KELOMPOK MASYARAKAT WAKATOBI ASAH BERPIKIR KRITIS UNTUK KELOLA SUMBER DAYA ALAM BERKELANJUTAN
Martina Rahmadani (Responsible Marine Bussiness Officer – WWF-ID Program SESS)
“Dengan berkelompok, suara kita lebih didengar oleh pemerintah daerah,” begitu kata Edi penuh kesadaran, nelayan dampingan WWF-Indonesia program Southern Eastern Sulawesi Sub-seascape (SESS) dari Kelompok Mitra Sunu, Wakatobi.
Dia adalah salah satu dari 27 peserta delegasi komunitas lokal di Wakatobi yang berpartisipasi pada pelatihan pengorganisasian di Sekretariat Lembaga Masyarakat Lokal Forkani (Forum Kaledupa Toudani), Pulau Kaledupa, Wakatobi. Mereka berasal dari kelompok nelayan tangkap, budidaya, maupun kelompok pariwisata. Pelatihan yang digelar pada 10-14 Maret 2017 ini diprakarsai WWF-Indonesia dan Balai Taman Nasional (BTN) Wakatobi, dengan menggandeng Forkani.
Memang benar, bahwa dalam mendampingi masyarakat, proses transfer pengetahuan dan upaya memengaruhi kebijakan pemerintah daerah harus dilakukan secara kolektif. Namun, berkelompok yang seperti apa yang dapat memberi dampak positif terbesar untuk masyarakat dan alamnya? Tentu, yang menerapkan prinsip ramah lingkungan dan target pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.
Karena itulah, di Taman Nasional Wakatobi - kawasan yang dinobatkan sebagai Cagar Biosfer oleh UNESCO ini, WWF-Indonesia bersama BTN Wakatobi berfokus pada peningkatan kapasitas kelompok dalam mengelola kekayaan sumber daya alam yang ada dengan sebaik-baiknya.
Eksistensi kelompok-kelompok nelayan yang didampingi WWF-Indonesia dan BTN Wakatobi ini memang memberikan harapan baru bagi pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan di jantung pariwisata Sulawesi Tenggara ini.
Pelatihan pengorganisasian yang digelar selama lima hari tersebut diharapkan menjadikan kelompok mampu membentuk organisasi yang solid dan dapat berpikir kritis terhadap berbagai masalah yang dihadapi, baik internal maupaun eksternal. di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Wakatobi pun turut terlibat dalam kegiatan bersama kelompok nelayan tangkap, budidaya, dan pariwisata yang berkumpul dari seluruh penjuru kabupaten Wakatobi ini.
Peserta dilatih mengenai pengorganisasian, mulai dari teoridasar dasar organisasi serta alat dalam pengorganisasian. Dalam melatih berpikir kritis, beberapa alat yang diperkenalkan dalam pengorganisasian adalah pemetaan stakeholders, peta desa, penggalian informasi - yang kemudian dituangkan dalam pohon masalah.
Untuk melakukan pemetaan desa dan penggalian masalah, peserta dibagi ke dalam lima kelompok, dan masing-masingnya mendapat tugas untuk memetakan satu dusun dan menggali masalah yang ada di dusun tersebut. Berbondong-bondong, peserta menuju Desa Waduri, sebuah desa di Kaledupa.
Dusun Tanaluha di desa ini menjadi salah satu lokasi praktik nelayan. Mereka membuat sketsa desa dan mewawancarai penduduknya. Dari penggalian kritis inilah, diketahui bahwa Tanaluha menghadapi masalah menurunnya hasil budidaya rumput laut dalam beberapa tahun terakhir akibatpemanfaatan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan, seperti bius.
Tak cukup sampai di situ, peserta diajak untuk lebih kritis lagi dengan menganalisis akar dan akibat dari permasalahan tersebut. Dengan analisis inilah, mereka dapatrencana tindak lanjut untuk mengatasinya.
“Mengorganisir itu adalah sebuah seni, sehingga kemampuan dan kreativitas diperlukan dalam melakukan pengorganisasian,” papar Abdi Hayat salah satu pemateri kala itu.
Pada hari terakhir pelatihan, peserta benar-benar membuat sebuah karya seni berupa lagu - yang isi dari lagu tersebut mengajak untuk menggunakan sumber daya alam dengan bijak. Saya percaya bahwa dengan berpikir kritis dalam berorganisasi, ke depannya mereka akan terus mencetak karya-karya seni lainnya, di kelompoknya masing-masing.