BAMETI YANG BERKELANJUTAN DAN BERTANGGUNG JAWAB? KENAPA TIDAK!
Oleh Amkieltiela
Sebagian besar perempuan dan anak-anak pesisir Maluku memiliki tradisi yang sudah berjalan secara turun temurun selama puluhan tahun, yaitu Bameti. Bameti merupakan kegiatan pengambilan sumber daya laut pada saat air surut untuk memenuhi kebutuhan keluarga akan protein hewani. Bameti umumnya hanya dilakukan di daerah pesisir yang memiliki dataran yang cukup luas dan landai, sehingga pada saat terjadi “air meti” (air surut), air laut akan menjauh sampai ratusan meter dari tepi pantai dan membentuk kubangan-kubangan air dimana biota laut potensial berkumpul (Pattiasina, 2010). Selain itu, bameti dilakukan ketika musim gelombang yang menyebabkan nelayan tidak dapat melaut untuk menangkap ikan sehingga berimplikasi pada tingginya harga ikan (Pical, 2007; Pattiasina, 2010).
Pia-pia, lola (Trochusniloticus), gurita (Octopus vulgaris), cacinglautatau yang dikenal dengan insonem (Eunice Fucata), bia (Syrinx aruanus; Cypraecassisrufa; Cassis cornuta), ikan-ikan kecil, kerang pasir, dan lainnya merupakan jenis yang sering ditangkap. Untuk menangkapnya, dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti penggunaan lidi, linggis, parang dan tombak untuk mencungkil moluska, membolak-balik karang untuk mengumpulkan biota target yang menempel atau berlindung di balik karang. Sambil mengumpulkan biota, mereka umumnya berjalan diatas karang.
Tradisi ini tidak hanya ditemukan di Indonesia, namun juga di negara lain sepertidi Pulau Samoa – Amerika, Pulau VitiLevu – Fiji, Pulau Pamilacan– Filipina, dll, yang juga menyumbangkan produksi perikanan yang cukup besar. Di Pulau Samoa –Amerika, tradisi yang juga dikenal dengan gleaning ini, menyumbang 18 ton/km2 per tahun hanya untuk hasil tangkapan ikan saja. Jumlah yang jauh lebih tinggi dialami di Pulau VitiLevu– Fiji, yaitu 3500 ton per tahun (1996), dimana perikanan artisanal mencapai 6200 ton per tahun. Data tahun 1986 produksi perikanan Pulau Pamilacan – Filipina menunjukkan bahwa hasil bameti mencapai 7.2 ton/km2 per tahunnya (Baran 2002).
Meski Bameti memiliki dampak sosial yang positif karena dapat menjaga dan mempererat kekerabatan dan solidarias sosial melalui berbagi informasi dan hasil tangkapan, namun jika melihat metode dan alat yang digunakan, tradisi ini dapat menyumbang kerusakan lingkungan pesisir secara jangka panjang (Tetelepta, 2011). Lebih lanjut Tetelepta (2011) menunjukkan bahwa saat ini aktivitas bametidi Maluku masuk ke dalam kategori perusakan tingkat sedang, tetapi jika dibiarkan maka akan berpotensi meningkat menjadi kategori perusakan tingkat berat. Selain akibat cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan, banyaknya jumlah orang yang berkumpul dalam satu waktu di lokasi yang sama juga turut berkontribusi terhadap perusakan lingkungan serta hilangnya spesies invertebrate tertentu disuatu lokasi (Cohen & Alexander2013). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Baran (2002) yang menunjukkan bahwa kegiatan bameti juga memberikan dampak pada kerusakan lingkungan.
