BAGAN APUNG YANG TERAPUNG-APUNG
Dwi Ariyogagautama atau yang akrab disapa Yoga ini sudah hampir 3 tahun bekerja di WWF Solor Alor Project sebagai Fisheries Officer. Bersama tim WWF lainnya, ia mencoba untuk mengembangkan perikanan yang bertanggungajawab dan berkelanjutan terutama perikanan tuna. Lulusan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro ini aktif dalam klub selam ilmiah Marine Diving Club (MDC). Profil penulis selengkapnya...
Oleh Dwi Ariyogagautama
Setiap naik kapal penumpang antar pulau di Alor, saya sering berpapasan dengan salah satu alat tangkap pasif seperti gambar diatas. Orang Indonesia umumnya menyebut sebagai Bagan apung atau bagan rakit, sejujurnya agak menutupi jalur pelayaran didalam teluk Kalabahi ketika jumlah pemasangannya semakin banyak. Saya penasaran untuk mencari lebih banyak informasi terkait Bagan apung. Setengah hari browsing sana baca sini, berikut ulasan mengenai bagan apung.
Bagan merupakan alat tangkap pasif namun ada beberapa jenis variannya menurut saya semi aktif. Dibilang pasif karena cara pengoperasian alat tangkap ini tetap diwiayah yang sama yaitu dengan bagan tancap cara kerjanya menjebak atau lebih tepatnya memanfaatkan tingkah laku biota laut yang suka sekali dengan cahaya (fototaksis) dengan memanfaatkan lampu bohlam plus serangkaian genset atau petromak jika mau lebih irit, sedangkan bagan jenis yaitu bagan apung, kontruksinya mirip dengan bagan tancap saja tidak kontruksi bagian bawahnya adalah kapal, sehingga lebih leluasa berpindah dalam mencari ikan targetnya, cara kerjanya sama persis dengan bagan tancap. Well, bisa dikatakan bagan ini juga tergolong lift net atau jaring angkat. Bentuk bagian yang mengapung boleh apapun yang penting mengapung, namun prinsipnya menurut saya hanya terdiri dari 2 keyword saja untuk pengoperasiannya; Cahaya dan jaring angkat.
Bagan apung yang saya temui di Alor tidak menggunakan kapal tapi tetap saja bisa leluasa dipindah, karena menggunakan dirigen plastik atau stereofoam untuk mengapung. Persis sekali seperti keramba jaring apung (KJA) dalam skala lebih besar tentunya. Pengoperasiannya seperti dijelaskan sebelumnya menggunakan cahaya, seperti dijabarkan oleh Ayodhyoa (1981) dalam buku tingkah laku ikan yang saya berkumpul dibawah sinar cahaya dibedakan menjadi 2 kelompok. Kelompok yang memiliki sifat phototaksis positif, sedangkan yang kedua kelompok ikan yang mencari makanan (Feeding) di sekitar cahaya seperti plankton dan ikan-ikan kecil.
Pada percobaan Mitsugi (1974) mememukan beberapa kelompok ikan yang tertarik dan tidak tertarik dengan cahaya, yaitu :
- Ikan yang tertarik oleh cahaya (Fototaksis), antara lain : mackerel, sardin, cumi-cumi dan baracuda
- Ikan yang kurang tertarik oleh cahaya, antara lain : Ekor kuning (Caesionidae), Tuna dan Salmon
- Ikan yang takut oleh cahaya (photohobia) , antara lain : belut, kepiting, dan gurita
Berdasarkan hal tersebut tidak heran target jenis ikan yang umumnya didapat adalah teri (Stolephorus sp.) dan rebon (Mysis sp) sedangkan Hasil tangkapan sampingannya berupa ikan embang (Clupea sp.), layur (Trichiurus sp.), kembung (Rastrelliger sp.), selar (Caranx sp.), cumi-cumi (Loligo sp.) dan sotong (Sephia sp.) (Monintja dan Martasuganda 1991).
Hasil penangkapan bagan apung di Alor umumnya didominasi oleh jenis ikan Melus yang dijual dipasar lokal kalabahi. Sedangkan mengenai target ikannya di kabupaten tetangga seperti Lembata dan Flores Timur bagan apungnya digunakan untuk menangkap ikan tembang, layang dan melus yang diperuntukkan bukan hanya untuk konsumsi lokal di pasar melainkan juga menjadi konsumsi ikan lain atau sebagai umpan hidup seperti Cakalang pada kapal Pole and line (huhatei) atau kapal pancing lainnnya untuk penangkapan tuna. Jadi umpan yang didapatkan diusahakan tetap kondisi hidup dan fit hingga dijemput kapal pembeli tersebut. Harganya berbeda ketika dijual dalam kondisi fresh dan hidup, teridentifikasi tembang dalam kondisi hidup per ember berkisar 60-90 kg dihargai Rp.100.000/ember atau sekitar 5000 ekor tembang. Rata-rata 1 trip ketika musim puncak bisa mendapatkan 1500-2000 kg ikan tembang, musim sedang 1000-1500 kg dan musim apesnya mulai dari 50-300 kg, untuk jenis layang pada musim puncak 1000 kg, musim sedang 800kg dan paceklik 500kg, melus pada musim puncak 500 kg, sedangkan jenis ikan melus pada musim puncak bisa menangkap 200-300kg/trip dan musim pacekliknya cukup puas dengan 60-100 kg.
Jadi sebagian besar nelayan dengan alat tangkap pole and line cukup bersimbiosis mutualisme dengan nelayan bagan apung ini dalam upaya peningkatan produksi perikanan cakalang dan tuna. keberadaan bagan apung sebagai penyedia umpan hidup mendorong efisiensi penangkapan Cakalang dan tuna. Seperti artikel sebelumnya mengenai huhatei, kecenderungan peningkatan produksi Cakalang dan tuna ini melalui penambahan armada yang diiringi dengan penambahan jumlah trip penangkapan. Permintaan umpan hidup juga meningkat dari bagan-bagan apung yang ada. Pastinya nelayan bagan apung semakin semangat untuk menambah tripnya. Kemudian bagaimana daya dukung stok umpan hidup tersebut?
Ekosistem bakau merupakan salah satu kunci dalam mempertahankan siklus reproduksi ikan-ikan tersebut, mempertahankan keanekaragaman dan luasan bakau perlu menjadi prioritas kebijakan perikanan didaerah tersebut. Kemudian diiringi dengan adanya mekanisme kebijakan yang tegas dalam pembatasan armada atau trip dari alat tangkap huhatei dan bagan apung tersebut. Sejujurnya biarlah mekanisme pasar yang akan menaikan harga jual ikan dikarenakan penangkapan cakalang dan tuna yang semakin terbatas, yang terpenting perikanan yang ada tidak terbatas.
Referensi :
B.S. Mulyono, Taurusman. A.A dan Sudirman. 2010. Tingkah Laku Ikan : Hubungannya dengan Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap. Lubuk Agung. Bandung