DISKUSI KONSERVASI: “ADA APA DENGAN DUGONG?”
Oleh: Sani Firmansyah (Supporter Center WWF-Indonesia)
Banyak yang mengira duyung termasuk ikan. Padahal duyung merupakan salah satu dari 35 spesies mamalia laut yang ada di Indonesia. Duyung juga biasa disebut dugong. Kata “dugong” berasal dari bahasa Tagalog yang berarti “nona laut/ lady of the sea”. Dugong merupakan herbivora yang makanan utamanya adalah tumbuhan lamun (seagrass). Satwa ini berkerabat dekat secara genetis dengan gajah. Dugong dapat ditemukan di perairan dangkal di sekitar Samudra Hindia dan Pasifik.
Di Indonesia, dugong tersebar di hampir semua kawasan pesisir di Indonesia, utamanya di area-area padang lamun yang menjadi habitat pakannya (feeding ground). Satwa ini kemungkinan besar dapat dijumpai di perairan Bintan, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Teluk Cenderawasih di Papua. Sampai saat ini, status populasi duyung di Indonesia belum diketahui secara pasti karena minimnya survei populasi yang telah dilaksanakan dan luasnya perairan di Indonesia. Oleh karena keterbatasan informasi tersebut, pelaksanaan upaya konservasi duyung di beberapa daerah di Indonesia menjadi lebih sulit.
Beberapa penjelasan tentang dugong tersebut disampaikan oleh Sheyka N. Fadela, Marine Species Program WWF-Indonesia dalam Diskusi Konservasi Dugong yang diselenggarakan pada Sabtu (30/09) yang lalu di Jakarta Creative Hub, Jakarta.
“Secara internasional, satu-satunya mamalia anggota ordo Sirenia yang tinggal di laut ini dikategorikan sebagai ‘satwa rentan punah’ (Vulnerable) oleh The International Union for Conservation of the Nature (IUCN) karena siklus reproduksi duyung yang lambat dan ancaman dari perburuan satwa tersebut di beberapa negara di dunia. Perdagangan bagian tubuh duyung juga dilarang karena satwa ini termasuk ke dalam Apendiks I dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 1999 dan UU No 5 tahun 1990, dugong secara tegas dilindungi. Walaupun begitu, populasi dugong masih dikategorikan terancam, karena penurunan luasan lamun (habitat dugong-Red),” jelas Sheyka.
Dalam diskusi yang dihadiri oleh 60 peserta yang sebagian besar adalah mahasiswa itu, Sheyka juga menjelaskan tentang berbagai ancaman terhadap dugong. “Ancaman dugong diklasifikasikan menjadi dua hal. Ancaman internal seperti predator alami dan dugong yang terserang penyakit. Lalu ancaman eksternal dimana Dugong paling sering ditemukan mati sebagai tangkapan sampingan (bycatch). Hal ini diduga karena dugong mencari makan di perairan-perairan pesisir yang juga menjadi area tempat nelayan beraktivitas,” terang Sheyka.
Antusiasme peserta diskusi tentang dugong sangat tinggi. Berbagai pertanyaan dilontarkan. Salah satunya oleh Yudho, mahasiswa Institut Pertanian Bogor. “Apa yang dilakukan oleh WWF-Indonesia untuk menjaga keberadaan dugong ini?” tanyanya.
“Sejak tahun 2016, WWF-Indonesia bersama dengan Direktorat Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, serta Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor berupaya menjaga keberadaan makhluk kharismatik tersebut melalui Program Konservasi Dugong dan Lamun di Indonesia (Dugong and Seagrass Conservation Project atau DSCP Indonesia). DSCP Indonesia diinisiasi untuk mengumpulkan data dan informasi tentang duyung dan lamun serta mendorong pengelolaan masyarakat yang diberdayakan melalui skema insentif dan pengenalan praktik perikanan berkelanjutan, mengadvokasikan upaya konservasi dugong dan lamun dalam kebijakan dan perencanaan nasional dan daerah serta meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terkait duyung dan lamun,” jawan Sheyka.
Pada akhir diskusi, Sheyka menjelaskan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem di laut. “Dengan adanya dugong dan lamun dapat menjaga keseimbangan ekositem di laut. Jika lamun ada, dugong sehat, ikan sehat, dan manusia terjaga karena dapat memenuhi kebutuhannya dengan mengonsumsi ikan laut,” pungkas Sheyka.