© Yayasan WWF Indonesia / Ola Jennersten
Negosisiasi para pihak semakin mendekati puncak COP 15 CBD di Kunming, China pada Agustus 2022 walaupun tanggalnya hingga saat ini belum ditentukan. Di mana draft dokumen Global Biodiversity Framework (GBF)-post 2020 akan dibahas dan diharapkan dapat disepakati. Hal ini menarik perhatian pemerhati keanekaragaman hayati untuk memberikan masukan dan solusi menghadapi tantangan menurunnya keanekaragaman hayati di berbagai belahan dunia.
30 by 30 adalah harapan untuk mengoptimalkan lanskap, air tawar dan laut yang ramah terhadap keanekaragaman hayati. Hal ini untuk menjaga biodiversitas, jasa lingkungan, dan habitat yang terus menurun baik dari sisi kuantitas dan kualitas. Negosiasi terhadap target ruang keanekaragaman hayati berbeda dengan tata kelola dan bagaimana pengelolaannya dan oleh siapa. Di mana hal ini merupakan target global. Tentu penerjemahan di setiap negara akan memiliki konteks masing-masing sesuai dengan kebijakan nasional dan kondisi sosial.
Perkembangan pendekatan konservasi keanekaragaman hayati yang lebih inklusif terus berkembang melalui pendekatan multi-aktor pada skala lanskap. Di mana beragam aktor penggunaan lahan dapat berkontribusi dengan menerapkan prinsip berkelanjutan (environmental, social and governance-ESG). Hal ini akan menjadi aksi kolektif untuk kepentingan bersama mencapai target SDGs.
Adanya beragam pola pendekatan seperti ekonomi hijau, pertumbuhan hijau, pembangunan rendah emisi memberikan multi efek manfaat bagi manusia dan alam termasuk keanekaragaman hayati di dalamnya. Padangan eksklusif ecocentrism dan sociocentrism telah terintegrasi dalam pendekatan bentang lahan co-exist untuk manusia dan alam.
Melalui cara pendekatan lanskap, air tawar dan laut tersebut upaya pelestarian keanekaragaman hayati dapat dilakukan tidak terbatas pada kawasan-kawasan yang berstatus konservasi, namun juga pada kawasan budidaya yang bernilai konservasi tinggi. Misalnya, melalui pengelolaan hutan lestari akan berkontribusi terhadap kawasan-kawasan yang bernilai konservasi untuk dipertahankan, begitu pula pada pendekatan pertanian berkelanjutan akan memberikan perlindungan pada area bernilai konservasi. Sedangkan pada ekosistem air tawar misalnya sungai yang berfungsi mengangkut nutrisi dan mineral ke laut, juga merupakan habitat bagi spesies aquatik. Begitu pula, ekosistem kritis pesisir dan laut penting untuk mempertahankan tempat pemijahan dan berkembang biak bagi pertumbuhan biota laut.
Hal ini juga terefleksi dalam pola pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat yang masih bergantung pada hutan. Sebagai contoh, kegiatan fasilitasi pemetaan partisipatif yang telah dilakukan bersama masyarakat adat pemegang hak ulayat di Papua (Merauke, Boven Digul, dan Mappi) tergambar jelas adanya beragam fungsi penggunaan lahan masyarakat baik dari lahan untuk pemenuhan protein, karbohidrat, sumber air, tempat sakral dan sebagainya. Tentu ruang kelola masyarakat adat ini menjadi bagian dalam mosaik lanskap yang dimanfaatkan secara lestari dan turun-temurun.
Oleh karena itu, kami percaya ada persyaratan penting sebagai syarat untuk mendukung gagasan ini seperti sepenuhnya mengakui dan mengamankan hak masyarakat termasuk mempromosikan beragam model ‘tata kelola' melalui pengukuran konservasi berbasis kawasan efektif lainnya (OECMs) dan mengurangi separuh jejak produksi dan konsumsi pada tahun 2030, untuk negara-negara yang konsumsi per kapitanya tinggi (negara maju).
Hal yang perlu dilakukan kemudian adalah mengukur status dan tren keanekaragaman hayati pada beragam pola penggunaan lahan sebagai mosaik antara kawasan berfungsi lindung dan budidaya yang dikelola oleh beragam aktor dan sektor, termasuk masyarakat adat. Kontribusi para pihak dalam pengelolaan lanskap akan memberikan ruang yang ramah terhadap keanekaragaman hayati dan co-exist dalam habitat yang sama.