WWF-Indonesia melihat kegiatan bameti ini sebagai tradisi yang perlu dilestarikan namun perlu dikelola bersama agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan pesisir sehingga masyarakat dapat terus melakukan kegiatan ini di masa depan. Salah satu upaya tradisional potensial yang dapat dilakukan untuk mengatur kegiatan Bameti adalah melalui penguatan Sasi. Sasi dapat mengatur waktu pengambilan (buka sasi dan tutup sasi), jumlah serta ukuran sumber daya yang dapat diambil. Namun tetap perlu dilakukan tindakan intervensi lain seperti aturan untuk memilih dan memilah tangkapan, tidak boleh menangkap hewan yang masih juvenile (masih kecil), tidak boleh merusak habitat dan mengambil sumber daya secukupnya. Kendatipun, penentuan periode buka dan tutup dalam sasi juga harus mempertimbangkan daya reproduksi dari spesies yang ada didalamnya. Contohnya di Hawai, periode tutup 1-2 tahun masih dianggap terlalu singkat untuk memulihkan stok sumber daya laut di alam karena spesies dilokasi tersebut membutuhkan waktu lebih dari 2 tahun untuk tumbuh dan berkembang setelah 1-2 tahun dibuka untuk melakukan penangkapan (Cohen & Alexander 2013).
Diperlukan kesepakatan antar desa mengenai tindakan perlindungan kawasan bameti yang meliputi gerakan bersama untuk peningkatan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya melindungi sumber daya laut, menggalang dukungan dari pihak terkait antara lain pemerintah setempat, penegak hukum, LSM, lembaga akademisi sampai pemerintah pusat, serta memasukkan kegiatan Bameti dalam pengelolaan kawasan. Selain itu perlu juga dikembangkan alternatif sumber ekonomi masyarakat untuk mendukung upaya pelestarian tradisi Bameti yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Salah satu lokasi yang menjadi tempat kerja WWF-Indonesia adalah Kepulauan Kei yang juga memiliki tradisi Bameti yang kuat. WWF-Indonesia mulai bekerja di Kepulauan Kei sejak tahun 2004 dan bekerjasama dengan rekan LSM lokal, Yayasan SIRAN untuk mempelajari dan mengkaji pola pemanfaatan perikanan di Kei termasuk dengan pemanfaatan Tabob (Penyu Belimbing)sebagai satwa yang kian menurun populasinya. WWF-Indonesia bersama dengan pemerintah dan masyarakat lokal memfasilitasi pengembangan rencana pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP), yang pada tanggal 4 Mei 2012 secara resmi telah dicanangkan Kawasan Konservasi Perairan seluas 150.000 ha melalui Surat Keputusan Bupati.
Selain itu, WWF-Indonesia juga melakukan kegiatan Pemetaan Partisipatif untuk meningkatkan kapasitas kaum perempuan Kei di wilayah pesisir Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Maluku Tenggara dengan melibatkan Mahasiswa STIA Langgur sebagai fasilitator. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengumpulkan informasi kegiatan yang masyarakat lakukan di lokasi Bameti terutama kaum perempuan dan memberikan pelatihan kepada kaum perempuan untuk dapat menggambarkan wilayah kegiatan Bameti di Pesisir dan Pulau serta di wilayah wisata lokal. Pelatihan tersebut sudah dilakukan ke 16 kampung selama 3 tahun (2011-2013).
Daftar Pustaka
Baran, E. 2002.The Importance of non-commercial fish.Chap. 5.5.2.11 in the UNESCO Encyclopedia of Life Support Systems (theme “Fisheries and Aquaculture”). In Press.
Cohen, P.J. & T.J. Alexander. 2013. Catch Rates, Composition and Fish Size from Reefs Managed with Periodically-Harvested Closures.Plos One 8(9), 16 September 16 2013: 13 hlm.
Pattiasina, J.\ 2010.Tradisi Bameti. 2 hlm.
Pical, V.J. 2007.RingkasanDisertasi: Dampak Perubahan Sistem Pemerintahan Desa Terhadap Pengelolaan Sumber daya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku dalam Masyarakat Indonesia. 2006. Lipi Press: 198 hlm.
Tetelepta, J.M.S., 2011. PengelolaanSumberdayaAlamPesisir Di KecamatanNusalaut. DampakPadaKeberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil. Ichthyos, Vol. 10 No. 2, Juli 2011: 95-101.
Untuk informasi lebih jauh, silahkan hubungi :
Meentje Simatauw
Community Empowerment Coral Triangle
msimatauw@wwf.or.id
Jan Manuputty
Project Leader Kei Coral Triangle
jmanuputty@wwf.or.id