HIU BERTAHAN UNTUK HIDUP
“Matahari, bulan, dan bintang-bintang mungkin sudah hilang bertahun-tahun lalu… jika saja mereka berada dalam jangkauan sang predator, manusia.” tulis Havelock Ellis dalam karya teater berjudul The Dance of Life (1923).
Sejak awal peradaban manusia, alam telah menyediakan segalanya untuk dapat bertahan hidup. Dahulu dikatakan bahwa mereka yang menetap di pesisir laut memenuhi kebutuhan hidupnya hanya dengan menerima segala yang terhempas dari laut ke pesisir pantai. Dibekali dengan akal dan kecerdasan, manusia pun mulai bisa memanfaatkan segala yang laut tawarkan melebihi jangkauan tangannya untuk bertahan hidup.
Selera manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pun terus berevolusi, bahkan mungkin terlalu cepat bagi alam untuk mengimbanginya. Ikan sebelah atau Hallibut di laut Atlantik Selatan, sebagai contoh, pernah menjadi primadona masyarakat Eropa di abad ke-18. Namun kurang dari 20 tahun kemudian, Pauly dan Maclean dalam tulisannya bertajuk In a Perfect Ocean: The State of Fisheries and Ecosystem in the North Atlantic Ocean menyatakan populasi spesies ini di alamnya telah habis terkuras dan belum dapat pulih hingga saat ini.
Cepatnya laju pasar yang dinamis akan kebutuhan protein dari laut, telah mendongkrak perekonomian di seluruh dunia, namun akibatnya bersifat tetap dan dapat diduga. Ikan Tuna Sirip Biru, Kod, dan beberapa spesies laut lainnya tengah menghadapi nasib yang sama. Lalu, apakah kita tidak bisa menduga akibat dari eksploitasi ikan hiu yang marak diburu untuk memenuhi selera makan manusia?
Pemenuhan kebutuhan hidup manusia pada hakekatnya merujuk pada kemampuan untuk bertahan hidup. Kita hanya mengkonsumsi apa yang tubuh kita butuhkan. Namun bila pergeseran perilaku ini beralih pada unjuk kekuatan dan kekuasaan atas segala sumber daya yang ditawarkan alam, maka manusia telah berubah menjadi mesin pembunuh paling kejam.
Hiu yang memilki peran sebagai predator puncak di lautan dan bertugas menjaga kestabilan ekosistem, mulai menjadi mangsa dari pemenuhan gengsi sang predator utama, manusia. Terlepas dari bayangan kejamnya manusia memotong sirip dan membuangnya ke laut untuk mati, kemampuan hiu untuk meregenerasi tidak mampu menandingi kebanggaan manusia ketika mencicipi sang penjaga laut ini.
Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2010 telah menegaskan bahwa sejak tahun 2000 sampai 2008, Indonesia merupakan penyumbang ikan hiu terbesar dengan lebih dari 100.000 ton per tahun. Tahun 1996, WWF mencatat 15 spesies hiu berstatus terancam, dan pada tahun 2010 jumlahnya meningkat menjadi 180 spesies. Penurunan ini terjadi karena kebanyakan hiu berkembang biak secara ovovivipar dan hanya menghasilkan sedikit anakan setiap siklusnya. Dengan tingkat tekanan terhadap perburuan hiu yang sangat tinggi tersebut, populasi hiu di Indonesia pun berada di ujung tanduk.
Food and Drug Administration (FDA), lembaga kesehatan Amerika Serikat, menemukan satu dari tiga sampel hiu yang diteliti mengandung tingkat merkuri yang melebihi ambang batas aman bagi manusia. Tak pelak bahwa mengonsumsi spesies ini meningkatkan risiko keracunan logam berat yang berbahaya. Bulletin Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2009 menyatakan bahaya kontamian merkuri terhadap kesehatan dimana ikan hiu memiliki kandungan merkuri tertinggi sebesar 1-4 ppm. Kontaminan merkuri yang masuk ke dalam tubuh manusia sebagian besar akan ditimbun dalam ginjal dan dapat mengakibatkan kerusakan pada susunan saraf pusat, ginjal dan hati.
Beragam penelitian ilmiah pun telah memaparkan bahwa spesies ini memiliki peran yang jauh lebih penting bagi ketahanan pangan dan ekonomi, jika dilindungi di alam liarnya. Alih-alih dihidangkan dalam sajian kuliner dengan mitos yang dapat meningkatkan kesehatan, hiu akan memberikan manfaat yang jauh lebih besar bagi manusia dalam keadaan hidup. Sayangnya kepuasan bathin dan asumsi tak berdasar masih mengungguli fakta berbahaya yang terkandung pada setiap bagian dari hiu. Alhasil, semua jenis hiu masih terus dijadikan target tangkapan dan diperdagangkan walaupun dengan dalih sebagai tangkapan sampingan.
Kekhawatiran berbagai pihak akan menjadi saksi dari punahnya spesies penting ini telah menyatukan suara untuk aksi nyata melindungi hiu dari segala ancaman. Beberapa tahun terakhir, kampanye bersama seluruh elemen masyarakat untuk menghentikan segala bentuk promosi, konsumsi, dan penjualan produk hiu terus memberikan harapan bagi hiu agar dapat bertahan hidup.
Dukungan Pemerintah pada tingkat nasional dan internasional juga telah melahirkan kemenangan baru dalam menjaga populasi hiu. Namun, terlepas dari semua kemajuan bersejarah yang telah ditorehkan, semua kembali kepada konsumen untuk bisa mengembalikan derajat hiu sebagai predator di laut.
Mengingat segala sumber daya di bumi ini tidak akan mampu untuk memenuhi selera manusia, kita harus lebih bijak dan bertanggung jawab dalam memilih apa yang disajikan di meja kita. Kecerdasan konsumen saat ini ditantang untuk mengendalikan jangkauan tangannya dari selera makan yang sekadar unjuk kekuatan. Konsumenlah yang memiliki kekuasaan terbesar untuk lebih kritis memilih dan memilah apa yang dikonsumsi sebagai cerminan jati dirinya. Mulailah untuk #BeliYangBaik demi menciptakan masa depan yang lebih baik.
Penulis: Dwi Aryo Tjiptohandono – Marine & Fisheries Campaign Coordinator