KETERBATASAN FISIK BUKAN HALANGAN DALAM MENJAGA LAUT
Rasanya tidak ada manusia di dunia ini yang ingin terlahir tidak sempurna. Semua orang berharap dilahirkan dengan kondisi fisik yang normal. Namun bagaimanapun, kita memang tidak bisa meminta dilahirkan sesuai dengan apa yang diinginkan. Begitu pula yang dialami oleh Muhamad Palahidu atau nama akrab Wama seorang nelayan dari Desa Labuan, Kecamatan Seram Utara Barat. Tidak ada cara lain selain mensyukuri dan membuktikan bahwa hidup dengan kondisi tidak normal juga mampu selayaknya seperti orang normal.
Wama terlahir dengan keterbatasan fisik pada kaki sebelah kiri menyebabkan dirinya tidak dapat berjalan secara normal. Kondisi fisik yang dialami sejak berumur 6 bulan tidak membuat kepercayaan dirinya berkurang. Justru keterbatasan yang ia miliki menjadi motivasi agar bisa bangkit dan mandiri untuk bisa membahagiakan keluarga kecilnya.
“Saya termotivasi dari diri sendiri, karena dari penghasilan melaut saya bisa menghidupi seorang istri dan dua orang anak yang masih duduk di bangku sekolah” jelas Wama. Wajahnya begitu ceria, semangat hidupnya meledak-ledak sehingga tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap mengais rezeki dari laut yang sudah ditekuni selama 15 tahun. Wama dibantu dengan sepeda kecil yang menjadi teman sehari-hari untuk membantunya berpindah dari rumah ke pinggir pantai sebelum berangkat melaut.
Melaut menjadi tantangan tersendiri bagi Wama, ia pernah mengalami kejadian yang hampir merenggut nyawanya sendiri. Meskipun demikian, ia tetap memilih untuk melaut karena pekerjaan sebagai nelayan ini yang mampu ia kerjakan. “Setiap hari saya berangkat melaut sekitar jam 5 pagi dan pulang tak menentu kadang pagi hari, siang hari kadang pula sore hari, tergantung hasil tangkapan ikan” jelasnya. Wama biasa mencari ikan di sekitar Pulau Tujuh, daerah ini termasuk ke dalam area calon Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Taman Pulau Kecil (TPK) Serutbar (Seram Utara dan Seram Utara Barat). Jenis ikan hasil tangkapannya berbagai macam, dari mulai ikan demersal, ikan pelagis kecil, hingga ikan pelagis besar, terkadang ia tidak sengaja menangkap spesies penyu dan hiu (bycatch).
Sebagian besar masyarakat Desa Labuan berprofesi sebagai nelayan sehingga jika wilayah perairan disekitarnya terdapat jenis-jenis satwa yang termasuk dalam kategori hewan langka, terancam punah dan dilindungi atau ETP (Endangered, Threatened and Protected), maka para nelayan berpeluang besar berinteraksi secara langsung dengan hewan laut tersebut, dalam hal ini penemuan dilapangan seperti hiu martil (Sphyrna lewini), jenis penyu di antaranya penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea) serta telur penyu.
Peraturan terkait jenis-jenis satwa dilindungi telah tertulis dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Tidak semua masyarakat pesisir mengetahui dan mengerti tentang adanya undang-undang tersebut. WWF-Indonesia sebagai mitra pelaksana Proyek USAID Sustainable Ecosystems Advanced (USAID SEA) bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat setempat melakukan pendataan harian perikanan tangkap. Dalam proses ini, tim enumerator WWF-Indonesia juga memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang peraturan dan pentingnya spesies ETP yang dilindungi berupa penyampaian secara tertulis maupun lisan.
“Dulu saya masih sering menangkap penyu dan hiu untuk dimakan dan dibagikan ke para tetangga. Saya tidak tahu kalau itu dilindungi. Setelah ada kegiatan WWF-Indonesia, saya mulai menyadari dan mengetahui bahwa itu dilarang untuk ditangkap, sekarang saya lebih paham bahwa bukan hanya penyu dan hiu yang dilindungi, tetapi masih banyak lagi hewan laut lainnya seperti dugong, pari, paus dan yang lainnya. Bagusnya kami diberikan informasi tersebut dalam bentuk poster sehingga lebih mudah untuk dipahami” jelas Wama.
Pemanfaatan spesies ETP sudah mulai berkurang. Contoh lainnya adalah pengambilan telur penyu di Pulau Tujuh. Wama aktif menjalankan perannya sebagai nelayan yang peduli terhadap hewan laut yang dilindugi dengan menyampaikan secara langsung kepada masyarakat agar mengurangi mengonsumsi telur penyu. Berdasarkan penemuan dilapangan, dalam sekali waktu, pengambilan telur penyu dapat mencapai 100 butir. ”Saat ini kegiatan tersebut sudah mulai berkurang. Sebagian masyarakat Desa Labuan sudah mulai menyadari bahwa telur penyu dilarang untuk dikonsumsi dan juga karena berbahaya bagi kesehatan” jelas Wama.
Penyadartahuan secara lisan tentang ETP spesies kepada masyarakat dan nelayan di Desa Labuan masih harus ditingkatkan, WWF-Indonesia bersama Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas) Pantai Utara di Desa Labuan akan melakukan sosialisasi, penyebaran poster dan pemasangan baliho tentang ETP spesies di Desa Labuan. Sehingga Wama, para nelayan dan masyarakat di Desa Labuan dapat mengetahui hewan-hewan laut yang dilindungi dan memahami betapa pentingnya menjaga keberlanjutan sumber daya laut di Kawasan Konservasi Perairan Serutbar.