereka juga kerap bertemu dengan gajah ketika bekerja di kebun.
Saat ini pelatihan terus dilakukan ke desa-desa yang ada di DAS Peusangan mengingat intensitas konflik gajah dan manusia sangat tinggi di kawasan ini. Atas inisiatif masyarakat, sekarang telah muncul model Tim Delapan lain di beberapa tempat yang sudah dilatih. Sebut saja Forum Masyarakat Peduli Gajah Krueng Sabee. Mereka beranggotakan 35 orang perwakilan dari tujuh kampong yang dipimpin oleh Imuem Mukim M Yusuf. Selain itu, di Desa Bergang dan Karang Ampar, sejumlah petani dipimpin Muslim juga sudah memiliki inisiatif untuk melakukan penggiringan gajah secara mandiri terhadap setiap gajah yang masuk ke kawasan perkebunan masyarakat.
WWF melakukan pendampingan untuk memperkuat kemampuan tim yang telah dilatih. Mereka mendapat pelatihan lebih lanjut tentang teknik mengidentifikasi gajah melalui kotoran dan jejak, serta merancang alat-alat pendeteksi dini dan menara pemantauan di pintu keluar masuk gajah. Diharapkan tim-tim di tingkat desa ini dapat berperan banyak sebagai bagian dari upaya menyelamatkan manusia dan gajah dari dampak konflik yang sering tidak tertangani dengan baik.