STANDAR EKOLABEL MSC: MASA DEPAN PERIKANAN KARANG DI WAKATOBI
Oleh: Munawir (Capture Fisheries Officer, WWF-Indonesia)
Taman Nasional Wakatobi (TNW) di Sulawesi Tenggara memiliki luas kawasan 1.390.000 hektar. Seluas 97% wilayah TNW didominasi perairan, yaitu ± 1.342.630 hektar (Data Statistik TN Wakatobi Tahun 2013). Di sektor perikanan, ikan karang menjadi salah satu komoditas yang banyak dimanfaatkan oleh nelayan dan pembeli. Baik dari dalam kawasan, maupun dari luar Wakatobi seperti dari Bau-bau, Kendari, dan Bali.
Dari sisi pengaturan wilayah, TNW telah dikelola dengan sistem zonasi yang ditetapkan dengan Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan Konservasi Alam (PHKA) No. SK. 149/IV-KK/2007 tanggal 23 Juli 2007. TNW dibagi menjadi 6 zona, yakni 1) Zona Inti, 2) Zona Pemanfaatan Bahari, 3) Zona Pariwisata, 4) Zona Pemanfaatan Lokal, 5) Zona Pemanfaatan Umum dan 6) Zona Khusus Daratan.
Melihat fakta tersebut, pada tanggal 10-13 November 2016, Tim Perikanan Tangkap WWF Indonesia bersama dengan konsultan pihak ketiga untuk sertifikasi Marine Stewardship Council (MSC) di Indonesia, Dr Rijal Idrus dan Dr Aidah Ambo Ala Husain, melakukan penilaian awal terhadap praktik penangkapan ikan karang menggunakan handline di Wakatobi.
Penilaian ini mengacu pada standar Marine Stewardship Council (MSC), sebagai kriteria ideal pengelolaan perikanan berkelanjutan melalui implementasi Fisheries Improvement Program (FIP). Landasan utamanya adalah tiga prinsip lestari, yakni keberlanjutan stok (P1), meminimalisir dampak lingkungan (P2), serta pengelolaan yang efektif (P3).
Penilaian awal terhadap Unit of Assessment (UoA) MSC dilakukan dengan melibatkan berbagai stakeholder dalam pengelolaan perikanan ikan karang, yakni Balai Taman Nasional Wakatobi, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda, pegusaha, dan nelayan.
Saat ini, belum ada informasi produksi secara rinci mengenai jenis ikan karang yang tertangkap. Namun secara umum, produksi perikanan laut Wakatobi tahun 2015 mencapai 12.745 ton (Data Statistik Wakatobi tahun 2016).
Ikan karang target yang paling banyak ditangkap adalah jenis sunu merah/tung sing (Plectropomus leopardus), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), sunu bone/tai sing (plectropomus maculates), kerapu karet hitam (Aethaloperca rogaa), dan kerapu macan kecil/capan (Epinephelus fuscoguttatus/polyphekadion).
“Saat ini, aktivitas perikanan karang di Wakatobi sudah banyak berubah ke arah yang lebih baik,” jelas Bapak Salihin, Ketua Kelompok Nelayan Anta Pulo. “Pengawasan dan pembinaan dari berbagai pihak seperti Balai Taman Nasional, DKP Wakatobi, dan berbagai Kelompok Masyarakat membuat masyarakat sadar mengenai pentingnya menjaga sumber daya perikanan yang ada,” lanjutnya.
Meningkatnya permintaan pasar terhadap produk ikan yang ditangkap dengan ramah lingkungan juga berperan dalam mengubah praktik penangkapan ikan. Mereka yang awalnya masih menggunakan metode merusak seperti bom dan bius, beralih menggunakan alat tangkap pancing, baik jenis pancing ulur maupun pancing tonda/kedo-kedo. Berdasarkan Data DKP Wakatobi tahun 2013, dari total 7909 unit alat tangkap yang beroperasi, 75% didominasi oleh alat tangkap pancing.
Berdasarkan hasil penilaian awal ini, rekomendasi bagi UoA yang didorongkan untuk mendapatkan sertifikasi MSC, adalah perbaikan informasi mengenai praktik penangkapan ikan karang. Tujuannya, untuk membantu penyusunan rencana tata kelola dan kebijakan yang dapat diterapkan dalam mengatur praktik perikanan karang di Wakatobi.
Hasil penilaian awal ini akan dikomunikasikan kepada perusahaan mitra yang tergabung dalam Seafood Savers, jaringan pebisnis perikanan berkelanjutan yang diinisiasi WWF-Indonesia. Kesenjangan yang ada akan dilengkapi melalui implementasi FIP sebelum full-assessment MSC dilakukan.
Koordinasi antara stakeholder yang terkait dengan pengelolaan perikanan karang juga sangat diperlukan untuk mengawal program perbaikan yang dijalankan. Dengan tujuan akhir, pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan, dan kesejahteraan nelayan Indonesia.