SERAYA MARANNU: DARI LUKA LAUT KE HARAPAN BIRU
Tersembunyi di ujung timur Labuan Bajo, berdiri sebuah desa kecil bernama Seraya Marannu. Dikelilingi laut biru dan gugusan terumbu karang yang dulu pernah terluka, desa ini kini menapaki jalan baru menjadi kawasan Other Effective Area-based Conservation Measures (OECM) atau Kawasan Berdampak Konservasi (KBK), yang berfokus pada perikanan berkelanjutan. Siapa sangka potensi kawasan OECM yang terdiri dari 94% bermata pencaharian nelayan ini lahir dari masa lalu yang kelam akibat praktik perikanan tidak bertanggung jawab atau destructive fishing.
Beberapa tahun lalu, perairan di sekitar Seraya Marannu sempat menjadi saksi dari praktik destructive fishing atau penangkapan ikan dengan teknik yang merusak habitat. Bom ikan dan potasium digunakan secara luas oleh sebagian nelayan demi hasil tangkapan instan. Tak disadari, metode tersebut perlahan-lahan menghancurkan ekosistem laut yang menjadi penyangga kehidupan masyarakat pulau ini. Ekosistem terumbu karang rusak, banyak jenis ikan menghilang, dan kehidupan melaut terasa semakin sulit. Ketika hasil tangkapan menurun drastis dan laut tidak lagi memberi hasil seperti dulu, kesadaran tumbuh dari dalam masyarakat sendiri.
"Dulu Seraya Marannu terkenal dengan pembom ikan sampai tahun 2000-an dan penangkapan spesies hiu. Tapi sekarang, nelayan di sini sudah paham mana yang merusak dan mana yang menjaga laut. Akhirnya sama-samalah nelayan sudah bangkit, hasil juga sudah bagus dan harga juga sudah bagus,” ujar haji Abdulrahman, Ketua BPD, Desa Seraya Merannu.
Menurut cerita para warga atau tokoh masyarakat lanjut usia, sekitar satu hingga dua tahun setelah praktik penangkapan ikan dengan bom dilakukan, mereka merasakan kesulitan luar biasa untuk mendapatkan ikan di perairan sekitar. Kondisi ini menjadi titik balik yang menyadarkan masyarakat. Sejak saat itu, mereka sepakat untuk menghentikan praktik merusak tersebut secara menyeluruh dan menjadi sebuah komitmen yang masih mereka pegang teguh hingga hari ini.
Dengan pendampingan dari Yayasan WWF Indonesia, masyarakat Seraya Marannu kini tengah menapaki babak baru dalam perjalanan mereka. Bukan sekadar memulihkan ekosistem yang rusak, tetapi juga menata kembali cara mereka berinteraksi dengan laut. Program edukasi, pelatihan bagi nelayan, sertifikasi, serta penerapan praktik perikanan yang ramah lingkungan menjadi fondasi penting dalam transformasi desa Seraya Marannu menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Para nelayan kini mulai menerapkan berbagai prinsip perikanan berkelanjutan, seperti penggunaan alat tangkap yang selektif, penerapan zona larang tangkap, serta penghormatan terhadap musim pemijahan ikan. Keunikan lainnya, masyarakat Seraya Marannu hanya menggunakan pancing sebagai alat tangkap utama—berbeda dengan banyak desa pesisir lain yang mengandalkan jaring, panah, atau berbagai alat tangkap lainnya. Meski dengan peralatan yang lebih sederhana, masyarakat tetap mampu memperoleh hasil tangkapan yang baik dan mencukupi.
Menurut Bapak Sutirman, Kepala Desa Seraya Marannu, jenis ikan yang ditangkap nelayan sangat bergantung pada musim. Nelayan menyesuaikan teknik dan lokasi tangkap berdasarkan musim-musim tersebut namun umumnya tetap beroperasi di sekitar desa. Hasil tangkapan bervariasi, mulai dari ikan karang seperti ketamba, kerapu, hingga tuna dan tongkol. Rata-rata hasil tangkapan nelayan berkisar antara 250 hingga 500 kilogram per bulan, namun bisa melonjak hingga 3–4 ton dalam satu bulan pada musim ikan melimpah, terutama saat cuaca mendukung. Dalam beberapa hari saja, seorang nelayan bahkan bisa menimbang hingga 150–200 kilogram ikan per hari. Meski demikian, di musim paceklik seperti Januari atau Februari, pendapatan bisa menurun drastis bahkan nihil akibat kondisi cuaca yang tidak mendukung.
Hasil yang diperoleh menjadi kabar baik bagi wilayah yang sedang dalam proses pemulihan. Meski kerusakan terumbu karang akibat pengeboman ikan masih terlihat, dengan tingkat pemulihan baru sekitar 20–30% di beberapa lokasi, Seraya Marannu tetap menyimpan potensi besar. Kawasan ini dikelilingi oleh laut yang kaya dan penting untuk dijaga kelestariannya.
"Seraya Marannu memiliki sejumlah kriteria utama. Pertama, wilayah ini berada di luar kawasan konservasi formal yang dikelola pemerintah, tepatnya di luar Taman Nasional Komodo, sejalan dengan definisi OECM yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kedua, desa ini telah memulai inisiatif kelembagaan dan tata kelola bersama WWF-Indonesia, pemerintah desa, serta mitra daerah dan provinsi NTT pada tahun 2024 untuk mendukung upaya konservasi berbasis masyarakat. Ketiga, Seraya Marannu memiliki keanekaragaman hayati yang penting bagi masyarakat setempat, terutama keberadaan padang lamun dan ekosistem mangrove yang mengelilingi pulau. Ditambah lagi, kawasan ini juga memiliki terumbu karang yang sehat dan berpotensi tinggi," jelas Kusnanto dari Yayasan WWF Indonesia. Kombinasi dari ketiga ekosistem esensial ini menjadikan Seraya Marannu sebagai wilayah yang sangat potensial untuk diakui sebagai OECM di Indonesia.
Transformasi Seraya Marannu memberi pesan kuat bahwa perubahan tidak selalu harus datang dari luar. Justru, ketika masyarakat lokal menjadi pusat perubahan, didukung dengan pengetahuan, pendampingan, dan ruang untuk berdaya, maka laut bisa pulih dan tetap memberi hidup. Kini, Seraya Merannu bukan sekadar desa nelayan. Ia menjadi simbol harapan bahwa laut bisa sembuh, dan masyarakat bisa menjadi penjaga terbaiknya.
Dengan semangat gotong royong dan komitmen pada praktik perikanan berkelanjutan, masyarakat Seraya Marannu terus melangkah. Mereka tahu, menjaga laut bukan hanya soal hari ini, tetapi tentang masa depan anak cucu mereka.