HARI TUNA SEDUNIA 2023: MENGEMBALIKAN KELIMPAHAN IKAN TUNA AGAR BERMANFAAT BAGI MANUSIA DAN ALAM
Pada Hari Tuna Sedunia, WWF Internasional, Pepe Clarke Head of Ocean Practice, mengingatkan kita bahwa tuna memainkan peran penting dalam ekosistem laut, dan penangkapan ikan yang berlebihan yang membahayakan kesehatan laut – berdampak buruk bagi planet ini secara keseluruhan.
Lima belas spesies tuna telah ditemukan dan mereka adalah keajaiban laut – predator yang kuat, sangat beradaptasi dengan lingkungannya. Mereka melakukan migrasi secara maraton, tetapi juga dapat menggunakan kecepatan yang luar biasa, menyelam seperti torpedo.
Tuna sirip biru Atlantik menduduki posisi paling atas diantara jenis tuna lainnya. Untuk mengenal jenis ini, bisa dibayangkan seperti seekor ikan sebesar perahu (hingga 3,75 meter), seberat kuda (750+ kilogram) dan lebih cepat dari anjing jenis greyhound (70+ kilometer per jam). Bayangkan sekumpulan makhluk ini, memancarkan warna biru kehijauan dan perak di lautan. Saat mereka menyelam dan muncul ke permukaan, mereka mencampur kolom air, membawa nutrisi dari dalam ke permukaan dan memberi makan ikan lain.
Tuna sirip biru Atlantik adalah predator puncak dan memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan laut dengan menjaga populasi spesies mangsa tetap terkendali.
Maraknya Penangkapan Ikan Berlebihan
Penangkapan ikan tuna sirip biru di Atlantik Timur dan Mediterania meningkat secara dramatis pada 1980-an dan 90-an. Aktivitas perikanan dilakukan hampir tidak ada batasan, bebas untuk semua. Pesawat pengintai dan speed boat digunakan untuk menemukan kawanan tuna. Lebih banyak nelayan berarti lebih banyak pasokan, sehingga harga turun dan upaya penangkapan ikan meningkat. Itu adalah bencana.
Kemudian pada tahun 1996, tuna sirip biru Atlantik terdaftar sebagai spesies yang terancam punah; di Atlantik Timur dan Mediterania, populasinya turun 85% dibandingkan dengan tingkat tahun 1950-an.
Ketika batas tangkapan akhirnya diperkenalkan pada akhir tahun 90-an, batas tersebut masih terlalu tinggi untuk membendung penurunan, dan lemahnya pemantauan atau penegakan berarti batas sederhana ini tidak banyak berdampak. Dorongan untuk mendapatkan keuntungan menjadi jalur cepat menuju matinya sumber keuntungan – terlihat ada kesalahan dalam logikanya.
Lebih Baik Terlambat daripada Tidak Sama Sekali
Akhirnya, pada tahun 2006, serangkaian tindakan pengelolaan disepakati. Ini termasuk pengurangan yang signifikan dalam kapal penangkap ikan, penerapan batas tangkapan berbasis sains, penetapan ukuran minimum sehingga ukuran ikan remaja tidak akan ditangkap sebelum mereka dapat bertelur, larangan pesawat pengintai, dan penempatan pengamat di banyak kapal untuk memantau kepatuhan.
Apa yang mudah diringkas bertahun-tahun kemudian tidak mudah dicapai saat itu. Untuk itu diperlukan kompromi dan komitmen dari kelompok-kelompok dengan kepentingan yang berbeda: nelayan, pengepul ikan, pemerintah, ilmuwan, konservasionis – bahkan konsumen. Orang-orang perlu tahu dari mana ikan mereka berasal dan bagaimana cara menangkapnya, dan membuat pilihan yang masuk akal tentang seberapa sering mereka mengkonsumsinya.
Tetapi dengan partisipasi semua kelompok itu, reformasi berhasil. Populasi tuna sirip biru Atlantik kini sebagian besar telah pulih, dengan tren populasi yang terus meningkat. Tahun lalu, aturan baru diadopsi yang akan menambah atau mengurangi batas tangkapan sejalan dengan status stok, membebaskan keputusan manajemen dari tekanan politik jangka pendek.
Seperti yang telah dilakukan oleh Indonesia, pada tahun 2020 mengubah dan memperbarui peraturan terkait penetapan kawasan lindung dan larangan penangkapan ikan di daerah pemijahan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia 714 pada bulan Oktober - Desember. Ini akan berkontribusi pada perikanan, pasar, dan populasi tuna yang lebih stabil. Ini adalah kisah tentang apa yang mungkin terjadi ketika kita menetapkan pikiran kita untuk mempertahankan dan memulihkan kelimpahan sumber daya laut dan perikanan.
Waktunya untuk Mengadopsi Langkah Perbaikan
Bahkan dengan contoh kuat tentang bagaimana pengelolaan perikanan berkelanjutan dapat dikembangkan dan diterapkan, organisasi pengelolaan tuna di belahan dunia lain menolak perubahan dan menunda mengambil tindakan serupa – sementara populasi tuna mereka menurun ke tingkat berbahaya.
Di Samudra Hindia, penangkapan ikan berlebihan mendorong penurunan dramatis tuna sirip kuning, dengan populasi menurun hingga 50% hanya dalam 15 tahun antara tahun 2005 dan 2020. Dengan jumlah tuna sirip kuning mencapai dua pertiga dari tangkapan tuna di kawasan itu, penangkapan ikan berlebihan mengancam ketahanan pangan kesehatan dan kesejahteraan nelayan skala kecil di negara berkembang yang sangat bergantung pada ikan untuk protein dan mikronutrien vitalnya.
Penangkapan ikan yang berlebihan juga merusak kelangsungan hidup perikanan komersial – kesalahan logika jangka pendek yang sama yang hampir menyebabkan keruntuhan tuna sirip biru Atlantik.
Organisasi konservasi, pengepul, dan pelaku di rantai pasok menyerukan tindakan untuk segera membalikkan penurunan tuna sirip kuning di Samudra Hindia. Permintaan utama untuk pertemuan Komisi Tuna Samudera Hindia (IOTC - Indian Ocean Tuna Commission) pada Mei 2023 adalah mengadopsi pengurangan total tangkapan minimal 30% dari rata-rata tangkapan di tahun 2020 dan memastikan pengurangan ini tercapai. Prioritas tambahan termasuk mengadopsi langkah-langkah manajemen yang kuat untuk perangkat agregasi perikanan dan kemajuan yang lebih cepat menuju transparansi penuh melalui pemantauan elektronik.
Tuna tidak berhenti di perbatasan, jadi semua negara perlu bekerja sama dalam reformasi yang diperlukan – dan semakin cepat strategi berkelanjutan diterapkan, semakin besar peluang keberhasilannya. Seiring waktu, membiarkan populasi tuna pulih akan memulihkan peran penting mereka dalam ekosistem laut, meningkatkan ketahanan mereka terhadap perubahan iklim, dan mendukung perikanan berkelanjutan dalam jangka panjang.