MENGENAL KEI DARI PULAU NAI DAN POTENSI BUDIDAYA RUMPUT LAUT
Penulis: Muhammad Rukni Assegaf (Mahasiswa Universitas Lampung Jurusan Budidaya Perairan yang melakukan penelitian skripsi di Kei)
Budidaya rumput laut menjadi salah satu alternatif mata pencaharian masyarakat di Maluku Tenggara sejak tahun 2007 hingga sekarang. Namun, tantangan mulai datang dengan munculnya hama ice-ice yang menyerang rumput laut. Ditambah lagi dengan menurunnya harga rumput laut hingga ke Rp7.000/kg, hal ini menjadi semacam pukulan yang harus ditangkis oleh para pembudidaya untuk terus bertahan. Berdasarkan pada hal tersebut, solusi yang tepat pun dicari melalui penelitian rumput laut yang bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan varietas rumput laut terbaik dan tahan terhadap penyakit ice-ice.
Potensi pengembangan budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii) di Kabupaten Maluku Tenggara sangat besar karena wilayahnya dikelilingi laut dan kualitas air perairannya baik untuk pertumbuhan rumput laut. Arus di perairan Maluku Tenggara tidak terlalu kuat sehingga tidak membuat rumput laut mudah kotor dan patah. Namun dari hasil pengamatan saya, pemanfaatan hasil-hasil kelautan di kabupaten ini dirasa masih belum cukup optimal. Potensi yang ada sebagian besar hanya digunakan oleh nelayan untuk perikanan tangkap dan masih sedikit yang mengusahakan budidaya rumput laut.
Selama melakukan penelitian skripsi di Pulau Nai—salah satu pulau dari gugus Kepulauan Kei Kecil di Kabupaten Maluku Tenggara—saya melihat permasalahan yang ada pada budidaya rumput laut di Kepulaun Kei Maluku Tenggara adalah penggunaan bibit rumput laut yang berulang kali. Hal ini menyebabkan produksi budidaya rumput laut kurang maksimal sehingga pertumbuhannya lambat dan mudah terserang penyakit. Upaya yang dilakukan demi meningkatkan jumlah produksi rumput laut adalah menggunakan bibit yang berkualitas, yaitu bibit hasil kultur jaringan. Bibit hasil kultur jaringan akan mempercepat pertumbuhan dan mengurangi serangan penyakit pada saat budidaya rumput laut.
Bibit kultur jaringan sendiri merupakan bibit yang didapat dari hasil laboratorium dengan mengambil bagian rumput laut dengan pertumbuhan yang cepat kemudian diperbanyak. Oleh karena itu, bibit kultur jaringan memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan bibit konvensional—bibit turun temurun dari bibit sebelumnya. Penggunaan konstruksi yang tepat juga berpengaruh terhadapat tingkat produksi rumput laut. Penggunaan konstruksi long line berbingkai atau bantalan—sebutan masyarakat Kepulauan Kei—pun diujicobakan pada lokasi budidaya dan ternyata cocok dengan karakteristik perairan sekitar. Konstruksi long line menggunakan tali yang kokoh sehingga rumput laut yang dibudidayakan tidak mudah patah karena ombak. Konstruksi tali dari metode ini dianggap kokoh karena tali membentang berbentuk persegi panjang dengan empat jangkar utama dan dua jangkar pembantu. Tali untuk mengikat rumput laut terdapat di dalam bingkai tali yang berbentuk persegi panjang sehingga bibit yang ada dalam bingkai cenderung lebih bersih dari lumut.
Budidaya rumput laut dengan kultur jaringan diharapkan dapat berkembang dan membuka peluang usaha serta menyerap tenaga kerja. Untuk itu inovasi-inovasi olahan perlu dilakukan agar nilai jual rumput laut menjadi lebih tinggi. Diharapkan pula peningkatan produksi dapat merambah pasar ekspor.
Masyarakat Maluku Tenggara yang melakukan kegiatan budidaya rumput laut di Maluku Tenggara belum terhitung banyak, salah satunya ada di Pulau Nai ini. Hal ini dikarenakan faktor harga yang cukup murah dan hama yang menyerang membuat masyarakat enggan untuk melanjutkan kegiatan budidaya. Minimnya pembudidaya di Pulau Nai otomatis membuat produksi rumput laut sedikit sehingga perekonomian di sektor budidaya rumput laut kurang berkembang. Rumput laut hasil panen pun langsung dijual ke pengepul dalam bentuk rumput laut basah hanya dengan kisaran harga Rp6.000,00 – Rp7.000,00 per kg.
Penerimaan masyarakat atas kedatangan dan keikutsertaan saya sebagai mahasiswa untuk mengembangkan budidaya rumput laut sangatlah baik. Pada awalnya, hanya sedikit masyarakat yang melakukan kegiatan budidaya, namun setelah kedatangan mahasiswa masyarakat jadi lebih terpacu untuk meningkatkan perekonomian di sektor rumput laut. Masyarakat ikut membantu selama pembuatan konstruksi long line, penanaman rumput laut, dan sampling setiap minggunya. Selama di Pulau Nai, saya ikut serta membantu masyarakat berbudidaya rumput laut, seperti saat melakukan pengikatan bibit, membersihkan tali dari lumut, dan melakukan pengecekan ke lahan budidaya milik masyarakat. Salah satu pengalaman menarik saya selama berada di Kei adalah mengetahui berbagai jenis bibit lokal, mengetahui keindahan bawah laut di Kei, dan keunikan kei.