SEKTOR PERBANKAN DI ASEAN BERPERAN KUNCI TERHADAP TARGET PEMERINTAH UNTUK PERUBAHAN IKLIM DAN SDGS
Jakarta, 3 Oktober, 2017 – Hari ini WWF dan Pusat Tata Kelola, Institusi dan Organisasi (CGIO) The National University of Singapore (NUS) meluncurkan laporan bertajuk “Perbankan Berkelanjutan di ASEAN: Mengatasi Isu Hutan, Lansekap, Iklim, Air dan Masyarakat”. Laporan ini menilai tingkat pengungkapan 34 bank terhadap aspek Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance) dan integrasi Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (LST) yang mengacu pada kerangka kerja internasional dan nasional[1]. Laporan ini menjadi tolok ukur kemajuan integrasi LST masing-masing bank dan mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan.
Dalam laporan disebutkan bahwa bank-bank di Indonesia dan Singapura lebih unggul dalam hal pengungkapan kebijakan pembiayaan berkelanjutan sektoral dibandingkan di negara-negara ASEAN lainnya, yaitu dua bank nasional Indonesia yakni BRI dan BNI, dan bank DBS Singapura. Laporan ini juga menyatakan bahwa Indonesia adalah yang terdepan dalam pengembangan produk LST dan portfolionya se-ASEAN.
Tujuh bank berkomitmen sukarela dalam inisiatif keuangan berkelanjutan, empat diantaranya adalah bank di Indonesia, yaitu BRI, BNI, Bank Mandiri dan BCA. Keempatnya berkomitmen menjadi First Movers untuk perbankan berkelanjutan di Indonesia, dan BNI merupakan satu-satunya bank di dalam laporan ini yang merupakan anggota UNEP Financial Institution.
Dua puluh satu bank di ASEAN mengakui bahwa kegiatan yang mereka biayai dapat berdampak buruk terhadap lingkungan dan sosial. Tetapi belum ada bank yang memahami bagaimana mereka mengelola risiko iklim dan keberlanjutan dimaksud pada tingkat portofolio.
Sebagai penandatanganan kesepakatan perubahan iklim Paris, Indonesia telah mengumumkan komitmen pencapaian target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 26 persen pada tahun 2020 dan 29 persen pada tahun 2030. Target perubahan iklim Indonesia dibangun diatas komitmen pemerintah mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) untuk memastikan aspek – aspek ketahanan pangan, pengelolaan berkelanjutan untuk hutan, laut, dan air, serta hilangnya keanekaragaman hayati dan permasalahan lainnya dapat diatasi.
Menyadari pentingnya peranan sektor jasa keuangan, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan aturan tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan No 51 Tahun 2017 untuk mendorong akuntabilitas penerapan keuangan berkelanjutan di Indonesia.
Aditya Bayunanda, Direktur Kebijakan, Keberlanjutan dan Transformasi WWF-Indonesia mengatakan, “Sektor perbankan sebagai penggerak sektor riil, berperan penting dalam menyukseskan upaya pemerintah Indonesia memenuhi target penurunan emisi dan mewujudkan SDGs. Perbankan di Indonesia selayaknya segera menerapkan peraturan OJK untuk menerapkan prinsip-prinsip integrasi lingkungan, sosial dan tata kelola secara utuh dan mendemonstrasikan kontribusinya.”
WWF-Indonesia siap bekerja sama dengan bank nasional untuk membangun kapasitas integrasi LST dan memperbaiki pemahaman tentang isu-isu penting LST seperti iklim, air, deforestasi dan kaitannya dengan bisnis.
[1] Indikator yang digunakan mengacu pada kerangka kerja internasional, standar dan inisiatif seperti Prinsip Tata Kelola Perusahaan G20/ OECD, Global Reporting Initiative (GRI), International Integrated Reporting Council (IIRC), Task Force on Climate-related Financial Disclosure (TCFD) dan Sustainability Accounting Standard Board (SASB), serta prinsip dan pedoman nasional tentang tata kelola perusahaan dan pelaporan keberlanjutan.