DILEMA UANG DAN LINGKUNGAN
PERSOALAN banjir yang dihadapi daerah adalah masalah klasik. Sejumlah kota di Indonesia bahkan nyaris bisa disinonimkan dengan kata banjir. Jakarta, misalnya, menjadi pelanggan tetap banjir sejak lama. Sedangkan bagi kota-kota lain, seperti Semarang, Bandung, dan Surabaya, banjir telah menjadi anualitas.
Inti persoalan banjir ternyata bukan terletak pada pembangunan infrastruktur pengendali banjir, melainkan dilema antara uang dan lingkungan. Pemerintah daerah seperti dibuat tidak berdaya mengatasi banjir karena dihadapkan pada pilihan yang sulit antara uang dan lingkungan. Dengan dalih menggenjot pembangunan, pemerintah daerah tidak henti mengeksploitasi alam sehingga menyebabkan banjir.
Ujud kebimbangan pemerintah daerah terlihat dari banyaknya pembangunan daerah yang tidak prolingkungan. Pembangunan kawasan perumahan, misalnya, sering kali dilakukan di daerah resapan air. Cluster-cluster baru didirikan tanpa pertimbangan amdal yang memadai. Akibatnya, lahan-lahan yang mestinya berfungsi menjadi penadah air hujan justru ditumbuhi bangunan.
Contoh kebimbangan pemda juga dapat diamati pada pembangunan kawasan industri di beberapa daerah. Dengan alasan menyerap tenaga kerja dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi, banyak pabrik berdiri di daerah aliran sungai. Hal itu menyebabkan sistem drainase kota rusak.
Bagi daerah, investasi dan pertumbuhan ekonomi memang wajib diupayakan. Namun, jalan menuju kemajuan pembangunan tidak haru? dilakukan dengan mengorbankan lingkungan. Di luar keharusan mengorbankan lingkungan, toh masih banyak jalan untuk mendongkrak pembangunan.
Banjir massal musim hujan kali ini membentangkan pilihan kepada pemerintah daerah untuk memilih uang atau kelestarian lingkungan. Pilihan dilematis yang harus dipecahkan. Surahmat, Mahasiswa Universitas Negeri Semarang.