MEMPERKENALKAN SERTIFIKASI ASC DAN BMP UDANG WINDU KEPADA PETAMBAK PINRANG
Oleh: Zulkarnain (Faslok AIP Budidaya Udang – Pinrang) dan Idham Malik (Aquaculture Staff)
Sosialisasi Aquaculture Stewardship Council (ASC) dan Better Management Practice (BMP) Budi daya Udang Windu yang dilakukan pada 20 – 21 Mei lalu, merupakan kolaborasi antara WWF-Indonesia dan PT. Bogatama Marinusa (Bomar), perusahaan anggota Seafood Savers kepada pekerja tambak H. Tantang, supplier utama PT. Bomar. Bertempat di Kelurahan Pallameang, Kecamatan Mattirosompe, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, peserta sosialisasi yang berjumlah 15 orang ini terdiri dari 13 petambak dan dua penyuluh perikanan setempat. Sosialisasi ini merupakan langkah awal pendampingan kepada pembudidaya menuju budi daya udang windu yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, dengan mengikuti standar ASC Shrimp dan BMP Udang Windu.
Pada hari pertama, Muhammad Yusuf (Fisheries Science WWF-Indonesia) bersama Idham Malik (Aquaculture Staff) menjelaskan secara bertahap tentang ASC Shrimp. Penjelasan di mulai dari dasar pemikiran dan sejarah, dilanjutkan dengan penjelasan secara singkat tujuh prinsip dalam ASC Shrimp yang memuat; aspek legalitas tambak, dampak budi daya terhadap lingkungan, dampak budi daya terhadap kehidupan sosial masyarakat sekitar, praktik budi daya yang memperhatikan nasib pekerja, praktik budi daya yang memperhatikan hak-hak hidup udang dengan pencegahan dan penanganan penyakit, praktik budi daya yang menjaga kelangsungan hidup stok udang di alam, serta praktik budi daya dengan sumberdaya pangan dan energi yang efisien dan bertanggung jawab.
Selain itu, dijelaskan pula kondisi aktual kawasan tambak H. Tantang berdasarkan standar ASC Shrimp. Secara umum budi daya udang dilakukan dengan metode tradisional dengan padat tebar rendah dan teknologi sederhana. Namun, untuk memperoleh sertifikat ASC Shrimp, terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi, yaitu ketersediaan laporan BEIA (Biodiversity Ecosistem Impact Assessment) untuk melihat dampak budi daya terhadap lingkungan, ketersediaan laporan PSIA (Partisipatory Sosial Impact Assessment) untuk melihat dampak tambak terhadap masyarakat sekitar, ketersediaan papan informasi pada publik, ketersediaan Standar Operasional Program (SOP) budi daya, pencatatan kualitas air, dan ketersediaan pencatatan aktivitas budi daya dan dokumen benur.
Pada hari kedua, Muhammad Yusuf mengajak para pembudidaya untuk merefleksikan praktik budi daya udang windu. Saat ini para pembudidaya menerapkan sistem double atau susul dalam penebaran benur dan tidak dilakukan panen total. Hal ini dilakukan karena luasnya lahan budi daya yang menyebabkan sulitnya pembudidaya melakukan pengeluaran air dan pengisian air secara total. Menurut M. Yusuf, praktik tersebut dapat menurunkan tingkat kelulusan hidup udang (Survival Rate), sebab terjadi variasi ukuran udang dalam kolom air. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kanibalisme atau pemangsaan udang kecil oleh udang yang berukuran lebih besar. Praktik lain yang harus diperhatikan adalah penggunaan pestisida kimia untuk pemberantasan hama.
Di akhir kegiatan petambak dilakukan pengenalan penggunaan alat pengukur kualitas air, yaitu DO Meter untuk mengukur kadar oksigen dalam air, Hand Refraktometer untuk mengukur kadar garam dalam air, pH meter untuk mengukur kadar asam-basa dalam air dan Soil Tester untuk mengukur kadar asam-basa dalam tanah. Harapannya, petambak dapat mengukur kondisi air dan tanah, yang baik bagi pertumbuhan udang. Dengan adanya pelatihan mengenai ASC dan BMP ini, diharapkan pembudidaya udang supplier PT Bomar memahami penjagaan lingkungan hidup, sekaligus dapat meningkatkan produktivitas udang ditambaknya