PENYELAMATAN PENYU, BENTUK KONSERVASI SEJAK DINI UNTUK ANAK-ANAK PESISIR
Oleh: Frederik Peter Alan Batkormbawa (MPA Yamdena Assitantfor WWF-Indonesia Inner Banda Arc Subseascape)
Pagi itu, gerimis dan hawa dingin menyelimuti Ohoi (desa) Dian Pulau, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Udin Meturan, seorang nelayan yang sering dipanggil Om Udin, tidak sengaja menemukan seekor penyu hijau (Chelonia mydas) dengan ukuran karapas panjang 60 cm dan lebar 40 cm tersangkut di jaring (bycatch) miliknya.
Penyu hijau ini tertangkap tidak sengaja di sekitar perairan Pulau Vatukmas, masih dalam Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil, Pulau Kei Kecil, Pulau – Pulau dan Perairan Sekitarnya. Mengetahui salah satu spesies purba yang terancam punah tersebut tertangkap jaring, anak – anak kecil dan beberapa warga desa beramai – ramai menghampiri Om Udin dan perahunya untuk melihat – lihat.
“Ini namanya penyu hijau. Kalian tidak boleh tangkap, harus kasih kembali ke laut supaya bisa hidup. Kalau ketahuan tangkap, kalian bisa dipenjara,” ujar salah seorang warga kepada anak – anak yang sedang menonton Om Udin melepaskan penyu yang telilit jaring.
Penyu yang tertangkap ini dilepaskan kembali oleh Om Udin dan anak – anak kampung Ohoi Dian dengan hati gembira. Om Udin ikut menjaga populasi penyu sambil memberikan pemahaman langsung pada anak – anak kampung Ohoi Dian tentang pentingnya penyu terhadap keseimbangan ekosistem perairan. Sehingga mereka tahu, penyu bukan untuk diburu, dijual, apalagi untuk dikonsumsi. Inilah cara sederhana masyarakat pesisir mengenalkan generasi mudanya pada konservasi.
Gugusan Kepulauan Kei dan sekitarnya memang menjadi salah satu feeding area dan jalur migrasi penyu menuju wilayah sekitar Maluku seperti Papua dan Australia. Akibatnya, penyu sering kali tak sengaja menjadi tangkapan sampingan (bycatch) para nelayan yang tengah menangkap ikan.
Bycatch bukan satu – satunya ancaman bagi kelangsungan hidup penyu-penyu ini. Tidak dipungkiri, di tempat ini, masih marak perburuan dan pemanfaatan ekstraktif daging penyu untuk dikonsumsi atau dijual di pasar ikan setempat. Karapas penyu pun masih menjadi primadona sebagian nelayan yang menjualnya dengan harga tinggi. Karapas penyu dapat dijadikan berbagai macam kerajinan seperti gelang, kalung, dan souvenir lainnya untuk diperdagangkan.
Fenomena ini tentu melanggar UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ketika UU ini belum berperan maksimal melindungi penyu dari ancaman perburuan, peran nelayan lah yang kita butuhkan.
Kita perlu lebih banyak nelayan seperti Om Udin, yang mencontohkan anak – anak cara sederhana tentang pentingnya menjaga lingkungan demi keberlangsungan hidup mereka dimasa yang akan datang. Pentingnya edukasi dini terhadap konservasi lingkungan dan pengenalan spesies yang dilindungi kepada masyarakat menjadi tanggung jawab bersama dan lingkungan sekitar.
Bertepatan sehari setelah World Sea Turtle Day pada 16 Juni, penyelamatan penyu yang dilakukan oleh anak – anak kampung Ohoi Dian, Kabupaten Maluku Tenggara ini merupakan salah satu aksi kecil untuk mencegah penangkapan penyu secara ilegal dan menciptakan nilai edukasi kepada anak – anak sendiri.
Terlepas dari selebrasi tahunan tersebut, tugas kita sehari – hari lah untuk mengajak lebih banyak generasi muda ikut lindungi penyu dari ancaman kepunahan. Penanaman nilai konservasi sejak dini yang dimulai dari pesisir – pesisir laut kita.