SELAMAT JALAN, HIU PAUS…
""Hiu pausnya sudah mati,"" begitu bunyi pesan singkat dari salah satu rekan pada hari Selasa (10/2) sore itu. Seketika jantung saya seakan berhenti berdegup untuk sesaat, kemudian berdebar kencang.
Wanita di sebelah saya tiba-tiba terbangun. Ponselnya bergetar, tanda pesan baru masuk. Mungkin isinya informasi yang sama, pikir saya.
Raut muka Dwi Suprapti, Koordinator Konservasi Spesies Kelautan WWF Indonesia itu, berubah. Pandangannya sempat lama tertuju pada layar ponselnya, sebelum akhirnya ia menoleh ke saya dengan tatapan penuh tanya.
Lirikan sekilas pada pesan di ponselnya membuat saya hanya bisa mengangkat bahu. Saya belum mau berkomentar lebih jauh. Suasana dalam mobil pun menjadi suram. Ada kegelisahan yang tidak terucap selama empat jam waktu tempuh dari Bandara Juanda di Surabaya menuju Paiton.
Sudah sekitar satu minggu nama salah satu kecamatan di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, itu tidak bisa hilang dari pikiran saya. Mungkin karena kami tahu bahwa disana, sejak 31 Januari, seekor hiu paus (Rhincodon typus) masih menunggu untuk diselamatkan. Sampai Senin (9/2), satwa yang panjang tubuhnya sekitar 6 meter itu masih dilaporkan beberapa kali muncul ke permukaan air di sebuah kanal intake Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton.
Berita kematian satwa yang dilindungi berbagai peraturan pemerintah itu masih sulit saya percaya. Si Raksasa Besar yang Lembut itu akhirnya menyerah dalam keputusasaan. (Baca: Hiu dan Pari Manta Kini Resmi Dilindungi)
Evakuasi di PLTU Paiton
Hiu paus di kanal PLTU Paiton diduga sudah mati sejak delapan jam sebelum penemuan oleh salah satu staf perusahaan itu. Satwa tersebut ditemukan menempel pada pagar penyaring di kanal Unit VII dan VIII pada hari Selasa pagi, 10 Februari 2015.
Proses evakuasi bangkai hiu paus memakan waktu sekitar 4-5 jam hingga pukul 18.00 WIB, yang merupakan batas waktu kegiatan di dalam kompleks PLTU. Saya dan Dwi tiba pada pukul 20.00 WIB, dimana kematian hiu paus segera dikonfirmasi oleh Ikram M. Sangadji. Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar.
Wajahnya terlihat lelah, begitu juga Arie dan Hadi, asistennya dari Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga. Banyak hal yang sudah terjadi pada selasa itu. Kami pun mulai berdiskusi di tengah suasana yang semakin getir.
Rasa sedih atas kematian hiu paus di PLTU Paiton bercampur dengan rasa kasihan ketika beberapa foto proses evakuasi diperlihatkan kepada saya. Terlihat beberapa luka pada tubuh hiu paus jantan itu. Penyebabnya hingga kini masih misteri. tapi berpotensi menimbulkan infeksi.
""Salah satu luka memanjang ke dalam pada bagian atas tubuh sebelah kiri, di sekitar rongga dadanya,"" kata Arie. ""Mungkin lukanya disebabkan benda tajam.""
Malam itu kami pun hanya bisa memandangi foto demi foto proses evakuasi, sambil mulai membangun asumsi karena proses nekropsi atau bedah hewan baru bisa dilakukan keesokan harinya.
Perpisahan dengan Si Raksasa Berhati Lembut
Untuk mengetahui kepastian penyebab kematian ikan secara mikroskopis, tim yang terdiri dari WWF-Indonesia, Jakarta Animal Aid Network dan mitra lain kembali mengunjungi PLTU Paiton untuk melakukan nekropsi pada hari Rabu.
Mental saya sudah diuji sejak awal datang ke lokasi nekropsi, dengan bau semakin menyengat ketika saya mendekati kuburan hiu paus tersebut. Raksasa enam ton pengarung samudera ini terbujur layu di atas galian tanah yang akan menjadi tempat peristirahatan terakhir.
Kami harus bekerja cepat karena waktu yang tersedia cukup singkat. Hanya dalam beberapa menit, potongan organ sudah diambil untuk keperluan analisis histopatologi di laboratorium. Diharapkan dari analisis tersebut penyebab kematian hiu paus dapat diketahui.
Tidak mudah mengabadikan momen-momen selama nekropsi berlangsung. Selain karena cuaca yang kurang mendukung, saya pun harus kuat mental ketika melihat si Raksasa Berhati Lembut tergeletak tak bernyawa di depan saya. Kematiannya masih penuh misteri. Bagaimana caranya seekor hiu paus bisa masuk ke dalam kanal? Kenapa hiu paus tertarik masuk ke dalam kanal? Dan salah satu pertanyaan yang terpenting; Kenapa hiu paus tersebut mati?
Langit sudah cukup gelap ketika nekropsi selesai dilakukan. Sambil menatap bangkai Si Raksasa untuk terakhir kalinya, saya berharap di lain waktu hiu paus yang saya temui masih hidup. Saya yakin rasanya pasti jauh lebih baik.
Goodbye, my gentle giant.
For now
Penulis: Sheyka Nugrahani Fadela - Marine Mammal Conservation Assistant