STOP PERDAGANGAN TELUR PENYU: SEBUAH PEMBELAJARAN DARI BERAU
Oleh Masayu Yulien Vinanda
Jakarta (09/03)-Kabar menggembirakan datang dari Samarinda. Mulai 18 Maret 2012, Polresta Samarinda secara resmi akan memberlakukan larangan perdagangan telur penyu di wilayah tersebut. Sebagai langkah awal, pihak Polresta Samarinda telah melakukan sosialisasi kepada para pedagang telur penyu di kota itu. Penertiban pun kabarnya akan segera dilakukan, tidak hanya di kelompok pedagang eceran, tetapi juga para distributor telur penyu.
Pemberlakuan larangan ini agaknya tidaklah berlebihan mengingat Samarinda merupakan pasar terbesar perdagangan telur penyu di Kalimantan Timur. Dua kota lainnya di provinsi tersebut yang menjadi pasar utama telur yang bentuknya mirip bola pingpong ini adalah Berau dan Tarakan.
Perdagangan telur penyu di Samarinda mulai marak sejak tahun 2007. Setiap harinya ditemukan 19-20 outlet yang menjajakan telur penyu di sepanjang Jl. RE Martadinata, Teluk Lerong. Tiap outlet memiliki stok telur penyu mulai dari 1500-3000 butir dengan rata-rata penjualan mencapai 1500-2000 butir perharinya. Namun kondisi ini lambat laun mulai membaik. Data terakhir di bulan Januari 2012, outlet yang menjual telur penyu hanya tersisa 5-7 outlet dan diperkirakan telur yang terjual setiap harinya sekitar 500-700 butir.
Turunnya aktivitas perdagangan telur penyu di Samarinda memang kabar baik. Namun, sebuah pembelajaran dari Kabupaten Berau, Kalimantan Timur dalam menanggulangi praktik perdagangan telur penyu patut menjadi contoh bagi kota-kota lainnya.
Kawasan Kepulauan Derawan, kabupaten Berau merupakan salah satu habitat penyu hijau terbesar di dunia. Di kawasan perairan itu terdapat 7 pulau yang menjadi habitat peneluran penyu yakni Pulau Derawan, Semama, Sangalaki, Bilang-Bilangan, Mataha, Sambit, dan Belambangan. Bisnis telur penyu hijau (Chelonia mydas) sempat menjadi primadona di Kepulauan tersebut pada era akhir 90-an. Berdasarkan data di Pemda Kabupaten Berau, tahun 1999 terdapat 27.120 sarang penyu dengan produksi telur mencapai 2.535.280 butir pertahun. Tidak mengherankan jika pada masa itu omzetnya mencapai lebih dari 2-3 milliar pertahun. Akibatnya, populasi penyu hijau pun menurun drastis.
Namun sejak Pulau Derawan dan Sangalaki ditetapkan sebagai zona terlarang untuk pengambilan telur penyu oleh Pemkab Berau pada 2002, maka di aktivitas jual beli telur penyu secara terbuka dan bebas di kabupaten itu pun sudah semakin jarang terlihat.
“Di lima pulau peneluran penyu di Berau yaitu Pulau Derawan, Semama, Sangalaki, Bilang-Bilangan dan pulau Mataha, populasi penyu naik kurang lebih 17.500 ekor setiap tahunnya. Sementara penyu bertelur di pulau-pulau tersebut diperkirakan mencapai 16.500 ekor, “jelas Site Coordinator Marine Program WWF Indonesia Kantor Berau Rusli Andar.
Upaya memberantas praktik perdagangan telur dan daging penyu telah menjadi salah satu prioritas kerja konservasi WWF di Berau. Sejak WWF mulai bekerja di Berau tahun 2001, lanjut Rusli, beragam aktivitas kampanye dan penyadartahuan masyarakat untuk tidak memperdagangkan atau mengkonsumsi telur penyu telah dilakukan. Tidak hanya itu, upaya advokasi juga digiatkan guna memberantas praktik perdagangan telur penyu dan pengambilan penyu dewasa untuk diperdagangkan.
“Untuk di Berau penerapan hukumnya sudah cukup efektif. Setiap pencuri telur penyu atau penjual telur penyu beberapa kali dikenakan hukuman penjara selama 1- 2 tahun. Saat ini di Berau sudah jarang terlihat orang berjualan telur penyu secara terbuka. Saya optimis larangan baru yang berlaku di Samarinda akan memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya pemberantasan perdagangan telur penyu, yang tentunya juga menjaga kelestarian satwa laut yang terancam punah ini. Lebih jauh lagi, menjaga keseimbangan ekosistem laut itu sendiri,” imbuh Rusli.
WWF di Berau juga mendorong ekowisata alternatif berbasis penyu laut guna mendukung upaya konservasi penyu di wilayah itu. Aktivitas perlindungan dan monitoring penyu di pulau-pulau peneluran penyu dan feeding ground juga dilakukan untuk memantau aktivitas manusia atau faktor alam yang berpotensi mengancam kelestarian penyu.