EAT ASIA PACIFIC FOOD FORUM
Pertambahan populasi dunia yang diperkirakan akan mencapai 9,5 miliar jiwa pada tahun 2050 menghadirkan tantangan serius di sektor pangan. Sementara, tahun ini PBB melaporkan kembali meningkatnya jumlah orang kelaparan di dunia yang sebelumnya telah menurun dengan stabil selama lebih dari satu dekade. Sebanyak 815 juta orang di dunia saat ini menderita kekurangan gizi namun sepertiga dari seluruh produksi makanan di dunia hanya menjadi limbah. Secara paralel juga, fenomena obesitas dan kelebihan berat badan saat ini dialami oleh 2 miliar orang dewasa dan anak-anak dengan tren yang terus meningkat. Merebaknya penyakit serius tidak menular seperti diabetes, stroke dan gangguan jantung juga diakibatkan oleh pola makan tidak sehat yang semakin membebani biaya sistem kesehatan negara-negara di dunia saat ini.
Di sisi lain, proses produksi dan konsumsi pangan mulai dari penanaman, perawatan, panen, distribusi, hingga limbah yang dihasilkan telah mengakibatkan krisis lingkungan hidup parah yang bermuara pada fenomena perubahan iklim. Kegiatan pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan yang menjadi sumber penyedia pangan merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca tunggal terbesar saat ini yang sekaligus menjadi penyebab terjadinya deforestasi, kepunahan spesies satwa, serta hilangnya ekosistem laut dan air tawar.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan kegagalan sistem pangan dunia saat ini dalam menyediakan sumber pangan yang mampu memenuhi kebutuhan generasi masa kini dan generasi berikutnya (sumber pangan berkelanjutan). Inisiatif EAT Forum yang digawangi oleh EAT Foundation dibangun atas kesadaran akan permasalahan ini. Sebagai inisiatif global, EAT menggunakan pendekatan sistemik dan menyeluruh dalam mencari solusi atas permasalahan pangan, kesehatan dan lingkungan yang saling terkait.
Pencapaian target Sustainable Development Goals dan Paris Climate Agreement akan sangat ditentukan oleh keberhasilan warga dunia menciptakan sistem pangan berdaya tahan tinggi dan menerapkan pola makan yang berkelanjutan. Sebagai kawasan yang paling berpengaruh terhadap kebijakan dunia dengan tingkat populasi tertinggi sekaligus muara inovasi, investasi dan bisnis dunia dengan keanekaragaman hayati dan pangan terbesar pula, Asia Pasifik menempati posisi kunci dalam menentukan dan memimpin transformasi sistem pangan dunia.
Hal ini yang mendasari gagasan pelaksanaan EAT Asia Pacific Food Forum yang berlangsung di Jakarta tanggal 30-31 Oktober 2017 lalu. Forum yang dihadiri oleh berbagai kalangan, yaitu politisi, ilmuwan, pengusaha, praktisi industri pangan, dan pakar kuliner dari berbagai negara ini ditujukan untuk mendorongkan terwujudnya aksi kolaboratif dan terpadu antar sektor dan penyebaran pengetahuan dan informasi seputar inovasi dan praktik-praktik terbaik untuk menghasilkan solusi di tingkat lokal, regional maupun global yang mampu memperbaiki sistem pangan dunia.
Dukungan signifikan yang ditunjukkan melalui kehadiran dan partisipasi sejumlah jajaran anggota Kabinet Kerja Republik Indonesia, termasuk Wakil Presiden H. Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Puan Maharani, Menteri Kesehatan Profesor Nila F. Moeloek, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro, dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengindikasikan langkah pasti Indonesia yang mendukung perbaikan sistem pangan untuk kesehatan manusia dan lingkungan yang maksimal sebagai bagian dari pencapaian Sustainable Development Goals oleh Indonesia.
