CHAMPION LOKAL WWF RAIH PENGHARGAAN SK TRIMURTI 2017 AJI INDONESIA
Oleh: Reinardo Sinaga
PONTIANAK – Nama Mayu Fentami beberapa hari ini viral di media sosial, bahkan media massa berbasis online. Dara kelahiran Sintang, 17 Juni 1987 ini bukanlah pegiat seni di layar kaca, atau di aplikasi media sosial. Mayu menorehkan namanya dalam satu ajang bergengsi yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen – AJI Indonesia bertajuk SK Trimurti Award 2017 dalam gelaran HUT Aliansi Jurnalis Independen – AJI ke 23 di Jakarta, Senin (7/8/17) malam.
Di Pontianak, Rabu (9/8/17) Mayu bersama tim dari WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat diajak menceritakan kisahnya bersama sejumlah jurnalis dan Pengurus AJI Pontianak yang mengusung namanya dalam ajang penghargaan tersebut.
Menurutnya, ketegangan sempat terjadi di awal. Karena perawat yang juga PNS di Puskesmas Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat ini, tak menyangka, apa yang dilakukannya selama lebih dari 3 tahun sejak 2013 hingga saat ini, membuahkan hasil yang tak terpikirkan.
Pada konfrensi pers yang dilaksanakan AJI Pontianak bersama WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat, Mayu bercerita banyak tentang awal mula dirinya bisa ‘terdampar’ di Bunut Hilir, yang bak rumah kedua baginya.
“Saya awalnya 2013 itu coba-coba PNS di Kapuas Hulu, lalu Alhamdulillah diterima dan ditugaskan di Bunut Hilir. Saya tidak tahu itu dimana, saya mikirnya daratan saja. Eh, di sana daratannya sedikit, lebih banyak dilalui sungai. Saya takut juga, karena tidak bisa berenang,” ingatnya sembari tertawa.
Baru menjejakkan kaki di Bunut Hilir, sejumlah pengurus Radio Komunitas Surasuta langsung memintanya menjadi penyiar.
“Saat baru datang di sana, masih anak baru ceritanya, diminta untuk mengisi program siaran radio, yang akhirnya saya terima, karena saya dianggap menguasai, karena saya perawat. Saya isilah tahun pertama dengan siaran kesehatan reproduksi, dan karena radio satu-satunya media komunikasi satu arah di sana, maka sebagian besar yang disampaikan diikuti oleh masyarakat,” terangnya.
Waktu pun beranjak. Mayu yang merasa risih dengan ketimpangan, kondisi lingkungan yang rusak, budaya membuang sampah disungai, hingga menggunakan bahan kimia berbahaya untuk mengawetkan makanan, dan budaya literasi yang rendah, memantik nalar dan hatinya untuk mengambil peran di luar kewajibannya sebagai seorang Perawat Puskesmas.
Bermodal keinginan itu, Mayu mulai mengambil peran dalam salah satu program siaran di Radio Komunitas Surasuta. Program yang diberi nama Bunut Sehat, menjadi alat propaganda yang mengubah paradigma.
“Masyarakat sudah tidak menebang pohon, tidak membuang sampah ke sungai, respon cepat terhadap penyakit, bahkan kami menemukan ada masyarakat setelah mendengar siaran, langsung melaporkan bahwa ada penderita penyakit kanker. Itu salah satu capaian besar, hanya lewat radio,” katanya.
Tak puas dengan itu, ia akhirnya mencoba menghidupkan Rumah ‘KaCa’ – Kapuas Membaca. Lewat perpustakaan kecil-kecilan ala Mayu dan relawan Radio Komunitas Surasuta, mereka bisa menghidupkan kembali budaya literasi di sana.
“Anak-anak di sana itu senang membaca. Cuma memang dulu tidak ada buku yang akan dibaca, makanya saat perpustakaan dibuka, kami sempat kewalahan karena antusias warga khususnya anak-anak besar sekali. Mereka terbuka pikirannya dengan membaca, bahkan ada yang bilang bahwa dunia mereka bukan hanya Bunut saja, masih ada tempat lain di luar sana,” ungkapnya.
Setahun berjalan, Rumah ‘KaCa’ yang menyewa warung di Bunut Hilir akhirnya tutup. Dana yang selama ini dikumpulkan secara pribadi yang disisihkan dari gajinya, bahkan bantuan dari sejumlah masyarakat pun tak cukup untuk membayar sewa. Namun, bukan Mayu namanya jika harus hilang akal. Ia mengambil langkah untuk membuat ‘KaCa on the Road’.
“Saya bersama 8 relawan lain menggunakan tas membawa lebih dari seratus judul buku. Sistemnya ya kami menumpang di sampan motor – speed boat. Kalau ada kegiatan penyuluhan dari dinas, kami minta ikut, untuk menjangkau desa-desa yang jauh. Bahkan waktu itu saya sempat kecebur, habis basah sama buku dan tas-tasnya. Gara-garanya pijakan saya salah di kayu, itu pengalaman yang tak pernah saya lupakan pokoknya,” kelakarnya.
Diganjar Penghargaan SK Trimurti 2017
Berjuang untuk perubahan, dan lingkungan yang lebih baik, akhirnya menggiring Mayu Fentami, seorang perawat Puskesmas Bunut Hilir, Kecamatan Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat menyabet penghargaan SK Trimurti 2017 dalam rangkaian HUT Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) ke-23 di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (7/8) malam.
Mayu dipilih dari 18 kandidat lain yang dianggap turut aksi berjuang untuk perubahan. Penghargaan ini diberikan AJI dalam upaya mengenang dan menghormati pejuang perempuan dan pahlawan nasional, yang juga jurnalis, Soerastri Karma Trimurti.
