MENGENAL SARANO WALI, SISTEM KEADAATAN DI WAKATOBI (2)
Penulis: Rinto Andhi (Social Development Coordinator) dan Sadar (Marine Conservation Outreach and Awareness Officer), WWF-Indonesia Program Southern Eastern Sulawesi Subseascape/SESS
Wakatobi, kawasan konservasi Taman Nasional yang berada di jantung segitiga karang dunia ini tak hanya memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi, tetapi juga budaya maritim yang masih dijunjung tinggi oleh etnis-etnis yang mendiaminya. Salah satu budaya maritim yang masih ada dan berjalan saat ini adalah wilayah adat sara. Dari sekian sistem keadaatan sara, Sarano Wali—sistem keadatan yang dimiliki oleh etnis Cia-Cia—merupakan salah satu sara yang efektif dengan ketaatan aturan-aturan adatnya. (Baca juga Menguatkan Kembali Sarano Wali di Pulau Binongko, Wakatobi)
Apa yang Menarik dari Kaombo sebagai Sistem Tata Kelola Adat Pesisir?
Kaombo adalah sistem tata kelola sumber daya alam di wilayah keadatan Sarano Wali. Kaombo berlaku terhadap pelestarian sumber daya alam dan biota yang hidup di dalamnya, termasuk hutan lindung, mangrove, pesisir pantai, dan terumbu karang. Wilayah keadatan sarano wali mempunyai kaombo pesisir dengan sistem buka tutup (open-close harvest). Menurut tradisi lisan culadha tape-tape, kaombo adalah sebuah perintah larangan yang tidak boleh dilanggar. Apabila dilanggar, maka pelanggar akan mendapatkan bala atau hukuman akibat dari doa-doa yang berasal dari tokoh-tokoh adat. Filosofis kaombo di dalam hukum adat Sarano Wali merupakan tolu mingku we’eli—hukum tiga perbuatan akhlak manusia—yang hingga kini masih berakar dalam adat Sarano Wali. Bersumber dari nilai kognitif pato mea karonto mai kala’a (empat sumber keadilan dan kebenaran), pato mea karopu kasoka (empat sumber kehancuran), pato mea hakekati toba (empat sumber hakekat tobat), yang menjadikan aturan Sarano Wali dan kaombo masih ada hingga saat ini dan menjadi pandangan hidup masyarakat etnis Cia-cia Binongko.
Kaombo sebagai Tata Kelola Pesisir Berbasis Masyarakat Adat Wali
Salah satu rencana kerja tim social development WWF-Indonesia program Southern-Eastern Sulawesi Subseascape/SESS di Taman Nasional Wakatobi adalah penguatan kelembagaan tata kelola sumber daya pesisir dan kelautan berbasis masyarakat. Sejak awal tahun 2015 hingga pertengahan 2016, sudah ada beberapa kegiatan yang dilakukan untuk mendukung rencana kerja tersebut: 1) Identifikasi situs keramat; 2) Identifikasi pranata sarano wali dan kaombo; 3) Pemetaan partisipatif wilayah kaombo; dan 4) Penguatan kelembagaan adat Sarano Wali dengan tujuan mendorong implementasi kaombo oleh masyarakat adat wali.
Berbicara tentang kaombo, tidak terlepas dari adat dan pranata adat yang berjalan di masyarakat. Dua hal penting dalam kaombo adalah kewilayahan (territorial) dan sistem nilai sosial yang melekat dengan alam. Kewilayahan menjadi unsur yang nyata karena kaombo bersifat tata ruang (kawasan) dan merupakan pranata sistem sosial yang melekatkan erat aktivitas sosial dengan lingkungan ekosistemnya. Bagi masyarakat, kaombo adalah fungsi sosial, ekonomi, dan ekologi. Batas kaombo dihasilkan melalui musyawarah bersama masyarakat, imam (tokoh agama), pemerintah kelurahan, dan lakina (tokoh adat) yang dikenal dengan sistem kepemerintahan tiga tungku—atau dapura (sebutan dari Lurah Wali, Bapak Jaenuddin).
Inisiasi revitalisasi kaombo pesisir ditetapkan pada bulan Februari 2015 lokasinya berada di ujung wilayah kampung Kelurahan Wali dan bertetangga dengan Desa Haka. Alasan kaombo diaktifkan kembali adalah karena hasil laut sudah semakin langka, juga menurunnya biota pesisir dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Area kaombo pesisir ditetapkan di ujung kampung agar tidak mengganggu alur transportasi laut masyarakat dan aktivitas perempuan mencari ikan dalam meti-meti.
Kaombo yang telah disepakati oleh kepemimpinan dapura bersama perwakilan masyarakat maka diinformasikan kepada masyarakat luas melalui pesan lisan baik kepada ibu-ibu maupun anak-anak yang ada di Kelurahan Wali. Dalam aturan kaombo terdapat juga pengenaan sanksi: sanksi ringan, sanksi sedang—berupa teguran, dan sanksi berat—berupa denda. Sistem denda yang berlaku adalah bhoka (1 bhoka sama dengan Rp24.000,-).
(bersambung)