KORIDOR RIMBA BUTUH KELEMBAGAAN TATA KELOLA EKONOMI HIJAU
JAKARTA, 30 Januari 2018. Indonesia sebagai negara yang mendukung konferensi perubahan iklim telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 29% pada tahun 2030. Target penurunan GRK ini tertuang dalam dokumen kontribusi pengurangan emisi atau yang dikenal sebagai Nationally Determined Contribution (NDC).
Salah satu kunci untuk mewujudkan target ini adalah perbaikan tata kelola termasuk dalam bentuk rencana tata ruang. Demi mengatur tata ruang dan peruntukan lahan di pulau Sumatera, tahun 2010, sepuluh gubernur se-Sumatera bersepakat untuk bekerja sama penyelamatan lingkungan dengan menandatangani Peta Jalan (roadmap) Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera, dan kemudian disusul dengan keluarnya Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang lima koridor hutan di Sumatera. Salah satu dari lima koridor itu adalah Koridor RIMBA yang merupakan ekosistem penting dalam wilayah provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Barat (RIMBA) dengan luas 3,8 juta hektar.
Terkait hal ini, WWF-Indonesia atas dukungan dari Millenium Challenge Corporation (MCC)/Millenium Challenge Account Indonesia (MCA-Indonesia) telah melakukan tiga langkah penting upaya penyelamatan koridor RIMBA antara lain merestorasi hutan alam yang sudah rusak, mengupayakan perlindungan hutan alam dan ekosistem penting dalam rangka meningkatkan daya dukung ekosistem pulau Sumatera, dan mengembangkan model insentif dan disinsentif.
Setidaknya dapat dilihat dari pencapaian di tiga kluster WWF Indonesia Program RIMBA. Antara lain; Kluster 1 yang berada di dua provinsi, yakni Riau dan Sumatera Barat, telah memberikan pelatihan pengelolaan kebun karet dan sawit yang ramah lingkungan. Bahkan ikut membantu pemerintah kabupaten Dharmasraya membuat dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang diharapkan dapat dijadikan bagian dari kebijakan pemerintah provinsi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
Sedangkan di Kluster 2 berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Di sini WWF Indonesia Program RIMBA membangun sekat kanal di areal Hutan Lindung Gambut (HLG) Londerang sebanyak 80 unit. Termasuk membangun fasilitas early warning system (EWS) sebagai bagian upaya pencegahan dini kebakaran lahan dan hutan. Infrastruktur EWS ini dibangun sebanyak 7 unit yang berada di kawasan HLG Londerang. Termasuk merestorasi areal HLG yang terdampak akibat karhutla pada 2015 lalu seluas 200 hektar. Untuk peningkatan kemampuan ekonomi petani, juga diluncurkan aplikasi RIMBA. Yakni sebuah aplikasi yang menghubungkan antara petani di lahan gambut, akademisi dan pasar. Dengan demikian, petani dapat mengetahui pergerakan harga pasar dari hasil bumi yang mereka produksi.
Sementara di Kluster 3 yang berada di dua kabupaten Kerinci dan Merangin, Jambi, WWF Indonesia bekerja sama dengan KPH Produksi Unit 1 Kerinci. Upaya yang telah dilakukan wilayah kerja KPHP ini antara lain melakukan studi ekowisata dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Salah satu produk yang dikelola oleh masyarakat sekitar hutan adalah madu hutan. Di samping melakukan pembinaan kepada 11 kelompok tani kopi arabika. WWF-Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Lahar juga menghubungkan petani dengan para pembeli. Setidaknya, hingga kini sejak intervensi pada 2017 lalu, petani kopi arabika yang tergabung di dalam Kopi Alam Kerinci telah berhasil menjual produk kopi arabika kerinci sebanyak 20 ton setiap bulannya. Penanaman juga dilakukan di kluster 3. Persisnya di Kabupaten Merangin, Jambi. Di wilayah ini, lebih dari 430 hektar kawasan hutan kritis ditanam dengan berbagai jenis tanaman kayu dan buah.
Terkait pengelolaan kawasan, WWF-Indonesia melakukan rangkaian diskusi dan penelitian bersama Kemenko Perekonomian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, dan lainnya. Hasilnya adalah dibutuhkannya kelembagaan tata kelola ekonomi hijau di koridor RIMBA yang melakukan pengelolaan lanskap yang terintegrasi dan berkelanjutan melalui prinsip ekonomi hijau sebagai pelaksanaan Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera Tahun 2012-2032. Kelembagaan ini juga dapat berfungsi sebagai forum komukasi dan koordinasi baik pada tingkat kabupaten, provinsi dan nasional.
Rizal Malik, CEO WWF-Indonesia menyatakan, “Tata kelola kelembagaan adalah hal penting yang diusulkan oleh WWF sebagai langkah tindak lanjut yang perlu diambil oleh pemerintah’. Keterpaduan dalam pengelolaan akan terjadi apabila ada sinergi dan kerjasama para pihak antar sektor pada berbagai level yang terkait baik pusat, provinsi dan kabupaten. Sinergi kerjasama akan efektif jika dipayungi oleh sebuah kelembagaan yang mangatur komunikasi dan koordinasi dalam pengelolaan.
-0-
Informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Tri Agung Rooswiadji, Team Leader WWF Indonesia Program RIMBA
HP: 0811 2151 2276 | Email: trooswiadji@wwf.id
Thomas Barano, Manager Conservation Science Unit (CSU) WWF Indonesia
HP: 0812 2816 196 | Email: tbarano@wwf.id
Catatan Editor:
Koridor Rimba yang menghubungkan Jambi, Riau, dan Sumbar mencakup kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang-Bukit Baling, Cagar Alam (CA) Batang Pangean I-CA Batang Pangean II, TN Kerinci Seblat, Ekosistem Bukit Tigapuluh, TN Berbak, CA Maninjau Utara, CA Bukit Bungkuk, CA Cempaka, Taman Wisata Alam (TWA) Sungai Bengkal, dan Tahura Thaha Syaifuddin sebagai koridor gajah, harimau dan burung.