PENGELOLAAN HUTAN SECARA LESTARI DI KAMPUNG SAWENDUI
Oleh: Natalia Trita Agnika
Pada Senin (13/06) yang lalu, sebagian tim Ekspedisi Saireri masuk ke sebuah hutan yang terletak di Kampung Sawendui, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua. Kami mengikuti beberapa anggota masyarakat adat di kampung itu yang sedang mengukur diameter dan tinggi pohon. Mereka adalah anggota dari Koperasi Serba Usaha (KSU) Kornui yang sedang melakukan inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP). KSU Kornui merupakan salah satu binaan WWF-Indonesia Program Papua dalam melakukan program community logging sebagai bagian dari sustainable forestry (pengelolaan hutan secara lestari).
Dalam kesempatan tersebut, Irianto Stef Amir, Forest Officer WWF-Indonesia Program Papua menjelaskan bahwa sustainable forestry adalah pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang dikhususkan di Papua untuk pengelolaan hutan masyarakat adat. “Jadi kami bekerja sama dengan pemda, khususnya pemda Provinsi Papua bagaimana memfasilitasi masyarakat agar dapat mengelola hutannya sendiri dengan sistem-sistem yang berkelanjutan dan lebih ramah lingkungan,” jelasnya.
Hutan di Sawendui dipilih menjadi salah satu lokasi program community logging karena memiliki potensi hutan yang sangat kaya. Selain sebagai habitat cendrawasih, kondisinya juga strategis dengan pantai dan merupakan kawasan yang dekat dengan peneluran penyu. “Itu merupakan salah satu kawasan yang harus kami intervensi untuk dikelola secara baik,” tutur Irianto Stef.
Pada saat WWF-Indonesia melakukan sosialisasi, ternyata masyarakat sangat mendukung kegiatan tersebut. Mereka sadar bahwa pengelolaan hutan secara berkelanjutan yang saat ini sedang dilakukan, jauh lebih menguntungkan karena menggunakan peralatan yang ramah lingkungan dan hasil kayu yang diproduksi jadi lebih banyak. Masyarakat juga memiliki keuntungan sendiri karena mereka bisa menebang untuk hari ini tetapi juga bisa menyimpan untuk anak cucu mereka. Dan paling penting, mereka dapat mengelola sendiri serta orang lain tidak dapat mengutak-atik (tidak ada intervensi dari perusahaan dari luar).
Namun, dalam program community logging ini, masyarakat adat tidak dapat mengelola semua hutan tersebut. Ada kawasan-kawasan penting yang harus dijaga. Masyarakat adat hanya dapat memproduksi area dengan jarak lebih dari 300 meter dari pantai serta sesuai dengan petak-petak dalam pemetaan. Ada 35 petak dengan masing-masing petak seluas 1 km x 1 km. Setiap tahunnya, mereka hanya dapat memproduksi satu petak. Dengan demikian, mereka dapat berotasi tiap tahun untuk produksi hutan mereka. Selain itu, tidak semua pohon dapat mereka tebang. Yang dapat ditebang adalah pohon-pohon berdiameter lebih dari 40 cm. Pohon-pohon besar yang berkaitan dengan keperluan pohon induk untuk pembibitan dan pohon-pohon yang dilindungi tidak boleh ditebang. “Waktu dulu, masyarakat kalau menebang pohon lantaran menebang atau berkebun. Mereka tidak tahu mana itu pohon produksi. Tidak tahu mana itu pohon yang dilindungi. Nah sekarang WWF tiba, kami tahu mana pohon yang dilindungi, mana yang diproduksi,” ungkap Hendrikus Woriasi, salah satu anggota KSU Kornui.
Pengelolaan hutan secara lestari juga mewajibkan penggunaan alat yang lebih ramah lingkungan. Untuk itu, alat yang digunakan adalah portable saw mill. Mesin tersebut dapat dipindah-pindahkan sehingga lebih efisien karena masyarakat dapat mengolah kayu di tempat penebangan. Bahan bakar yang digunakan pun lebih irit. Selain efisien, buangan dari hasil kayunya (rendemen) sangat sedikit. Hampir semua kayu dapat digunakan. Tidak seperti chain saw yang rendemennya hingga 50%. “Dulu kami olah kayu pakai chain saw, banyak kayu yang terbuang. Sekarang pakai saw mill hasilnya mantab, sampai kecil,” ujar Damianus Kurano, salah satu anggota KSU Kornui.
Masyarakat adat yang telah menebang pohon berkewajiban untuk menanam kembali area yang telah ditebang. Mereka telah mempersiapkan penyemaian bibit. Berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat adat, jika satu pohon ditebang, harus ditanam 10 pohon lagi.
“Kalau hutan ditebang sembarangan, secara bertahap, anak cucu ke depan tra (tidak –Red) akan dapat. Daerah pantai dan sekitarnya, kalau tra kita lindungi, anak cucu ke depan pasti tra dapat menikmatinya,” tutup Hendrikus Woriasi dalam perjalanan kami menandai pohon-pohon yang boleh ditebang dan tak boleh ditebang.