BBKSDA, PPH-PHKA & WWF: HUKUMAN YANG MINIM DIKHAWATIRKAN MENJADI PRESEDEN BURUK TERHADAP PENEGAKAN HUKUM PADA KASUS KEJAHATAN SATWA DILINDUNGI
Untuk dirilis segera 16 Oktober 209
Pekanbaru –Majelis hakim sidang kasus perburuan liar, yang mengakibatkan terbunuhnya tiga ekor harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), di Pengadilan Negeri Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir Riau pada tanggal 8 Oktober 2009 menghukum dua terdakwa (M. Ajad bin Abdullah dan Mistar bin Ajad) dengan satu tahun penjara dan denda dua juta rupiah. Pada pembacaan putusannya, Ketua Mejelis Hakim Wasdi Permana, SH,MH menyatakan bahwa kedua tersangka terbukti melakukan tindakan pidana dengan sengaja menangkap dan melukai harimau, dan sengaja memperniagakan dan menyimpan tengkorak dan kulit harimau sumatera. Majelis hakim menjerat kedua tersangka dengan undang-undang No.5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pasal 40 ayat 2. Hukuman ini jauh lebih ringan dari rencana tuntutan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum, Hendri Antoro pada 14 September yaitu tiga tahun penjara dan denda tiga juta rupiah kepada kedua tersangka.
Trisnu Danisworo, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau menyayangkan dijatuhkannya hukuman yang ringan tersebut, meskipun di satu sisi dia juga memberikan apresiasi yang tinggi terhadap upaya penegakan hukum dalam kasus ini.“Kejahatan terhadap satwa dilindungi merupakan kejahatan di bidang kehutanan yang serius, oleh karena itu upaya para penegak hukum dalam menegakkan hukum terhadap kasus ini patut diacungi jempol”, kata Danisworo. Namun, hukuman yang diberikan kepada para pelaku tersebut dikhawatirkan tidak memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan serupa, termasuk di provinsi Riau.
Danisworo menambahkan bahwa BBKSDA Riau selaku penyidik dalam kasus ini akan melakukan upaya banding lewat Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus ini. “Kami berharap upaya banding ini nantinya dapat memberikan putusan hukuman yang memadai sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku, sehingga menimbulkan efek jera dan mengurangi laju perburuan dan perdagangan ilegal harimau”.
Hal senada juga disampaikan oleh Ir. Lusman Pasaribu, Kasubdit Penyidikan dan Perlindungan Hutan Wilayah I, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Menurutnya, hukuman yang minimal menunjukkan bahwa aparat penegak hukum belum sepenuhnya memberikan dukungan secara optimal terhadap upaya perlindungan satwa dilindungi dan hal ini dikhawatirkan dapat menjadi preseden buruk. “Kami berharap di masa yang akan datang aparat penegak hukum dapat memberikan dukungan yang lebih besar terhadap upaya perlindungan satwa dilindungi, sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.”
Kasus pembunuhan tiga ekor harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae) yang terjadi di Desa Tanjung Pasar Simpang Kecamatan Pelangiran- Indragiri Hilir-Riau pada Februari 2009 lalu mendapat perhatian yang serius dari para pegiat lingkungan dan konservasi alam. Kematian tiga ekor harimau Sumatera dalam kurun waktu bersamaan merupakan catatan terburuk bagi konservasi. Hukuman maksimal terhadap pelaku kasus ini diharapkan menjadi langkah awal untuk proses penegakan hukum terhadap kejahatan kehutanan ini. Tidak intensifnya penegakkan hukum pada kejahatan seperti ini menjadi salah satu penyebab tingginya jumlah kematian satwa dilindungi seperti harimau dan gajah Sumatera di Riau.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir angka kematian harimau di Riau minimal 5 ekor per tahun baik karena konflik atau perburuan. Sementara itu dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir tercatat hanya ada dua kasus perburuan harimau yang diproses hukum.
Chairul Saleh, Kooordinator Konservasi Satwa Langka WWF-Indonesia menyatakan, “Kami kecewa dengan putusan ringan yang diberikan kepada para terdakwa karena kasus ini semestinya dapat menjadi pembelajaran untuk penanganan yang lebih baik terhadap kasus kejahatan satwa liar di propinsi Riau”. Menurutnya, putusan yang memadai terhadap pelaku diharapkan dapat memudahkan upaya penegakan hukum kasus perburuan dan kasus perdagangan ilegal harimau lainnya, termasuk dalam memutus rantai perdagangan yang ada. “Dengan hukuman yang memadai, penegakan hukum diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan menyentuh pihak-pihak lain yang terlibat dalam perdagangan ilegal harimau, misalnya penampung dan pembeli”.
Sementara itu Nuskan Syarif, Ketua Kelompok Studi Lingkungan Hidup (KSLH) Riau yang dari awal memantau persidangan kasus ini menyatakan, “Kami berharap proses banding yang tengah diupayakan BBKSDA-Riau nantinya akan dapat memberikan hukuman maksimal kepada pelaku sesuai dengan peraturan yang berlaku.”
####selesai####
Untuk informasi selanjutnya, silakan hubungi:
Trisnu Danishworo, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Telp. 0761-63135 E-mail: bksda-riau@yahoo.co.id
Ir Lusman Pasaribu, Kasubdit Penyidikan dan Perlindungan Hutan Wilayah I, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) 0811721457
Syamsidar, Communications, WWF-Indonesia’s Riau Program Ph +62 8126896095 Email syamsidar@wwf.or.id
Nuskan Syarif, Koordinator Kelompok Studi Lingkungan Hidup (KSLH) Riau, Hp: 08126849469, Email:KSLH_Riau@yahoo.co.id
Chairul Saleh, Kooordinator Konservasi Hutan & Satwa Langka WWF-Indonesia PH +62 811102902
Catatan Untuk Editor:
- Dari total empat ekor harimau Sumatera yang mati dibunuh tahun ini, semuanya terjadi di blok hutan Kerumutan yang bersinggungan dengan beberapa konsesi hutan tanaman kayu pulp dan kebun sawit yang sedang melakukan aktivitas penebangan. Menurut para pakar harimau dunia, Lanskap hutan Kerumutan di Riau memiliki manfaat regional karena hutannya yang bersambungan dan luasnya memadai bagi pergerakan harimau (Sanderson, et.al, 2006). .
- Lanskap hutan Kerumutan di Riau merupakan salah satu lanskap yang ditetapkan sebagai “Prioritas Regional Konservasi Harimau” di pulau Sumatera oleh para ahli konservasi harimau. Total jumlah populasi Harimau Sumatera diperkirakan hanya tersisa sekitar 400 individu di alam bebas di seluruh Sumatera, dan dikategorikan sebagai Critically Endangered oleh lembaga konservasi dunia IUCN.