Dari pengamatan juri, perempuan berjilbab ini dipilih lantaran telah berbuat lebih dari kewajibannya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Perempuan kelahiran Sintang 17 Juni 1987 ini, berharap program yang telah berjalan di radio komunitas dan Rumah Kapuas Membaca bisa semakin berkembang. Mereka memang dihadapkan kendala tidak memiliki tempat permanen dan tak bisa siaran siang hari, karena keterbatasan listrik.
“Untuk saya dan teman-teman, memberikan manfaat merupakan suatu kewajiban yang harus kami jalani tanpa ada pamrih. Dukungan masyarakat dan semangat anak-anak Bunut Hilir ‘bumi seribu danau’ yang membuat kami tetap semangat berjuang,” ungkapnya.
Besutan WWF
Lahirnya nama Mayu memang bukan ‘Karbitan’. Demikian disampaikan Technical Support Unit – TSU Leader WWF-Indonesia Program Kalbar, Jimmy Syahirsyah.
Menurutnya, WWF melakukan kerja-kerja pemberdayaan untuk keberlangsungan lingkungan pada masa kini dan yang akan datang sejak 2011 di Bunut Hilir. Bermula dari program Panda CLICK! yang mencoba mengajak masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan melalui fotografi.
“Program ini sukses, dan dapat mengubah paradigma masyarakat di sana. Karena masyarakat sendiri yang dijadikan fotografernya. Sensitifitas terhadap hal yang timpang, mulai dibidik mereka lewat kamera yang dipinjamkan. Dan hasilnya, mereka lebih awas, dan lebih peduli terhadap lingkungan, utamanya soal kesehatan di sana,” ungkap Jimmy.
Dalam perjalanan program, atas inisiatif warga, WWF akhirnya membantu membentuk Radio Komunitas Surasuta yang ke depannya banyak mengubah pola pikir, dan perilaku masyarakat di sana. Hadirnya Mayu bagi WWF adalah sebuah jalan yang baik, untuk membantu kerja-kerja pemberdayaan. Apalagi ini merupakan inisatif warga. Bahkan di luar program, Mayu banyak bekerja bersama relawan lain untuk meningkatkan budaya literasi.
“WWF merasa sangat terbantu, dan penghargaan yang diterima ini bukanlah main-main. Bisa mencapai prestasi di antara nama sekelas Najwa Shihab, Eva Bande, Suster Sisilia itu luar biasa. Kami turut bangga atas pencapaian ini,” ujarnya.
Jimmy menjelaskan perihal apa saja yang dilakukan WWF di Bunut Hilir. “Di tahun 2013 ide untuk mendirikan radio komunitas muncul, bertujuan sebagai media informasi dan penyadartahuan masyarakat. Rakom ini memiliki misi dalam konservasi Sungai Kapuas. Jumlah pendengar aktif saat yang terdata sekitar 700 orang, radius siaran meliputi 4 Kecamatan. Desa-desa itu di antaranya Teluk Aur, Empangau, Nanga Tuan, Tembang, dan Bunut Hulu. Selain Kecamatan Bunut Hilir, tiga Kecamatan lainnya di Kapuas Hulu, yakni Jongkong, Embaloh Hilir, dan Boyan Tanjung,” terang Jimmy.
Jimmy berharap, dari sejumlah prestasi ini, relawan yang ada di radio komunitas dan Kapuas Membaca bisa terpicu untuk melakukan hal yang sama. “Intinya WWF sangat mendukung dan merespon positif adanya inisatif warga di sana. Terlebih penghargaan yang didapat ini memang sangat mendorong semua pihak termasuk kami, untuk semakin meningkatkan program yang lebih jitu, dan dibutuhkan masyarakat,” pungkasnya.
Usulan AJI Pontianak
Nama Mayu muncul memang tak terkira oleh Sekretaris AJI Pontianak Reinardo Sinaga. Menurutnya, dihari-hari terakhir sebelum penutupan pencalonan SK Trimurti yakni 27 Juli 2017, belum satupun nama yang diusulkan.
“Saya agak bingung. Karena dari penelusuran belum satupun yang mengajukan. Saya sudah umumkan itu ke grup-grup Whatsapp, namun tidak ada yang merespon. Sampai akhirnya bertemu dengan staff komunikasi WWF, Ismu Widjaya, dan diterangkanlah nama Mayu,” jelasnya.
Menarik ingatan lebih dalam, Reinardo yang karib disapa Edho pun akhirnya mendaratkan nama Mayu atas cerita yang pernah didengarnya dari rekan Mayu sesama relawan dan penyiar Rakom Surasuta yakni Siti Halijah atau dengan nama udara ‘Jeng I’. Tak tunggu lama, ia pun akhirnya melakukan klarifikasi kemana-mana. Verifikasi berlapis tak luput untuk selanjutnya mengirim nama Mayu sebagai kandidat yang diusulkan AJI Pontianak.
“Dalam waktu tiga hari saya harus mencoba mencari tahu kebenaran cerita tentang Mayu. Dan benar saja, dari semua yang dihubungi, Mayu memang melakukan seperti yang diceritakan,” katanya.
Sampai tiba hari terakhir, akhirnya Edho pun mengirimkan nama Mayu tersebut, dan ternyata, Dewi Fortuna berpihak pada AJI Pontianak.
“Baru kali ini secara organisasi AJI Pontianak mengirim, dan baru kali ini masuk nominasi, juga baru kali ini menang. Ini Ultra Petitum bagi AJI Pontianak. Tidak menyangka juga, cuma memang apa yang dilakukan Mayu, yang sepi dari publikasi, menjadi alasan saya dan kawan-kawan sepakat mengusungnya,” ujarnya.