MENGENAL SARANO WALI, SISTEM KEADAATAN DI WAKATOBI (1)
Penulis: Rinto Andhi (Social Development Coordinator) dan Sadar (Marine Conservation Outreach and Awareness Officer), WWF-Indonesia Program Southern Eastern Sulawesi Subseascape/SESS
“Atumauri lu’uno mata’u, i lawano hate’uo cirino hanci’u, jasadhi’u, rohi’u, asomo tolu mingku we’eli no koramba, pato mea karonto mai kala’a, pato mea karopu kasoka, pato mea hakekati toba, rike’enomo asomo nipindandai-nto”. Artinya adalah kutitipkan air mataku, di pintu hatiku, pada tetesan kerigatku, tubuhku, jiwaku, untuk, tiga perbuatan akhlak, terdiri atas: empat sumber keadilan dan kebenaran, empat sumber kehancuran, empat sumber hakekat tobat, itulah untuk pegangan kita.
(Landasan Filosofis Sarano Wali)
Tersebutlah Kepulauan Wakatobi, kawasan konservasi Taman Nasional yang berada di jantung segitiga karang dunia dan mempunyai keanekaragaman hayati laut yang tinggi. Tak hanya itu, berbagai etnis bangsa bermukim di dalam gugusan kepulauan tersebut. Setidaknya terdapat tiga etnis dominan yang berada di Kepulauan Wakatobi: Cia-cia, Mbeda-mbeda, dan Bajo. Ketiga etnis tersebut adalah bagian dari masyarakat yang sudah lama bermukim di Kepulauan Wakatobi, bahkan sebelum NKRI lahir.
Ketiga etnis tersebut tidak terpisahkan dari alam, baik sebagai sumber mata pencaharian sehari-hari maupun budaya yang melekat pada sistem sosial mereka. Hubungan alam dan sosial masyarakat membangun cara pandang mereka sehingga terbentuklah akar budaya maritim di dalam pola aktivitas masyarakat. Salah satu budaya maritim yang masih ada dan berjalan saat ini adalah wilayah adat sara. Sara merupakan pranata adat dan sistem nilai yang saat ini masih dijalani dan ditaati oleh masyarakatnya. Dari sekian sistem keadaatan sara, Sarano Wali merupakan salah satu sara yang efektif dengan ketaatan aturan-aturan adatnya. (Baca juga Menguatkan Kembali Sarano Wali di Pulau Binongko, Wakatobi)
Mengapa Sarano Wali?
Sarano Wali adalah sistem keadaatan yang dimiliki oleh etnis Cia-cia di Wakatobi yang mendiami di sebagian Pulau Binongko. Pulau Binongko merupakan pulau terujung di Kabupaten Wakatobi dan dikenal dengan Pulau Pandai Besi, karena sebagian masyarakat di pulau tersebut adalah (empu) pembuat pisau dan parang dari besi. Dengan kondisi struktur kepulauan yang tandus dan tersusun atas batu-batu karang, menjadikan masyarakatnya sangat arif terhadap alamnya. Salah satu kearifan yang dimiliki etnis Cia-cia dalam mengelola dan menjaga alamnya adalah dengan mengatur alam melalui kaombo.
Kaombo merupakan pranata adat yang ditaati dan masih dijalankan oleh etnis Cia-cia di Binongko. Secara harfiah, kaombo berarti dilarang—maksudnya ada pelarangan mengambil sesuatu yang bukan haknya, dan apabila dilanggar akan mendapat sanksi, baik sanksi melanggar doa-doa kaombo maupun sanksi adat. Ada dua kategori kaombo: bersifat pribadi dan adat. Kaombo pribadi melekat pada hak milik pribadi, misalnya adalah tanaman buah mangga milik seseorang yang tidak boleh diambil mangganya tanpa seijin yang punya. Sedangkan kaombo yang bersifat adat, lebih melekat pada hak milik adat atau hak milik bersama, seperti hutan adat, mangrove, dan pesisir pantai. Seseorang dilarang mengambil atau mengekstraksi sumber daya di wilayah adat untuk kepentingan pribadi. Sumber daya kepemilikan adat mempunyai fungsi sosial sebagai kepunyaan adat dan dipergunakan untuk kepentingan adat dan umum. Dalam Sarano Wali setidaknya terdapat tiga tata kelola adat kaombo, yaitu kaombo pribadi, kaombo hutan lindung, dan kaombo pesisir.
Apa yang dimaksud dengan Wilayah Kelola Sumber Daya Berbasis Adat?
Wilayah kelola adat pesisir adalah sistem sosial perpaduan antara pengaturan ekosistem untuk menjaga keanekaragaman hayati, nilai budaya masyarakat setempat, serta kelembagaan yang bersifat mengikat yang dibentuk, disepakati, dan dilaksanakan bersama oleh masyarakat.
Saat ini terdapat dua tren tata kelola masyarakat dalam mendukung implementasi pengelolaan dan perlindungan kawasan akan keberlangsungan sumber daya (Kothari, 2008). Dua konsep model yang sedang tren tersebut adalah Collaborative Management of Protected Areas (CMPA’s) dan Indigenous Peoples' and Community Conserved Territories and Areas (ICCA’s).
(bersambung)