Namun, dari pemaparan yang disampaikan masing-masing perwakilan eksekutif tersebut, dapat dikatakan orientasi pemerintah Indonesia masih terbatas pada upaya menjamin food security atau ketersediaan pangan daripada memastikan keberlanjutan sumber daya pangan dalam jangka panjang. Pengaturan lahan dna tata ruang, daya beli, dan pengetahuan dasar akan gizi dan nutrisi hanya sebagian kecil dari banyak tantangan yang harus dihadapi pemerintahan Indonesia untuk mewujudkan keberlanjutan pangan yang menyehatkan manusia sekaligus melestarikan lingkungan.
WWF Competence Forum: Peran Ritel dan Industri Jasa Makanan Mempromosikan Produksi dan Konsumsi Pangan Sehat dan Berkelanjutan
Sejalan dengan tujuan konservasi WWF-Indonesia untuk meningkatkan jumlah produk berkelanjutan di pasar domestik, tim Communications & Advocacy bekerja sama dengan tim Policy, Sustainability & Transformation menggunakan momen penyelenggaraan EAT Asia Pacific Food Forum untuk membangun diskusi dengan mitra usaha ritel dan jasa makanan guna mengidentifikasi peran strategis masing-masing jenis usaha untuk mendorongkan praktik produksi dan konsumsi berkelanjutan di sepanjang rantai suplai pangan. Kegiatan diskusi dilakukan bersama WWF-Filipina sebagai mitra penyelenggara di bawah kerangka program bersama ‘Sustainable Consumption and Production – Thailand, Indonesia, Philippine’ yang didanai oleh International Climate Initiative (IKI) dari pemerintah Jerman (info mengenai program IKI SCP-TIP dapat disimak di Footprint edisi 2).
Kegiatan diskusi dihadiri oleh sejumlah undangan dan peserta dari Indonesia dan Filipina yang mewakili pemerintah, sektor swasta dan lembaga civil society yang relevan terhadap isu konsumsi dan produksi berkelanjutan. Selain itu, kegiatan diskusi juga diikuti oleh peserta umum EAT Asia Pacific Food Forum yang terdiri dari berbagai kalangan termasuk perwakilan akademisi, lembaga internasional, perusahaan, lembaga penelitian dan NGO yang memiliki ketertarikan terhadap topik terkait peran ritel dan industri jasa makanan. Diskusi menampilkan empat pemaparan yang disampaikan oleh WWF-Indonesia, Kementerian Koordinator Perekonomian, CIFOR dan Philippine Center for the Environmental Protection and Sustainable Development Inc..
Pembahasan terkait produksi berkelanjutan menyorot isu produksi minyak kelapa sawit di Indonesia yang makin sering dikaitkan dengan terjadinya deforestasi hutan alam serta berbagai praktik pembukaan lahan ilegal lainya, seperti pembakaran lahan, konversi lahan gambut, dan sebagainya. Mengingat nilai strategis komoditas minyak kelapa sawit bagi perekonomian Indonesia maka kebutuhan mewujudkan praktik produksi minyak kelapa sawit semakin mendesak dan membutuhkan dukungan berbagai pihak termasuk usaha ritel dan jasa makanan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan sektor usaha ini adalah menyediakan produk berbahan minyak kelapa sawit berkelanjutan dan menginformasikannya kepada konsumen termasuk menyampaikan fakta seputar pentingnya mengkonsumsi produk yang berkelanjutan. Namun, sangat disayangkan bahwa sebagian besar ritel dan usaha jasa makanan tidak bersedia memprioritaskan penjualan produk berkelanjutan tersebut dengan alasan marjin laba yang rendah (karena produk berkelanjutan yang pada umumnya lebih mahal daripada produk biasa). Saat ini Indonesia menduduki peringkat ketiga konsumen minyak kelapa sawit dunia. Oleh karena itu, upaya mengubah tren konsumsi minyak kelapa sawit di pasar domestik pun berpotensi membawa dampak yang cukup signifikan dibanding intervensi yang dilakukan di pasar internasional.
