DUA LOKASI PENGASUHAN HIU DITANDAI DI MANGGARAI BARAT
Oleh : Euis Zulfiaty (Bycatch and Shark Conservation Program Assistant, WWF-Indonesia)
Ada sembilan ekor anakan hiu yang tersangkut di jaring dasar milik Bapak Aja, nelayan Desa Rangko, Kecamatan Boleng, Manggarai Barat ini. Sembilan ekor blackspot tail shark (Carchahinus sorrah) ini ditemukan mati dengan jaring tersangkut pada moncong dan beberapa terbelit di tubuh.
Hiu tersebut merupakan anakan dengan rata-rata panjang 70 – 80 cm, yang terdiri dari 4 jantan dan 5 betina. Padahal idealnya, black spot tail shark, yang disebut hiu tenggiri oleh masyarakat Desa Rangko, dewasa dengan ukuran 103 -115 cm untuk jantan dan 110-118 cm pada betina.
Satu induk black spot tail shark memliki rata-rata jumlah anakan 6 – 10 ekor. Dapat diartikan, dalam satu malam, satu alat tangkap di satu lokasi berpotensi menghasilkan tangkapan sampingan (bycatch) hiu dari satu ekor indukan hiu.
Sejak pendataan hasil tangkapan pada Maret 2017 oleh Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) Manggarai Barat di Pendaratan Ketentang, WWF dan DKPP Mabar memulai sosialisasi Better Management Practices (BMP) Panduan Penanganan Hiu Sebagai Hasil Tangkapan Sampingan (Bycatch) pada 10 Mei 2017 lalu. Ini merupakan pertama kalinya Desa Rangko menjadi desa dampingan WWF-Indonesia untuk penerapan BMP.
Hari itu (7/8/17), kami beroperasi tidak jauh dari desa, hanya sekitar lima belas menit untuk bisa sampai di pelampung tanda jaring. Gugusan bukit-bukit daratan Flores membentuk seperti teluk. Diantara Desa Rangko dan Pulau Batu Dua, jaring sepanjang 450 meter membentang menghadang arus dari lautan lepas menuju daratan.
Sehingga, ikan yang sedang mencari makan pada malam hari dapat dengan mudah terjerat di jaring. Lokasi perairan kepulauan ini berarus, dengan dasar belumpur yang memang merupakan habitat yang disukai oleh black spot tail shark.
Pak Budi dan Darsono, dua awak kapal Bapak Aja, terus menggulung jaring menggunakan pengggulung manual yang telah dirancang untuk mempermudah saat setting (penurunan jaring) dan hauling (proses pengangkatan jaring).
“Pukat dasar ini saya pilih untuk menangkap ikan, karena pukat ini menangkap ikan-ikan besar dengan bobot lima hingga puluhan kilogram, seperti tenggiri, kuwe, dan bandeng,” jelas Bapak Aja. “Pukat ini cukup menguntungkan karena mengoperasikannya tidak mengenal musim tangkapan,” tambahnya memberikan alasan.
Pukat yang dioperasikan di dasar perairan dengan kedalaman mencapai 20 - 30 meter ini memiliki ukuran mata jaring 4 inchi. Sehingga hasil tangkapan yang diperoleh tentunya ikan-ikan berukuran besar. Meski telah berusaha selektif untuk menghindari ikan-ikan konsumsi berukuran kecil, namun ternyata tertangkapnya hiu tidak dapat dihindari.
Bapak Budi menceritakan, bahwa mereka tidak bermaksud menangkap hiu, tapi memang sangat sering sekali hiu berukuran kecil tersangkut di jaring. Bahkan, saat musim barat menuju bulan Oktober hingga Maret, jumlah hiu yang tertangkap bisa menecapai 40 hingga 80 ekor dalam satu malam. Ada yang hidup ada juga yang sudah mati.
“Musim barat dengan cuaca dingin membuat ikan banyak beruwaya hingga perairan dangkal untuk mencari suhu air yang hangat. Kondisi gelombang yang tinggi serta perairan yang keruh membuat ikan banyak yang tersangkut di jaring,” begitu pendapat Bapak Aja selama berpengalaman 37 tahun menjadi nelayan.
Sebagai dampingan WWF-Indonesia, nelayan Rangko dibekali ilmu mengenai tindakan preventif, seperti memilih lokasi tangkapan yang terbebas dari wilayah asuhan hiu, musim hiu memijah, hingga pemilihan ukuran mata jaring yang tepa. Nelayan juga didorong untuk melepas hiu yang masih hidup.
Dalam masa pendampingan, sebanyak dua titik lokasi anakan hiu telah di-tagging dalam GPS. Ke depannya, data ini juga dapat menjadi acuan pengelolaan kawasan konservasi perairan (Marine Protected Area) untuk hiu. Pendampingan juga dapat dilengkapi dengan pengenalan alat mitigasi bycatch hiu, agar nelayan lebih waspada dan hiu tetap lestari.