PELATIHAN SURVEI DAN PEMANTAUAN PESUT MAHAKAM: AGAR PESUT TAK SEKADAR SIMBOL DAN MITOS DI KALTIM
Oleh: Sri Jimmy Kustini
Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) merupakan satu-satunya lumba-lumba air tawar yang dimiliki Indonesia. Habitatnya sebagian besar berada di Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Kutai Kartanegara; oleh karena itu mamalia ini ditetapkan sebagai simbol dari Provinsi Kalimantan Timur.
Sayangnya, keberadaan pesut saat ini terancam punah akibat penurunan kualitas habitat dan jumlah ikan yang menjadi sumber pakan. Penurunan kualitas habitat mamalia ini terutama akibat tingginya aktivitas manusia yang tidak mengindahkan aspek kelestarian alam. Data terakhir dari Yayasan Konservasi RASI (Rare Aquatic Species of Indonesia) yang dilangsir pada 2014 menyebutkan bahwa populasi Pesut Mahakam diperkirakan tinggal 86 individu. Dalam kurun waktu 1995 hingga 2014, jumlah kematian pesut mencapai 83 individu dengan rata-rata kematian 4 pesut per tahun. Badan Konservasi Internasional IUCN (International Union of Conservation for Nature) telah menetapkan Pesut Mahakam dalam kategori satwa kritis dan terancam punah (Critically Endangered Species). Di Indonesia, pesut masuk dalam jenis satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 sebagai turunan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.
Mengantisipasi ancaman kepunahan satwa endemik yang didedikasikan dalam bentuk patung di Kantor Gubernuran Kaltim tersebut, WWF-Indonesia menginisiasi sebuah pelatihan survei dan pemantauan Pesut Mahakam sebagai upaya membantu konservasi satwa ini di Kalimantan Timur, khususnya di Lanskap Hulu Mahakam. Berlangsung pada 11-14 April 2015 lalu, pelatihan dilanjutkan dengan praktik lapangan selama 2 hari di Sungai Mahakam yang dimulai dari Kota Bangun, Muara Muntai (Kabupaten Kutai Kertanegara), dan berakhir di Penyinggahan, Muara Pahu, dan Melak (Kabupaten Kutai Barat). Kegiatan ini diikuti oleh 10 peserta. Danielle Kreb, Ph.D, peneliti pesut dari Yayasan Konservasi RASI Kalimantan Timur, bertindak sebagai instruktur pelatihan.
Pelatihan tersebut dilaksanakan khusus bagi staf WWF-Indonesia Program Hulu Mahakam dan Kantor Samarinda dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas staf dalam pemantauan populasi satwa endemik lumba-lumba air tawar di sungai Mahakam di Kalimantan Timur. Danielle Kreb dalam kesempatan itu menyampaikan bahwa kunci utama dalam upaya konservasi Pesut Mahakam adalah keterlibatan para pihak, terutama untuk mendata populasi, sebaran habitat, kualitas habitat, dan ancamannya. Dukungan pemerintah dalam konservasi Pesut Mahakam khususnya dalam kebijakan perlindungan habitat jelas sangat dibutuhkan untuk melestarikan pesut yang terancam punah ini.
Pada praktik lapangan yang berlangsung di antara wilayah Muara Pahu dan Manoor Bulatan, peserta berhasil menemukan dan mengidentifikasi sekitar 15 pesut. Yulizar, salah satu peserta pelatihan, menyatakan kegembiraannya karena berhasil mengidentifikasi dan melihat langsung Pesut Mahakam di habitat alaminya. ”Terakhir saya melihat pesut pada 1991 di daerah Samarinda. Baru tahun ini akhirnya saya bisa melihatnya lagi. Tidak hanya satu, tapi banyak. Sungguh sebuah kesempatan yang luar biasa,” ujarnya. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa seluruh pihak harus bekerja sama--termasuk pemerintah dan masyarakat--dalam upaya melindungi dan melestarikan satwa langka ini agar kelak tidak semata menjadi simbol dan mitos di Kalimantan Timur.