RESPONSIBLE MARINE TOURISM PROGRAM SAAT ADAT BERTEMU KEPARIWISATAAN DI KATALOKA
Oleh: Indarwati Aminuddin (WWF-Indonesia)
Negeri Kataloka merupakan wilayah dengan cakupan 14 dusun di empat pulau besar yakni Koon, Gorom, Grogos dan Pulau Nukus. Sebanyak 5,742 warga bermukim di Kecamatan Kataloka, ibukota Negeri Kataloka. Pulau Koon, yang menjadi wilayah persinggahan kapal pesiar merupakan aera perairan dengan pulau kosong seluas 2.479,45 hektar. Dalam kenyataan sejarah panjang perebutan rempah melalui jalur laut, Pulau Koon nyaris tak termunculkan di peta peta, namun tak bisa diabaikan bahwa Pulau Koon dan kawasan sekitarnya telah mengukuhkan Maluku sebagai lokasi area pemijahan ikan kerapu sunu, kakap merah, kerapu macan, dan bobara mata besar, serta menjadikan area ini sebagai lokasi yang menggambarkan kesehatan pangan Indonesia. Kini, babak baru atas Pulau Koon muncul dalam bentuk kepariwisataan bahari yang memikat.
***
Tak mudah untuk mencapai Pulau Koon Seram Bagian Timur, Maluku Tenggara. Bagi para adventure, cara terbaik adalah melalui jalur laut dengan menggunakan kapal pesiar—live aboard, melalui rute dari Sorong, menuju Raja Ampat dan selanjutnya ke perairan Banda di Ambon. Jalur alternative lain adalah melalui jalur darat dari Ambon-Seram Bagian Timur-Bula dan Kecamatan Gorom yang menjadi pintu gerbang menuju Pulau Koon. Dalam kondisi cuaca normal, perjalanan bisa saja ditempuh dua hari, sebaliknya saat musim hujan, kecil peluang bisa menembus Kecamatan Gorom. Totalnya dibutuhkan waktu 33 jam untuk mencapai Gorom.
Bersiapkan dengan kejutan kejutan kecil (tak semua menyenangkan). Di luar dari keindahan dan nilai budaya kental, tantangan besar dari kepariwisataan Koon adalah akses dan infrastruktur yang terbatas. Gorom adalah sebuah wilayah yang ‘melemparkan’ kenangan ke masa lalu. Jejeran toko kecil depan pantai, rumah berjendela besar, lalu lalang nelayan dengan ikan di tangan, bau cengkeh dan bau pala di sudut jalan, serta pedagang rantau yang menguasai bahasa lokal. Gorom menggambarkan satu hal secara pasti : semua orang bergegas gegas dan bekerja keras di sini.
Mayoritas warga Gorom bekerja sebagai nelayan dan petani. Pada Mei 2014, saya berkesempatan mengunjungi Gorom dan melihat bahwa adat turun temurun mendorong tiap orang membatasi diri saat memanfaatkan sumberdaya alamnya. Tradisi kental bisa di lihat pada kepemilikan lahan, hak warga adalah menggunakan, memanfaatkan dan merawat lahan tanpa harus memilikinya. Kekayaan alam melimpah di nyaris semua musim, cengkeh, pala, coklat, kelapa, durian, sagu dan mangga.
Setiap warga memiliki minimal 5 dari pohon buah tersebut, baik di kebun atau halaman rumah mereka. Mayoritas makanan yang tersaji di meja makan berasal dari tradisi panjang pengelolaan sumberdaya alam. Ketika jutaan orang di dunia berkutat dengan produk makanan yang mengalami perjalanan jauh, seringkali melintasi negara, warga Kataloka justru tak memiliki masalah dengan ketersediaan pangannya. Apa resep dari ketersediaan produk makanan darat dan laut ini? Pelestarian.
Alih alih menyebut pelestarian atau konservasi, warga Petuanan Kataloka secara turun temurun terikat dengan prinsip adat dalam memanfaatkan sumberdayanya. Wilayah Petuanan Kataloka diatur melalui pranata adat dengan pimpinan tertinggi Raja Kataloka, Drs Mohammad Syaiful Akbar Rumarey Wattimena, diikuti dengan tiga raja muda lainnya. Raja Kataloka memiliki kuasa atas izin pemanfaatan serta penutupan suatu wilayah (sasi) untuk masa tertentu. Warga Kataloka menjalankan apa yang disebut ‘menggunakan secukupnya’ dan mematuhi adat dan budaya dalam pengelolaan sumberdaya alam perairan dan daratan di Kataloka.
