JADI BAGIAN DARI PENGELOLAAN HIU DAN PARI? SIAPA TAKUT!
Mengenal Kawasan Konservasi Perairan Perlindungan Hiu dan Pari
Sobat, tahukah kamu jumlah hiu dan pari saat ini di lautan? Tidak ada yang tahu pasti mengenai jumlahnya. Namun, dengan penelitian jumlah kemunculan populasi hiu dan pari oleh para ilmuwan, serta pernyataan langsung para nelayan, semenjak satu dekade terakhir banyak jenis hiu dan pari semakin sulit ditemukan atau semakin jauh penangkapannya, artinya jumlah mereka semakin berkurang di alam.
Hiu dan pari baru salah dua dari ribuan kelompok spesies laut yang ada di dunia. Saat ini saja, seperempat jenis hiu dan pari berstatus terancam punah menurut IUCN, dan angka tersebut akan terus bertambah kalau tidak ada pengontrolan baik oleh pemerintah dan masyarakat. Pemerintah bertanggung jawab terhadap pengaturan yang menjaga habitat penting hiu dan pari, khususnya pada habitat pembesaran mereka (nursery ground), habitat kawin (mating ground) hingga habitat pelepasan anakan (pupping ground), artinya hiu dan pari harus terlindungi saat mereka beregenerasi.
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) ini merupakan instrumen penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karena dapat melindungi habitat kritis, fungsi ekosistem, struktur ekosistem, dan menjaga keanekaragaman spesies. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat ini telah mengatur luasan laut nusantara sebesar 23,14 juta hektar yang berada di 196 kawasan (Wow, berapa kali lapangan bola ya?) dan angka itu akan terus bertambah hingga pada tahun 2030 Indonesia dapat mengkonservasi kawasan lautnya sebesar 32,5 juta hektar. Kawasan Konservasi Perairan ini juga mengelola hiu dan pari di dalamnya, dimana akan melindungi populasi hiu dan pari, sebagai salah satu caranya adalah pengaturan terhadap tangkapan hiu dan pari. Di sisi lain, KKL perlindungan hiu dan pari juga mengakomodir masyarakat lokal sebagai destinasi wisata dalam mendapatkan manfaat ekonomi.
Nah, jadi baru-baru ini WWF Global berkolaborasi dengan James Cook University, Australia membuat sebuah buku pedoman untuk merancang dan mengelola Kawasan Konservasi Perairan khusus perlindungan hiu dan pari. WWF dan Colin Simpfendorfer dari James Cook bilang, pedoman ini bisa ngasih informasi praktis berbasis sains/penelitian tentang cara memaksimalkan sebuah Kawasan Konservasi Perairan untuk hiu dan pari lebih efektif. Tujuannya gak lain dan gak bukan ya untuk melakukan pengelolaan demi memastikan hiu dan pari ini tetap terjaga serta terlindungi hingga masa yang akan datang.
Kalau kata Prof. Colin, KKL yang telah banyak diatur di dunia secara umum belum menjawab tantangan konservasi yang dihadapi hiu dan pari secara spesifik nih sobat, maka dibentuklah dokumen ini dengan analisa dan penelitian yang beliau lakukan dengan WWF Global. Hiu dan pari ini adalah spesies unik yang memiliki pola pergerakan sendiri untuk tiap spesiesnya, ada yang tinggal di pesisir sepanjang hidupnya, ada yang hidup berkelana di samudera, ada juga spesies yang hidup di samudera dan di pesisir. Maka, dibutuhkan gabungan pengetahuan ilmiah tentang pola pergerakannya dengan aspek sosial ekonomi dan budaya.
“Loh, kan hiu dilindungi, kok harus perhatikan aspek ekonomi juga? Tetep komersil dong?”
Memanfaatkan hiu dan pari, nyatanya bukan hanya dengan menangkap dan mengkonsumsinya, Sobat! Namun harus diperhatikan pupulasi spesies ini akibat penangkapan secara target maupun bycatch yang tidak terkontrol. Peluang pariwisata juga harus dipertimbangkan sebagai mata pencaharian masyarakat pesisir. Jangan sampai perlindungan yang dibuat, merugikan mereka dan mematikan pendapatan mereka. Karena, pengelolaan perlindungan yang efektif dari habitatnya adalah salah satu cara paling praktis untuk mengurangi angka kematian ikan hiu dan pari, seperti kata Dr. Andy Cornish, dedengkotnya alias Leadernya WWF Sharks Global.
