MADU DANAU SENTARUM: PRODUK ORGANIK BERBASIS PENGETAHUAN LOKAL
Oleh: Masayu Yulien Vinanda
 
Jakarta (09/12)-Masyarakat di sekitar Taman Nasional Danau Sentarum khususnya di desa Leboyan dan Semangit, Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, sudah lama mengenal “tikung” (dahan buatan) sebagai teknik tradisional bertani madu. Teknik inilah yang berperan penting dalam pengembangan produksi madu organik di kawasan konservasi tersebut yang juga memberikan kontribusi penting bagi kehidupan perekonomian masyarakat petani madu Danau Sentarum.
 
Namun siapa sangka jika pengetahuan lokal bertani madu itu justru lahir dari sebuah pembelajaran alam. Kondisi alam Danau Sentarum yang kerapkali dilanda banjir menjadi “guru” yang berharga bagi masyarakat setempat.
 
“Dulu ada sebuah cerita, pada saat musim banjir tiba, ada sebatang pohon yang hanyut dan singgah pada pohon yang hidup. Lalu setelah air kering, dia menggantung di pohon itu, lalu kemudian datang lebah dan hinggap di batang tersebut. Kemudian ada seseorang yang menemukan lebah disitu, lalu kemudian dia panen, dan ternyata ia mendapatkan banyak sekali madu,“ jelas Basriwadin, salah satu warga Desa Semangit yang juga menjabat sebagai inspektur di Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS).
 
Hasil observasi sederhana inilah yang kemudian mendorong mereka untuk membuat dahan tiruan yang kemudian disebut “tikung.” Tikung sendiri dibuat dari pohon kayu tembesu yang sudah mati. Kayu ini dipotong dengan ukuran panjang 1.5 m, lebar 25 cm, dan tebal 4.5 cm. Tikung dibuat layaknya layang-layang, lebar di bagian depan, dan mengecil di bagian belakangnya.
 
“Kita memang sengaja desain seperti itu supaya di depan dia bisa buat kepala madu yang sangat besar,” imbuh Basriwadin.
 
Tikung lalu diletakkan di pohon-pohon sebagai sarang lebah hutan (Apis dorsata). Saat pohon-pohon mulai berbunga, maka lebah akan datang mencari makan dan membuat sarang di dahan tiruan tersebut.
 
Saat pemanenan, kelompok petani Danau Sentarum hanya memotong kepala madu saja, dan menyisakan anakannya agar populasi lebah tetap terjaga. Madu lalu diambil dari sarangnya dengan cara ditiris dan disaring. Seluruh proses dilakukan secara higienis sesuai dengan standar Internal Control System (ICS) yang sudah disepakati oleh para anggota kelompok petani madu tersebut.
 
Panen madu dilakukan pada musim penghujan, saat pohon-pohon di kawasan TNDS berbunga. Pada saat itu pula, pendapatan utama masyarakat yang didapat dari menjala ikan berada pada titik terendah. Produksi madu organik ini otomatis dapat membantu memberikan pendapatan alternatif bagi masyarakat di sekitar Danau Sentarum.
 
Data yang didapat dari Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) menyebutkan, pada tahun 2007, madu yang dihasilkan mencapai 4,3 ton. Sementara pada musim panen 2008-2009, produk madu organik mencapai 16,5 ton. 10 ton dijual ke mitra Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI), PT. Dian Niaga di Jakarta, dan 1,5 ton sisanya dijual ke sebuah LSM lokal, Riak Bumi.
 
Saat ini 217 orang dari 11 periau (kelompok tradisional petani madu) telah bergabung dalam Asosiasi. Jumlah ini tidak sampai separuh dari total jumlah periau di kawasan Danau Sentarum yang jumlahnya 33 periau dengan total produksi mencapai 30 ton. Jika Asosiasi mampu merangkul 21 periau lainnya, maka diperkirakan omzetnya akan mencapai 4 milyar rupiah. Sebuah nilai ekonomi yang tidak kecil dan patut untuk dikembangkan guna meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar kawasan konservasi Danau Sentarum.
 
       
 
 
 
