BERSATU DALAM AKSI MENGINISIASI JEJARING KAWASAN KONSERVASI
Tidak dapat dimungkiri lagi bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman sumberdaya laut yang tinggi. Namun, sumber daya kita terancam oleh aktivitas penangkapan ikan yang merusak, seperti penggunaan bom, potasium, pukat, dll. Salah satu langkah pemerintah Indonesia untuk menjaga kelestarian baik dari aspek ekologi, ekonomi, dan budaya adalah dengan menargetkan penetapan 20 juta Ha kawasan konservasi pada tahun 2020.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) didukung oleh WWF-Indonesia dan Nusa Dua Reef Foundation melakukan tahap inisiasi, yaitu menganalisa kesenjangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di wilayah bentang laut Lesser Sunda. Dari 36 kawasan konservasi dengan luas total 4.826.569,79 Ha yang tersebar di Bali, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, 26 kawasan konservasi telah dikaji. Hasil analisa menunjukan beberapa lokasi kawasan konservasi di bentang laut lesser sunda yang berjarak lebih dari 20 Km sehingga masuk dalam kategori terisolasi.
Suatu kawasan konservasi bisa dikatakan saling terkait secara ekologis jika memiliki jarak sekitar 15 – 20 km, sedangkan jika suatu kawasan konservasi memiliki jarak lebih dari 20 km dengan kawasan konservasi lainnya maka masuk dalam kategori terisolasi. Dari kawasan yang terisolasi tersebut, 9 kawasan di antaranya memiliki lokasi perlindungan habitat penyu yang masih perlu ditingkatkan pengelolaannya, serta perlu data-data pelengkap untuk tahapan hasil akhir kesenjangan ekologis meliputi data sekunder habitat penting, habitat, dan spesies penting yang dilindungi, sosial budaya dan ekonomi, serta kegiatan-kegiatan yang mengancam sumber daya hayati.
Hasil analisa tersebut dipresentasikan pada kegiatan lokakarya bertajuk ‘Gambaran Umum dan Analisa Kesenjangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Wilayah Bentang Laut Lesser Sunda’. Lokakarya ini berlangsung selama 2 hari pada tanggal 26 & 27 Januari 2015 di Kantor WWF-Indonesia di Denpasar, Bali, dan dihadiri oleh 24 orang yang terdiri dari pemerintah daerah dan nasional dan LSM.
Kajian analisis ekologis ini dilakukan menggunakan prinsip jejaring kawasan konservasi laut yaitu 1) keterwakilan dan pengelolaan habitat penting, 2) melindungi daerah-daerah kritis dan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, dan 3) jarak minimum 15-20 Km antar masing-masing kawasan konservasi dengan mengikuti pola pergerakan ikan. a
Menyadari luasnya wilayah perairan Indonesia dan adanya keterkaitan antar kawasan konservasi dalam satu bentang laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2014 tentang Jejaring Kawasan Konservasi Perairan. Pasal 6 dan 7 menjelaskan tentang tahapan pembentukan jejaring kawasan konservasi perairan di tingkat lokal dan nasional, yaitu 1) Inisiasi; 2) Konsultasi publik; 3) Kesepakatan bersama; 4) Perjanjian kerja sama; dan 5) Sosialisasi.
Tahap selanjutnya Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama dengan WWF-Indonesia akan mengadakan konsultasi publik yang rencananya akan diadakan pada tanggal 23-24 Februari 2015 di Bali dengan mengundang unit pengelola dan instansi terkait. Lokakarya lanjutan ini diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan teknis perlunya mengelola kawasan konservasi dengan berjejaring.
Hingga saat ini, Indonesia sudah memiliki kawasan konservasi seluas 15,7 juta Ha yang sedikit meleset dari target tahun 2015 yaitu 16,5 juta Ha. Namun, bukan hanya penetapannya saja yang menjadi target, tetapi juga pengelolaan kawasan yang efektif juga digalakkan pemerintah Indonesia. Hasil pengukuran efektivitas pengelolaan menggunakan Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 44 Tahun 2012 adalah sebagai berikut: 30,7% kawasan konservasi berstatus merah; 22,3% kawasan konservasi berstatus kuning; 23% berstatus Hijau dan sebanyak 30% belum ada informasi.
Penulis: Amkieltiela - Marine Science and Knowledge Management Officer