SEMANGAT DARI ACEH: PANGLIMA LAOT DAN DUKUNGAN PERIKANAN NUSANTARA
Oleh: Arifsyah M Nasution
Jatidiri bangsa Indonesia adalah masyarakat agraris dan bahari. Kondisi bentang alam Indonesia, baik secara topografis maupun geografis, telah membentuk pluralisme budaya dan karakter masyarakat Indonesia yang tercermin melalui ragam suku, bahasa dan adat-istiadat. Perpaduan dan pergulatan antara kondisi alam dengan nilai-nilai kepercayaan dan ketuhanan yang universal telah membangun berbagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang dinamis dan memungkinkan nilai dan praktik pengelolaan sumberdaya alam ditentukan dan dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan dan keadilan antar generasi.
Salah satu yang menonjol dan menarik perhatian masyarakat perikanan dunia adalah keberadaan dan kelembagaan adat Panglima Laot Lhok di Aceh.
Lhok dalam artian kata dapat dipadankan sebagai teluk(an). Secara terminologi atau istilah merupakan sebuah wilayah yang didiami oleh sekelompok nelayan serta dipimpin oleh seorang yang dipilih dan dituakan untuk memimpin wadah masyarakat nelayan (Panglima Laot Lhok). Setiap Panglima Laot Lhok memiliki wilayah kelola laut penangkapan dan tempat pendaratan ikan (di wilayah pantai atau pesisir).
Lhok secara empiris dapat berupa teluk(an), muara, tepian pantai ataupun terusan-yang lebih menjorok ke arah darat. Dibeberapa kawasan lhok di Aceh yang nelayannya relatif tersebar, dijumpai juga terminologi Panglima Teupin yang tunduk kepada Panglima Laot Lhok. Saat ini di Aceh terdapat kurang lebih 193 Lhok.
Panglima Laot Lhok merupakan wadah sekaligus basis masyarakat nelayan lokal untuk membangun kesepakatan bersama dalam mengatur dan mengawasi pelaksanaan norma dan ketentuan tata-cara pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Meskipun daya pengaruh dan wewenang Panglima Laot Lhok cenderung tergerus oleh perkembangan sosial-politik dan modernisasi di bidang perikanan, tetap saja hingga saat ini Panglima Laot Lhok merupakan sebuah entitas dan identitas masyarakat pesisir Aceh yang keberadaan dan peranannya tidak terbantahkan dalam pengembangan perikanan yang lebih berkeadilan dan lestari di Aceh.
Panglima Laot Lhok adalah salah satu bentuk dan bukti sejarah bangsa Indonesia yang masih hidup dan perlu untuk direvitalisasi sekaligus direposisi agar peran dan fungsinya akan terus strategis dan kontekstual dengan perkembangan perikanan di tingkat lokal, nasional maupun regional (Asia Selatan dan Asia Tenggara).
Sejalan dengan itu, Indonesia saat ini terus berjuang, membenahi sektor perikanannya agar mampu menjadi solusi jangka panjang bagi keseimbangan ekonomi, keberlanjutan sumberdaya lingkungan dan kesejahateraan masyarakat, terutama masyarakat pesisir yang notabene direpresentasikan dari kelompok-kelompok nelayan tradisional dan petambak skala kecil yang sebagian besar masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
Sementara itu sebuah ironi masih terus terjadi. Maraknya armada dan cara penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dan penghancuran ekosistem pesisir dan laut telah dan tetap menjadi bagian yang hampir tidak mungkin kita tutupi. Fenomena ini menjadi sebuah gambaran nyata bahwa negara dan masyarakat kita sudah sangat terjebak dan masih berkompromi (jika tidak ingin disebut kalah) dengan kepentingan-kepentingan pemodal dan korporasi hitam yang tidak mau mengenal dan menghargai nilai-nilai kearifan lokal dan keadilan sosial.
Sebuah keniscayaan. Tantangan dalam membangun perikanan Indonesia yang berkelanjutan akhirnya tidak hanya bagaimana mencari terobosan agar ironi yang mendera perikanan kita tidak terus berlanjut akut. Atau hanya cukup mempersiapkan instrumen kebijakan yang lebih pro pada pentingnya upaya-upaya menjaga keseimbangan dan daya dukung lingkungan.
Tetapi juga bagaimana melahirkan dan mengejawantahkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang ditegakkan oleh masyarakat pesisir itu sendiri melalui identitas dan entitas adat yang dimilikinya. Semisal di Aceh lewat penguatan kembali Hukum Adat Laot dan Panglima Laot, sebagai perisai (baca: kontrol) sosial yang dapat efektif dalam mendukung pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan. Inilah semangat perikanan nusantara yang perlu dan penting terus ditumbuhkan dan dikembangkan, “dari Sabang sampai Merauke”.
Nah, berita baik dan menjadi harapan. Sebagian besar dari kita saat ini sudah bertindak dan bergerak pada berbagai kerangka-kerja (framework) yang saling sejalan untuk mewujudkan perikanan yang Indonesia yang lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan. Banyak hal telah dilakukan dan tentunya perlu berkala dievaluasi untuk melihat langkah-langkah prioritas dan intervensi kedepan yang perlu ditempuh dan dikawal.
Kontak: Arifsyah M Nasution | Fisheries Program Assistant WWF-Indonesia | arifsyah(at)gmail.com | +6281377242121