Balik lagi ke buku pedoman ini, jadi buku ini bisa dipakai oleh pemerintah sebagai pengelola atau istilahnya Management Authority nasional untuk membentuk sebuah Kawasan Konservasi Perairan perlindungan hiu dan pari, atau KKL yang sebelumnya sudah ada dapat diperbaharui dengan poin-poin pada pengelolaan ini. Dan karena pedoman ini memiliki embel-embel “praktis”, selain pemerintah pedoman ini juga bisa digunakan oleh LSM, operator wisata bahari dan praktisi sebagai otoritas yang bertanggung jawab atas habitat laut.
Berkontribusi Dalam Kelangkaan Informasi Data Hiu dan Pari
“Terus, tugas kita sebagai masyarakat apa nih?”
Bentar-bentar, kita cerita sedikit nih kenapa hiu dan pari dilindungi. Sobat harus tahu ada yang namanya Rencana Aksi Internasional untuk Konservasi dan Pengelolaan Hiu, rencana ini disusun oleh banyak negara dan sudah hampir dua dekade diluncurkan, tujuan rencana ini gak lain untuk mendorong pengelolaan hiu dan pari yang lebih baik. Namun, banyak negara penangkap ikan hiu masih belum memiliki Rencana Aksi Nasional, sementara status populasi hiu dan pari secara global terus berjalan. Gap ini terjadi akibat masalah utama yakni kurangnya informasi dasar terkait sumber daya ikan hiu yang berimplikasi pada terhambatnya pengelolaan yang lebih baik. Indonesia sendiri sudah memiliki Rencana Aksi Nasional (RAN) hiu dan pari yang telah dilakukan sejak tahun 2010 dan diperbaharui setiap 5 tahunan, masih adanya kekosongan data yang dimiliki setiap daerah,mengakibatkan belum semua spesies hiu dan pari di Indonesia terlindung penuh.
Masih dari kolaborasi WWF dan James Cook nih sobat, berangkat dari keterbatasan data yang jadi masalah utama pengelolaan hiu dan pari, dibentuklah sebuat toolkit atau panduan yang berisi pedoman sederhana dan praktis untuk mengumpulkan informasi. Dengan kata lain, kita yang orang-orang awam juga bisa mengumpulkan data hiu dan pari sekecil apapun tindakannya loh! Dan data itu bisa dijadikan dasar informasi lapangan untuk pengelolaan hiu dan pari ke depannya. Bisa bayangin dong, pegawai pemerintah yang sumber dayanya gak seberapa, ditambah LSM, praktisi, operator wisata dan lainnya apa sudah cukup meng-cover laut nusantara yang kalau kamu berenang dari ujung ke ujung entah kapan sampainya? Hehe. Maka, panduan ini dibuat untuk membantu memperbanyak pengumpulan informasi dengan prosedur yang telah ditetapkan bersama, khususnya untuk para wisatawan.
Nah, ada enam pilihan tindakan pengambilan data yang bisa dilakukan menurut panduan ini, mulai dari yang kompleks banget sampai yang sederhana banget, di antaranya:
Pertama, lewat sistem Taksonomi, kalian pasti pernah belajar dong taksonomi saat SMP dulu? Panduan ini digunakan untuk mengidentifikasi spesies hiu dan pari secara akurat. Dimana di dalamnya berisi pemahaman mengenai bagaimana mengenali spesies hiu dan pari yang ada di perairan negara tersebut melalui sistem takson. Kalau metode ini sih, buat kita skip aja kali ya, niat mau diving atau snorkeling bareng hiu atau manta, eh malah ujian biologi nanti.
Nah, yang kedua melalui Analisa Genetika, alias cek DNA. Analisa ini dilakukan dalam mengidentifikasi spesies secara akurat hanya dari sampel atau sebagian kecil dari individu yang sudah sulit diidentifikasi. Misalnya kalian lagi jalan-jalan, terus nemu restoran yang menjual hiu, kalian bisa ambil sampel makanan dari restoran itu dan bawa sampelnya ke laboratorium untuk dilakukan pengujian DNA. Kalau ternyata hasilnya hiu dari restoran itu adalah hiu dilindungi, kamu bisa bantu laporkan ke pihak berwenang dalam hal ini Balai Pengelolaan Pesisir dan Laut terdekat, atau UPT Kementerian Kalautan dan Perikanan. Mirip kerjaan detektif ya?