Asal Usul Kataloka
Dalam catatan Raja muda Kataloka, Anzar Wattimena, Negeri Kataloka di ceritakan sebagai sebuah wilayah yang dikembangkan oleh Basora dan Loeminina—perempuan dari laut, dimana keduanya berteduh di bawah pohon kelapa emas di Tanusan (pasir yang timbul tenggelam di tengah laut). Dari keduanya, generasi Kataloka di yakini muncul. Generasi ke-9, keturunan Basora dan Loeminina berpindah ke tempat lain yang disebut Gorium—kini di kenal dengan nama Gorom dan menghasilkan generasi generasi lainnya. Warga yang saya temui di Gorom saat ini adalah generasi ke-15. Namun terdapat juga versi lain asal usul warga Kataloka, yakni berasal dari Tiu Rumaderun yang berbentuk sebuah telaga. Kataloka berasal dari kata Ataloa yang berarti ‘ di atas’. Hingga kini tercatat 11 raja memimpin Kataloka. Sebagai negeri adat, Kataloka memiliki bendera negeri adat yang sayangnya tak bisa lagi di lihat. Bentuk dan gambar bendera tersebut ditemukan di museum Belanda. Warga di negeri Kataloka mengenal pendidikan sejak tahun 1950 dan berkembang pesat Raja Kataloka ke-10, Ratu Abdul Azis Rumarey Wattimena.
Sebagai penerus dari Ratu Abdul Azis Rumarey Wattimena, tugas Raja Syaiful adalah meneruskan hal hal baik yang telah dilakukan pendahulunya. “Memperbaiki pendidikan dan melayani warga,” ujarnya. Ia selalu terkenang dengan tindakan bapaknya, mendorong warga Gorom bersekolah agar bisa menghadapi perubahan zaman. Tentu saja, menjadi penerus Raja justru mendudukkan raja sebagai ‘orang tersibuk’ dalam mengawasi sumberdaya alam, dan memahami aspirasi warga Petuanan Kataloka. Pada Juli 2014, seorang pemuda mabuk secara tak sengaja menabrak Raja Syaiful saat pesta joget rakyat. Pelanggarannya jelas : tak memahami tatakrama. Tak lebih dari 24 jam, keluarga pemuda datang menemui raja, meminta maaf, dan sebagai hukuman si pemuda wajib membersihkan lahan kampung selama sebulan. Kisah tentang orang mabuk ini hanyalah sekelumit urusan raja yang bisa ditangani. Raja juga menangani kekisruhan akibat masuknya kapal ikan tanpa izin ke perairan Koon, menerima laporan adanya pengeboman ikan dan mendata lalulintas kapal pesiar yang mampir.
Sumberdaya Laut dan Kepariwisataan
Di tahun 2011, keterlimpahan ikan mengejutkan para penyelam yang melintasi Koon menuju Raja Ampat Papua. Live-aboard menyebut Koon sebagai perairan ‘too many fish’ (kunjungi http://www.cityseahorse.com/banda-sea-diving.html), atau “After back-rolling in you will drop down into warm, clear and shallow waters where the reef flat rises to 5 metres below the surface and from here, begin your descent down the wall. The ever-present current will guide you gently along the reef to your right as the wall comes to a point. On the wall you can expect the larger life to include dog-toothed tuna, schooling barracuda and jacks.” (Lihat http://www.dive-the-world.com/diving-sites-indonesia-banda-islands.php). Di tahun 2014, tercatat sekitar 12 liveboard mampir ke perairan Koon.
Kontribusi liveboard ke warga Gorom belum terlihat secara langsung, mengingat minimnya kunjungan tamu ke komunitas Gorom dan sekitarnya. Meski pada dasarnya, separuh live-aboard tak memiliki keberatan untuk membayarkan biaya masuk ke Petuanan Kataloka atas izin penggunaan wilayah perairannya.
“Namun, kami tak ingin menerima dana begitu saja tanpa program pengelolaan secara jelas,” kata Raja muda, Dr Anzar Wattimena. Ada tantangan lain yang perlu di selesaikan, “ kami ingin komunitas di darat cukup siap menerima tamu, dan tidak mengelami geger budaya dan kekagetan karena perubahan yang muncul,” jelasnya. Raja Anzar melihat angin segar untuk bisnis kepariwisataan di Kataloka, meski dengan sederet persoalan ; akses, terisolir, minim sarana dan prasarana serta minim kapasitas pengelola produk produk kepariwisataan.
Berangkat dari berbagai alasan tersebut, di tahun 2011, WWF-Indonesia bekerjasama dengan Petuanan Negeri Kataloka untuk mendorongkan efektivitas pengelolaan konservasi dilakukan melalui pembiayaan masuk kapal pesiar ke perairan Koon. Idenya ; biaya masuk kapal pesiar dimanfaatkan untuk mengembangkan kepariwisataan berbasis komunitas lokal dan sebagai dana untuk pengelolaan konservasi. Ide tersebut disambut oleh Jaringan Kapal Pesiar Indonesia. “Berbagi peran ini masuk akal. Saya tak melihat adanya satu alasan pun untuk menolak ide biaya masuk untuk tujuan tujuan seperti ini,” ujar Suryani Mile, coordinator kapal pesiar Indonesia.
Bagi Raja muda Kataloka, Anzar Wattimena ide itu seperti ‘pintu’ baru bagi komunitas Kataloka. “Wilayah ini telah dijaga secara bergenerasi oleh warga Kataloka. Kami terbuka dengan hal baru, dan meyakinkan diri kami sendiri agar benefit kepariwisataan memberikan dampak positif ke masyarakat,” jelasnya.