KEPIK, ADIK SI KUMBANG
Oleh: Lidwina Marcella & Verena Puspawardani
Jika kita mendengar kata “kepik”, maka yang terlintas dalam benak pastilah sebentuk serangga kecil berukuran 1-10 mm dengan sayap berwarna kuning, jingga, atau merah, berbintik hitam kecil-kecil. Namun, “kepik” yang sedang jadi perbincangan hangat di kalangan anak muda Jakarta saat ini bukan kepik dalam ordo Coleoptera tersebut, meskipun kepik yang satu ini juga bisa dibilang “adiknya kumbang.” Nah, binatang apa sih, ini?
“Kelas Pemimpin Kreatif Indonesia”, atau disingkat KEPIK, merupakan salah satu aksi atau gerakan Earth Hour Indonesia yang ingin berkontribusi dalam pengembangan kapasitas orang muda Indonesia agar menjadi pribadi yang mandiri dan mampu memberi respon positif terhadap masalah lingkungan di sekitar mereka dengan kapasitas yang dimilikinya.
Di kelas KEPIK pertama, yang diselenggarakan pada 27 Oktober 2012 lalu di STIKOM The London School of Public Relations, sesi awal diisi oleh Randu Rini, Koordinator Komunikasi SIAP II WWF-Indonesia, yang mempresentasikan materi “Kegiatan Program Kehutanan WWF-Indonesia dan AKSI yang dapat didukung orang muda”.
Topik utama di kelas pertama Kepik ini adalah “Membangun Komunitas dan Kampanye Kreatif”, dibawakan oleh Israr Ardiansyah, Manajer Komunitas Indonesia Mengajar. Israr berbicara masalah visi, misi, dan perkembangan komunitas. Setelahnya, Verena Puspawardani, Koordinator Kampanye untuk Program Iklim dan Energi WWF-Indonesia, berbicara soal strategi kampanye dari komunitas Earth Hour Indonesia.
Ada banyak hal menarik dari materi yang dibawakan oleh kedua pembicara. Di awal sesi, perasaan peserta dibuat campur-aduk dengan presentasi video dari komunitas Indonesia Mengajar, yang dengan menggunakan latar lagu Indonesia Pusaka, menceritakan kondisi pendidikan Indonesia masih belum memadai. Ditambah fakta ironis bahwa walaupun hampir 100% masyarakat Indonesia bebas dari buta huruf, tapi banyak yang putus sekolah. Hadirnya komunitas Indonesia Mengajar yang digagas Anies Baswedan bertujuan ingin ikut mencerdaskan bangsa lewat 2 hal: menambah jumlah guru dengan mengirimkan orang-orang muda berprestasi ke daerah-daerah terpencil, dan melahirkan calon-calon pemimpin bangsa berkualitas internasional yang mengerti perspektif rakyat kecil.
Dari pengalaman Indonesia Mengajar, para peserta KEPIK diajak untuk kolaborAKSI dengan berbagai komunitas yang sekarang banyak bermunculan. Komunitas-komunitas tersebut saling melengkapi satu sama lain, bukan berkompetisi. Dan, secara rutin mencatat perkembangan komunitas mereka agar bisa dievaluasi perkembangannya. Tidak lupa juga menceritakan setiap kejadian menarik yang ada di komunitas ke publik agar orang lain bisa belajar. Dampaknya, tiap tahun jumlah yang mendaftar menjadi guru di Indonesia Mengajar semakin tinggi! Mereka sama sekali tidak keberatan ditempatkan di lokasi antah-berantah, tanpa sinyal telepon selular, apalagi listrik. “Jadilah orang yang menginspirasi. Dunia ini punya banyak orang pintar, tapi hanya orang inspiratif yang bisa sukses,” ungkap Israr Ardiansyah di akhir sesi.
Kalau di sesi pertama dibuat terharu, maka di sesi kedua para peserta dibakar semangatnya dengan video Earth Hour 2013 dan hasil kampanye Earth Hour Indonesia yang memukau.
Setiap kampanye yang baik harus punya dasar yang kuat karena dasar ini yang akan terus menyemangati. Sebagai contoh, Earth Hour erat kaitannya dengan aksi perubahan gaya hidup yang berusaha memperlambat dampak perubahan iklim. Jadi, dasar Earth Hour adalah perubahan, rendah emisi, kreatif, dilakukan dengan senang hati atau suka rela, interaktif, dan memancing orang lain untuk partisipasi. Dari aksi sederhana dimulai dari satu jari, kalau dilakukan serentak oleh banyak orang di banyak negara maka akan menjadi aksi luar biasa. “Segala sesuatu yang awalnya tidak mungkin dan sulit, pasti bisa dilakukan kalau ada semangatnya,” jelas Verena Puspawardani.
Selain itu, sebuah kampanye juga perlu memiliki puncak kegiatan agar bisa diukur ujung pangkalnya dan sebagai pengingat. Contohnya, alasan mengapa Earth Hour harus dirayakan pada Sabtu tiap minggu terakhir Maret pukul 20.30 – 21.30 waktu setempat. Termasuk, ilustrasi angka yang menarik karena kampanye harus berbasis fakta, jargon yang kuat, alur dan periode bekerja, tim yang solid, metode kampanye di lapangan dan dunia maya, jejaring media massa dan pemerintah daerah, hingga strategi penggalangan dana agar kampanye bisa dilakukan berkelanjutan. Begitu banyak ilmu yang ditransfer ke peserta KEPIK hari itu, dalam waktu yang relatif singkat!
Tak hanya dapat berinteraksi dengan kedua pembicara melalui sesi tanya-jawab di akhir presentasi, peserta pun dibagi menjadi 3 kelompok dengan pembahasan yang berbeda-beda. Kelompok 1 mendapat topik kampanye penghematan energi lewat transportasi publik, kelompok 2 mendapat topik kampanye penghematan plastik, dan kelompok 3 tentang penghematan kertas. Setelah diskusi kelompok selesai, masing-masing wajib mempresentasikan hasilnya. Kelas pun kian riuh saat bermunculan pertanyaan dan masukan agar rencana kampanye tiap kelompok makin tajam.
Waktu berlalu dengan cepat. Kelas kali hari itu ditutup dan semua peserta mengisi “kertas ujian” yang memancing tanggapan peserta terhadap materi kelas kali. Interaksi selama kelas berlangsung dan hasil “ujian” menjadi bahan bagi panitia untuk memilih 2 peserta terbaik yang potensial naik kelas dan bergabung di tim Earth Hour Champions Jakarta dan mengikuti KUMBANG, “Kumpul Belajar Bareng” bersama Earth Hour Champions yang berasal dari 20 lebih kota pendukung kampanye ini. Tetap semangat!