MENGUKUR MANFAAT EKONOMI DAN LINGKUNGAN DARI PENGELOLAAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN
WWF-Indonesia telah bekerja sama dengan pusat ilmu Pengetahuan Transdisipliner dan Keberlanjutan (CTSS) Universitas Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan studi biodiversitas agrikultur di empat kelompok petani dampingan WWF-Indonesia, yaitu Asosiasi Amanah di Pelalawan, Riau, Asosiasi Mandiri Bersama di Kuantan Singingi, Riau, KUD Rimba Harapan dan KUD Harapan Jaya di Sintang, Kalimantan Barat. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh BMP (Best Management Practice) kelapa sawit terhadap biodiversitas, jasa ekosistem, dan penilaian ekonomi. BMP sendiri telah dikenal sebagai pedoman penting untuk memastikan kebijakan penggunaan lahan yang aman dan pengelolaan perkebunan yang efisien.
Penelitian ini berfokus pada perbandingan antara perkebunan kelapa sawit BMP dan non-BMP di dua lokasi, yaitu Asosiasi Amanah dan Rimba Harapan. Kedua kelompok petani ini dipilih sebagai sampel untuk area yang tercakup dalam BMP, sedangkan sampel non-BMP diambil dari petani lain di sekitar lokasi yang sama yang memenuhi kriteria penelitian.
Salah satu temuan yang menarik adalah keterkaitan isu keanekaragaman hayati dengan aspek jasa ekosistem dimana hal ini disoroti oleh keberadaan serangga dalam ekosistem. Studi ini menunjukkan bagaimana serangga dapat digunakan sebagai indikator pengelolaan air yang baik, perkembangan signifikan dalam pengendalian hama dan jasa karbon. Hal ini terkait dengan fakta bahwa serangga merupakan predator dan musuh alami pengendalian hama secara biologis. Studi ini juga menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit BMP memiliki jumlah predator parasitoid yang lebih banyak, sedangkan perkebunan kelapa sawit yang tidak menerapkan BMP memiliki jumlah hama yang lebih banyak.
Dalam aspek valuasi ekonomi, penelitian ini juga menunjukkan bahwa petani yang menerapkan BMP memiliki nilai ekonomi yang lebih baik dalam hal produksi jasa ekosistem. Perkebunan yang menerapkan BMP menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp 30 - 32 juta per hektar per tahun setelah dikurangi biaya operasional dimana pendapatan jasa ekosistem berupa pengendalian hama alami bernilai Rp 10 - 11 juta per hektar per tahun. Penelitian juga menemukan bahwa perkebunan yang tidak menerapkan BMP menimbulkan biaya yang lebih tinggi terkait dengan pengaturan air dan erosi. Hal ini disebabkan oleh penurunan kuantitas sedimen di sungai, yang dapat meminimalisir risiko banjir.
Dalam penilaian aspek ekonomi sendiri, ada tiga pendekatan yang dilakukan. Pertama, pendekatan berbasis pasar yang mengevaluasi nilai dengan membandingkan kualitas air antara perkebunan kelapa sawit BMP dan non-BMP. Kedua, pendekatan yang mempertimbangkan biaya yang dihindari, diukur dari manfaat ekonomi dari penghematan biaya sedimentasi dan biaya pengerukan yang lebih rendah. Terakhir, pendekatan jasa musuh alami yang memperkirakan nilai pengendalian hama yang ditunjukkan oleh ketersediaan serangga, yang mengurangi kebutuhan pestisida dan mempertahankan hasil panen. Dengan metode tersebut, kami dapat membantu mengukur manfaat ekonomi dari praktik dan jasa lingkungan.
Berdasarkan temuan ini, dapat disimpulkan bahwa mempraktekkan pengelolaan kelapa sawit yang berkelanjutan tidak hanya memberi keuntungan dalam aspek lingkungan, tetapi juga aspek ekonomi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa elemen kecil di alam seperti serangga juga memainkan peran krusial bagi ekosistem. Namun, hasil penelitian ini juga dipengaruhi oleh karakteristik spasial yang berbeda dari masing-masing perkebunan. Asosiasi Amanah terkait dengan perkebunan yang mudah terlihat yang terletak di satu area seperti yang telah dirancangkan oleh Asian Agri. Sedangkan Koperasi Rimba Harapan memiliki perkebunan yang lebih tersebar dan tidak beraturan karena pada awalnya petani lokal menanamnya di berbagai lokasi. Oleh karena itu, karakteristik spasial ini mempengaruhi jasa ekosistem, koridor habitat, dan iklim mikro di setiap perkebunan.
Langkah Selanjutnya
Untuk pengembangan lebih lanjut dari aspek jasa ekosistem dan ekonomi, pengembangan skema insentif untuk pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan selain dari kredit RSPO akan diperlukan. Peningkatan pembayaran untuk jasa lingkungan, edukasi yang lebih lanjut mengenai manfaat jangka panjang dari kredit RSPO dan pengembangan kredit sosial yang mencakup peraturan hak asasi manusia dan isu-isu korporasi diharapkan dapat menunjukkan manfaat yang lebih konkrit yang mendorong petani untuk menerapkan BMP.