PT MUSTIKA MINANUSA AURORA DAN PT MISAJA MITRA PATI: EKOLABEL ASC SEBAGAI UPAYA KEBERLANJUTAN SPESIES UNGGULAN BUDIDAYA – UDANG WINDU
Udang windu telah menjadi bagian integral dari sejarah akuakultur Indonesia selama berabad-abad. Budidaya udang windu telah dikenal sejak zaman kolonial Belanda, dimana udang ini dipelihara di tambak-tambak tradisional (Hambrey, John. 1992).
Dalam beberapa dekade terakhir, meningkatnya permintaan pasar global telah mendorong pertumbuhan industri budidaya udang windu di Indonesia. Puncak kejayaan budidaya udang windu terjadi pada tahun 1980-an hingga awal 2000-an, dimana produksi udang windu mencapai lebih dari 500 ribu ton per tahunnya (Adisukresno. 2002). Sayangnya, penurunan produksi terjadi setelahnya yang terutama disebabkan karena adanya serangan penyakit White Spot Syndrom Virus (WSSV), (Misal) di Aceh, yang merupakan wilayah penghasil terbesar udang windu di Indonesia, mengalami penurunan signifikan pada tahun 2010 dari yang sebelumnya produksi 100.000 ton/tahun anjlok ke 70.000 ton/tahun.
Demi mewujudkan keberlanjutan budidaya udang windu, sebagai spesies asli dari Indonesia, WWF-Indonesia bersama dengan mitra berupaya untuk melakukan berbagai perbaikan. Bersama dengan mitra perusahaan, PT Mustika Minanusa Aurora dan PT Misaja Mitra Pati upaya perbaikan dalam platform Seafood Savers dilakukan sejak tahun Juni 2015 dan Mei 2022. Kedua perusahaan ini menjalin erat kemitraan dengan para petambak tradisional yang menjadi dampingan dalam melaksanakan program perbaikan perikanan (Aquaculture Improvement Program) menuju sertifikasi ekolabel Aquaculture Stewardship Council (ASC)
PT Mustika Minanusa Aurora bekerja sama dengan dua petambak tradisional di wilayah Tarakan, Kalimantan Utara, sedangkan PT Misaja Mitra Pati bekerja sama dengan empat petambak tradisional di wilayah Brebes, Jawa Tengah. Langkah ini tidak hanya akan memperkuat komunitas lokal, tetapi juga memberikan dorongan besar bagi perkembangan ekonomi masyarakat lokal.
Salah satu aspek penting dari keberlanjutan perikanan adalah kegiatan konservasi habitat. Kedua perusahaan menyadari pentingnya mangrove sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota. Perusahaan berkomitmen untuk melakukan upaya rehabilitasi mangrove, sebagai bentuk upaya kompensasi dari kegiatan budidaya yang mereka lakukan, serta sebagai upaya untuk mendukung terwujudnya ekosistem yang seimbang dan berkelanjutan.
Budidaya udang sendiri sebagian besar dilakukan di tambak-tambak yang dikonversi dari ekosistem mangrove. Berdasarkan data yang dirilis oleh Clark Lab (https://www.aquaculture.earth/coastal/index.html), dalam kurun waktu 1999 – 2022, 2.077.751 km2 hutan mangrove di Indonesia dikonversi menjadi tambak udang.
Dalam periode 1 tahun, PT Misaja Mitra Pati telah berhasil menanam mangrove di lahan seluas 5 ha sedangkan PT Mustika Minanusa Aurora Tarakan selama kurang lebih 10 Tahun telah berhasil menenam mangrove di lahan seluas kurang lebih 50 hektar Keberhasilan membangun kembali habitat mangrove dan lingkungan vegetasi pantai ini diharapkan dapat memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan guna meningkatkan daya dukung, produktivitas, dan menjaga sistem penyangga kehidupan.
Adanya kerja sama dengan petambak tradisional membutuhkan peran lebih dari perusahaan untuk menjaga komitmen dan relasi dengan petambak. Ansar anam, PIC PT MMA, mengatakan “Kepengurusan legalitas dari para petambak yang ada di Tarakan cukup memakan waktu dan membutuhkan banyak usaha, karena rata-rata lahan tambak budidaya yang ada di Kaltara hampir tidak mempunyai legalitas. Adanya program ini, membuat petambak cukup terbantu dengan melegalkan lahannya. Program ini juga memberikan pendampingan sekaligus pelatihan yang dapat menambah pengetahuan untuk budidaya itu sendiri.”
Upaya juga dilakukan untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan udang. Hal ini tidak hanya memprioritaskan pencegahan penyakit yang efektif, tetapi juga mengutamakan aspek animal welfare. Dengan meminimalkan risiko penyakit, kedua perusahaaan memastikan udang yang dihasilkan tidak hanya berkualitas tinggi tetapi juga diproduksi dengan standar etika yang tinggi. Perusahaan juga memberikan peringatan keras untuk tidak berburu hewan liar disekitar lingkungan tambak.
Melalui kemitraan dengan petambak tradisional, perusahaan membantu menjaga keberlanjutan perekonomian lokal. Upaya restorasi mangrove mereka juga membantu memberikan perlindungan terhadap abrasi pantai, dan menyediakan habitat bagi berbagai hewan laut. Selain itu, fokus pada kesehatan udang juga mengurangi risiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan obat-obatan dan bahan kimia secara berlebihan.
Mardhani Lucky, perwakilan dari PT Misaja Mitra Pati menyampaikan “Adanya kerja sama dengan petambak cukup memberikan tantangan baru seperti menjaga komitmen dari para petambak dan meyakinkan mereka dalam bidang budidaya. Cuaca yang tidak menentu dan tidak bisa diprediksi juga memberikan tantangan karena siklus AIP terjadi pada musim kemarau yang berkepanjangan. Tetapi dengan adanya usaha dan komitmen penuh dari semua yang terlibat, menjadikan AIP ini sukses dan berdampak pada proses budidaya yang bisa menghasilkan SR >25% sesuai dengan standar yang ditetapkan.” Usaha perbaikan praktik budidaya udang windu yang dilakukan oleh kedua perusahaan bersama dengan suppliernya telah terverifikasi oleh pihak ketiga, Certified Accreditation Body. PT MMA berhasil mendapatkan sertifikasi ASC udang pada 100 ha tambak suppliernya dan PT Misaja Mitra Pati pada 11.14 ha. Total luasan tambak tradisional dengan pembudidaya skala kecil sebagai produsernya yang telah tersertifikasi adalah 111,14 ha, dengan produksi tahunan sebesar 11,4 ton.
Capaian ini menjadi landasan yang kuat untuk perjalanan keberlanjutan perusahaan Harapannya, upaya mereka menjadi inspirasi bagi industri perikanan lainnya untuk mengikuti jejak menuju masa depan perikanan Indonesia yang lebih berkelanjutan.