Usulan perluasan ruang untuk konservasi melalui 30 by 30 yang diartikan sempit pada ‘status dan penguasaan kawasan’, telah mendegradasikan cara pandang kreatif dan inovatif dalam memberikan solusi terhadap upaya pelestarian keanekaragaman hayati. Seperti bagaimana mengatasi konektivitas habitat di hutan yang terfragmentasi, mempertahankan populasi yang layak, menjaga keterwakilan tipe ekosistem, pengelolaan yang efektif, dan tata kelola yang inklusif.
Sebaliknya meningkatkan target perluasan ruang pelestarian keanekaragaman hayati akan merangsang pemikiran yang kritis dan kreatif guna menjadikan alam sebagai solusi (nature-based solutions), terhadap masalah sosial yang kita hadapi seperti banjir, ketahanan pangan, bencana iklim dan beragam ancaman lainnya.
_______________________________________________________________________________________________
The Essence of 30 by 30 For the Sustainability of Human and Nature
Negotiations between the parties are getting closer to the peak of COP 15 CBD in Kunming, China in August 2022 (although dates have not been announced). The draft document for the post-2020 global biodiversity framework (GBF) will be discussed and is expected to be agreed. This has attracted the attention of biodiversity observers to provide input and solutions to the challenges of declining biodiversity in various parts of the world.
30 by 30 is the hope to optimize land, freshwater, and sea spaces that are friendly to biodiversity. This is to maintain biodiversity, environmental services and habitats that continue to decline both in terms of quantity and quality. Negotiation of spatial biodiversity targets differs from governance and how it is managed and by whom. It is a target global. Of course, translation in each country will have its own context according to national policies and social conditions.
The development of a more inclusive approach to biodiversity conservation continues to evolve through a multi-actor approach at the landscape scale. Where various land use actors can contribute by applying the principles of sustainability (environmental, social and governance-ESG). This will be a collective action for the common interest to achieve the SDGs targets.
The existence of various approaches such as green economy, green growth, low emission development provides multiple beneficial effects for humans and nature, including biodiversity in it. The exclusive view of ecocentrism and sociocentrism has been integrated in the co-exist landscape approach for humans and nature.
Through this land, freshwater and seascape approach, biodiversity conservation efforts can be carried out not only in areas with conservation status, but also in cultivated areas with high conservation value. For example, through sustainable forest management will contribute to areas of conservation value to be maintained, as well as a sustainable agricultural approach will provide protection to areas of conservation value. In the freshwater such river transports a nutrient and mineral to the sea and home for brackish species. In the coastal and marine critical habitat is able to maintain the spawning ground and nursery ground for species growth.
This is also reflected in the pattern of resource use by communities who still depend on forests. For example, the participatory mapping facilitation activity that has been carried out with indigenous peoples holding customary rights in Papua (Merauke, Boven Digul, and Mappi) clearly illustrates the various functions of community land use, both from land to fulfill protein, carbohydrates, water sources, sacred places and land. etc. Of course, this customary community management space is part of the landscape mosaic that is used sustainably and for generations.
Therefore, we believe there are pivotal requirements as conditional to support this idea such as fully recognizing and securing the community right including promoting multi variance governance ‘other effective area-based conservation measured (OECMs) and halving the footprint of production and consumption by 2030, for which high per capita consumption countries (the developed world).
What needs to be done then is to measure the status and trends of biodiversity in various land use patterns as a mosaic between protected and cultivated areas managed by various actors and sectors, including indigenous peoples. Contribution of the parties in landscape management will provide a friendly space for biodiversity and co-exist in the same habitat.
The proposed expansion of space for conservation through 30 by 30, which is narrowly defined as 'area status and control', has degraded creative and innovative perspectives in providing solutions to biodiversity conservation efforts. Such as how to solve habitat connectivity in the fragmented forests, maintain a viable population, keep the representation of type ecosystem, effective management, and inclusive governance.
On the other hand, increasing the target for expanding the space for biodiversity conservation will stimulate critical and creative thinking in order to make nature a solution (nature-based solutions), to the social problems we face such as floods, food security, climate disasters and various other threats.
Jakarta, 20 September 2019 – PT. Mass Rapid Transit Jakarta (PT MRT Jakarta) dan Yayasan WWF-Indonesia (WWF-Indo...
Oleh: Ranny Ramadhani Yuneni“Better Management Practices (BMP) Seri Panduan Perikanan (Bycatch): Panduan Pe...
Pigeon and WWF are partnering together to support forest rehabilitation/restoration efforts in Nagari Muaro Sungai...
Get the latest conservation news with email