Sementara, upaya pemerintah Indonesia untuk mendorongkan produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan belum menyentuh intervensi terhadap ritel maupun industri jasa makanan. Saat ini pemerintah Indonesia tengah mendorongkan pemenuhan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai persyaratan wajib bagi seluruh pelaku produksi komoditas minyak kelapa sawit Indonesia.
Pembahasan lebih lanjut mengenai praktik konsumsi berkelanjutan mengangkat isu limbah makanan (food waste) yang muncul di Filipina seiring dengan pertumbuhan pesat industri pariwisata disana. Promosi kuliner Filipina mendorong perluasan bisnis restoran disana yang kini telah mencapai 87% dari keseluruhan usaha jasa makanan Filipina. Seiring dengan perkembangan ini, International Rice Research Institute di Filipina mencatat sebanyak 308.000 ton beras terbuang setiap tahunnya di tingkat nasional. Sementara, sebanyak 2.175 ton sisa makanan berakhir di bak sampah setiap harinya menurut hasil riset Philippine Institute for Development Studies.
Menanggapi fenomena tersebut, Shangri La Hotel Jakarta menghadirkan contoh solusi tepat melalui kebijakan pengelolaan limbah makanan yang telah dijalankannya selama beberapa tahun terakhir. Dalam penerapannya, Shangri La Hotel melakukan edukasi terhadap staf dan tamu hotel mengenai limbah makanan termasuk dengan menghimbau tamu untuk mengambil makanan dalam jumlah secukupnya ketika menikmati hidangan prasmanan. Berdasarkan jumlah dan ragam menu yang terdata dari pencatatan konsumsi prasmanan tersebut, manajemen hotel melakukan tindak lanjut dengan menyesuaikan jumlah dan ragam hidangan yang disediakan di kesempatan prasmanan berikutnya. Selain itu, pihak Shangri La Hotel Jakarta juga membangun kerja sama dengan pihak ketiga, yaitu lembaga non-profit yang menerima sisa hidangan hotel untuk didistribusikan kepada panti asuhan dan orang miskin (untuk sisa hidangan yang masih layak konsumsi) dan tambak-tambak ikan (untuk sisa hidangan yang tidak layak dikonsumsi manusia).
Contoh kebijakan ritel lainnya yang mendukung praktik konsumsi berkelanjutan ditunjukkan oleh Superindo yang telah mengedepankan penggunaan kardus bekas sebagai pengganti kantong belanja plastik oleh para pelanggannya. Superindo juga tetap menjalankan kebijakan kantong plastik berbayar meskipun himbauan resmi pemerintah mengenai hal tersebut telah dicabut. Namun, penggunaan kantong bioplastik yang terbuat dari bahan organik mudah terurai belum menjadi prioritas Superindo saat ini dikarenakan biayanya yang dinilai jauh lebih tinggi serta tidak adanya regulasi pemerintah yang mewajibkan penggunaan bioplastik.
Diskusi yang terus berkembang selanjutnya semakin menunjukkan pentingnya pengembangan program edukasi yang diarahkan pada bisnis ritel dan industri usaha jasa makanan mengenai produksi dan konsumsi berkelanjutan, yang tidak hanya mencakup praktik penjualan produk-produk berkelanjutan, melainkan juga implementasi bisnis yang berkelanjutan mulai dari pengadaan produk hingga pengelolaan limbah yang dilakukan perusahaan.
Tidak terbantahkan lagi bahwa ritel dan usaha jasa makanan memiliki peran yang signifkan dalam mengatasi permasalahan lingkungan, khususnya dengan mendukung praktik produksi dan konsumsi berkelanjutan. Untuk itu, ritel dan usaha jasa makanan perlu melakukan kolaborasi, baik di dalam industri masing-masing maupun dengan pemangku kepentingan lainnya, termasuk pemerintah, konsumen, civil society, praktisi usaha pangan, dan lainnya yang terkait.