KESEPAKATAN KOPENHAGEN BUKAN AKHIR DARI UPAYA PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM
Oleh: Masayu Yulien Vinanda
Bogor (24/10)-KTT Perubahan Iklim Kopenhagen tinggal menghitung hari. Beberapa pihak memprediksi perhelatan global tersebut akan berakhir buntu. Pasalnya pada negosiasi perubahan iklim di Bangkok September lalu, beberapa negara maju yang tergabung dalam Annex I terkesan setengah hati dalam menurunkan emisinya, sebut saja Amerika dan Cina. Bahkan sempat terjadi insiden ""walk out"" dari kelompok negara berkembang yang tergabung dalam G-77 akibat kekecewaan mereka terhadap negara-negara maju.
Namun di sisi lain harapan yang besar dan optimisme akan tercapainya kesepakatan perubahan iklim yang lebih baik di Kopenhagen masih dinanti organisasi konservasi global WWF-Indonesia.
“Kegagalan di Kopenhagen kemungkinan tidak terjadi…Kita harus hargai juga komitmen beberapa negara maju yang sudah mulai mau berubah kearah yang lebih baik..Contohnya Jepang yang bersedia mengurangi emisinya hingga 25 % pada 2020, dan yang lebih menggembirakan lagi adalah Norwegia yang menaikkan targat penurunan emisinya hingga 40 %,” ungkap Direktur Program Iklim dan Energi Fitrian Ardiansyah di sela-sela pelatihan wartawan lingkungan di Novotel, Bogor, Sabtu (24/10).
Yang menjadi concern Fitrian adalah seberapa besar deeper cut yang nantinya akan disepakati. Ia berharap deeper cut tidak berada pada lower level yaitu 20 sampai 25 persen, melainkan 25 sampai 40 persen.
Walaupun optimis perjanjian perubahan iklim yang dihasilkan Kopenhagen akan sesuai harapan, Indonesia tetap harus bersiap diri terhadap bencana perubahan iklim.
“Kalaupun semuanya berantakan…WWF sepakat terlepas apapun yang terjadi, Indonesia ini sudah berada dalam tingkat-tingkat awal menghadapi bencana perubahan iklim. Maka yang harus dilakukan.adalah pemerintah kita harus melakukan pengarusutaman aksi-aksi adaptasi di dalam program pembangunan…Disini pentingnya rekalkulasi budgeting di APBN dan APBD yang ada atau program pembangunan yang ada untuk kemudian dibebankan sedikitah untuk masalah adaptasi perubahan iklim,” tambah Fitrian.
Sementara mengenai dicapainya kesepakatan skema REDD di Kopenhagen nanti, Koordinator REDD WWF-Indonesia Iwan Wibisono mengatakan, “Kita tidak akan khawatir jika kesepakatan REDD di Kopenhagen tidak sesuai harapan…Karena ada tidak adanya REDD, kita tetap akan berupaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan seperti yang telah kita lakukan sebelumnya di sejumlah wilayah kerja WWF… Jika REDD tidak jadi, bukan berarti lantas kita jadi kehilangan ground untuk bekerja.”
Iwan mencontohkan proyek WWF di Kalimantan Barat yang sudah dimulai sejak tahun 90-an. WWF sudah memiliki basis lapangan yang kuat termasuk hubungan dengan para stakeholder yang sudah lama dibangun.
“Jadi intinya adalah ada tidak adanya REDD sebetulnya lebih kepada mengkonfirmasi perlunya upaya lebih serius untuk mengahdapi problem deforestasi dan degradasi hutan…Andaikan REDD tidak msasuk dalam Kopenhagen, kita tetap akan bekerja seperti apa yang telah kita lakukan sebelumnya,” pungkas Iwan.
Artikel terkait:
WWF dan SIEJ Gelar Pelatihan Jurnalis Menuju KTT Perubahan Iklim Kopenhagen