MENGENAL SARANO WALI, SISTEM KEADAATAN DI WAKATOBI (4)
Penulis: Rinto Andhi (Social Development Coordinator) dan Sadar (Marine Conservation Outreach and Awareness Officer), WWF-Indonesia Program Southern Eastern Sulawesi Subseascape/SESS
Indikator Kaombo Masih Efektif dan Berjalan
Kaombo adalah sistem tata kelola sumber daya alam di wilayah keadatan Sarano Wali. Kaombo berlaku terhadap pelestarian sumber daya alam dan biota yang hidup di dalamnya, termasuk hutan lindung, mangrove, pesisir pantai, dan terumbu karang. Ada tujuh indikator dalam mengkaji kelembagaan kaombo, yaitu: tata batas wilayah, aturan, hak, kewenangan, sanksi, mekanisme penyelesaian konflik terhadap pelanggaran kaombo, dan sistem pengawasan. Dalam artikel sebelumnya telah dibahas tiga di antaranya.
Berikut adalah indikator dalam mengkaji kelembagaan kaombo yang keempat hingga ketujuh:
- Kewenangan
Dalam pola pengelolaan kaombo, terdapat kepemimpinan dapura (tiga tungku), yang artinya ada tiga pemimpin yang berhak membuat keputusan bersama dengan masyarakat. Ketiga pemimpin yang berwenang adalah Lakina—beserta turunannya berfungsi mengatur kaombo dengan keadata, Imam—beserta turunannya berfungsi mengatur keagamaan berkaitan dengan hal muamallah, dan Lurah—beserta turunannya berfungsi mengatur hubungan masyarakat, pranata adat dan agama dengan administrasi kepemerintahan.
- Sanksi (karambici)
Terdapat tiga sanksi terhadap pelanggar aturan kaombo, yaitu sanksi ringan berupa teguran, sanksi sedang berupa peringatan keras dan sanksi berat berupa hukuman sosial atau denda. Mekanisme pemberian sanksi didahului dengan ritual dengan ritual adat, dan berkumpul di baruga Sarano Wali. Hal ini dilakukan untuk memberikan informasi kepada seluruh masyarakat Wali bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap aturan kaombo. Pemberian sanksi dipimpin oleh sara hokumu yang terdiri dari sara kasisi (imam) dan sara adati (lakina). Dalam pemberian sanksi pelanggaran terhadap kaombo, dikenal sistem denda yang disebut bhoka, sekitar Rp. 24.000,-. Sistem sanksi yang terdapat di Sarano Wali merupakan sanksi sosial bagi pelaku pelanggaran nilai adat dan kesepakatan bersama.
Jenis Pelanggaran
Denda (bhoka)
Nominal (Rp)
Kima yang menempel di karang
25 bhoka/ekor
Rp 600.000,-
Penyu (penyu hijau dan penyu sisik/ kura-kura laut) atau sejenisnya
150 bhoka/ekor
Rp3.600.000,-
Telur penyu (penyu hijau dan penyu sisik/kura-kura laut) atau sejenisnya
25 bhoka/butir
Rp600,000,-
Lumba-Lumba, Paus (Bungkulawa) dan Duyung (Dhiu),
250 bhoka/ekor
Rp6.000.000,-
Akar bahar (pantoga)
15 bhoka/pohon
Rp360.000,-
Batu karang (sahasa)
42 bhoka/batang
Rp1.008.000,-
Bom ikan
1042 bhoka/pelanggaran
Rp25.008.000
Potassium
280 bhoka/pelanggaran
Rp6.720.000,-
Akar tuba
100 bhoka/batang
Rp2.400.000,-
Penggunaan kompresor dalam mengambil hasil laut
1042 bhoka
Rp25.008.000,-
Tabel jenis pelanggaran, denda adat, dan nominal rupiah
Sumber: WWF SESS, FGD Pemetaan Partisipatif Sarano Wali, 2015.
- Penyelesaian Konflik Terhadap Pelanggaran Kaombo
Mekanisme penyelesaian konflik dilakukan dengan menggunakan aturan adat melalui pendekatan kemanusiaan dan kekeluargaan. Apabila pelanggarnya adalah masyarakat Wali, maka diselesaikan dengan kekeluargaan. Efek jera bagi pelanggar berupa sanksi sosial, yaitu dikucilkan oleh masyarakat. Apabila pelanggarnya adalah masyarakat luar, maka akan dikonsilidasikan dengan penguasa masyarakat pelanggar, baru disidang dan dijatuhi hukuman. Jika pelanggaran yang terjadi menimbulkan masalah publik berkaitan dengan pidana, maka akan diserahkan kepada pihak berwajib dengan sebelumnya perkara diselesaikan secara adat.
- Sistem Pengawasan
Dalam struktural keadaatan terdapat pengawas kaombo pesisir yang bernama cungguno pasi (penjaga karang, pengatur lokasi tangkap nelayan), cungguno maranggo (penjaga hutan sara/adat, termasuk mangrove), dan cungguno ngapa (penjaga pantai). Selain penjaga, pengawasan juga melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk mengawasi kaombo pesisir.
Kegiatan penguatan kelembagaan adat Sarano Wali dan kaombo sangat didukung oleh masyarakat adat Sarano Wali dan Balai Taman Nasional Wakatobi. Hal ini dibuktikan dengan antusiasnya tokoh adat dan pemerintah desa/kelurahan di Pulau Binongko dan dukungan positif bagi pengelolaan kawasan konservasi di Wakatobi.
Selama dalam proses pendampingan dan kegiatan lapangan, semangat mengaktifkan kembali sistem adat Sarano Wali dan Kaombo, lahir atas keinginan masyarakat etnis Cia-Cia. Para tokoh dan sebagaian besar orang tua khawatir akan luruhnya budaya dan tradisi di kalangan generasi muda. Ada beberapa permintaan masyarakat dan Balai Taman Nasional Wakatobi kepada WWF-Indonesia Program SESS, seperti diharapkan adanya komitmen WWF dengan masyarakat adat Sarano Wali dalam penguatan kelembagaan adat Sarano Wali; membantu fasilitasi dan mendorong pemerintah dalam program konservasi dan lembaga adat dalam penguatan kapasitas revitalisasi adat Sarano Wali; serta membantu femfasilitasi kesepakatan bersama dengan sistem pengaturan “tiga tungku” melalui sistem kepemimpinan dapura (Lurah-Lakina-Imam) di seluruh wilayah desa/kelurahan etnis Cia-Cia di Pulau Binongko.
(selesai)