Lalu yang ketiga, melalui Survey Pasar, kegiatan ini dilakukan guna mengumpulkan informasi tentang jumlah hiu dan pari yang ditangkap di suatu daerah, dan memantau tangkapan dari waktu ke waktu untuk melihat tingkat produksi hiu suatu negara. Biasanya survey ini dilakukan sama teman-teman enumerator yang sengaja ditempatkan dalam waktu yang ditentukan untuk melihat pendaratan hiu di pelabuhan.
Lanjut yang keempat menggunakan teknologi bernama BRUV (Baited Remote Underwater Video Systems). BRUV ini adalah sebuah alat dengan kamera yang ditenggelamkan ke dasar laut, untuk merekam aktivitas spesies yang ada di suatu daerah dan memperkirakan kelimpahan relatif antarwilayah. BRUV ini sering digunakan oleh para peneliti, untuk menghitung individu dalam populasi yang sering muncul di suatu kawasan. Tentunya, dengan survey awal sebelum mentukan dimana BRUV akan ditenggelamkan.
Kemudian yang kelima, lewat Penandaan dan Pelacakan. Kegiatan ini mungkin yang paling sering teman-teman dengar, teknisnya dengan memasang alat satelite tagging atau tracking, pada hiu hidup dan sehat untuk melihat ukuranpopulasi, jalur migrasi, serta habitat hiu dan pari yang sangat berguna bagi pengelolaan perairan dan perikanan. Ini juga harus profesional yang menangani yah, karena ada prosedur tersendiri saat memasang satelitnya ke tubuh hiu.
Nah, yang terakhir adalah Temuan/Pengetahuan Masyarakat. Dari seluruh panduan yang dibuat, sebagian besar pengambilan data ditujukan kepada badan peneliti, namun khusus panduan yang ke-6, masyarakat dapat ikut ambil bagian dalam pengumpulan data hiu dan pari di wilayahnya. Nah, cara ini nih yang paling cocok buat kita! Metode ini sangat bermanfaat selain dapat menghemat waktu, juga dapat meminimalisir biaya dibandingkan dengan penggunaan teknologi. Teman-teman tinggal mengisi form yang sudah disediakan di dalam panduan, pastinya dengan pertanyaan umum dan sederhana tentang pengalaman teman-teman.
Seluruh panduan ini, baik Pedoman Praktik Perancangan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan untuk Hiu dan Pari maupun Pedoman Pendugaan Cepat Pendataan Hiu dan Pari disusun sebagai salah satu upaya pengelolaan hiu dan pari secara global. Kesuksesan pelestarian hiu dan pari sendiri dikembalikan ke negara dan individu masing-masing, harapannya seluruh spesies hiu dan pari mendapatkan kesempatan untuk beregenarasi dan masyarakat lokal tidak kehilangan mata pencahariannya.
Unduh dokumen di sini:
- Panduan Pendugaan Cepat Hiu dan Pari
- Panduan Praktis Perancangan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Hiu dan Pari
Catatan:
- “Panduan Praktis Perancanangan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Hiu dan Pari” dikembangkan oleh WWF dan Centre for Sustainable Tropical Fisheries and Aquaculture (CSTFA) di James Cook University, Australia.
- Publikasi dan Pencetakan “Panduan Praktis Perancanangan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Hiu dan Pari” versi Bahasa Indonesia adalah berkat dukungan dari WWF-Jerman.
- “Panduan Pendugaan Cepat Hiu dan Pari” dikembangkan oleh WWF dan Centre for Sustainable Tropical Fisheries and Aquaculture (CSTFA) di James Cook University, Australia
- Publikasi dan Pencetakan “Panduan Pendugaan Cepat Hiu dan Pari” versi Bahasa Indonesia adalah berkat dukungan dari Shark Conservation Fund.
Tentang Program Sharks: Restoring the Balance
Program ini merupakan program gabungan antara WWF dengan TRAFFIC yang berfokus pada konservasi hiu dan pari. Didirikan pada 2014, program ini mendukung WWF yang bekerja pada lebih dari 20 negara dan wilayah di 6 benua. Program ini memiliki fokus pada tiga strategi utama: manajemen perikanan, perdagangan, dan konsumsi.