Kembali

© Yayasan WWF Indonesia

Kelompok Ingger Wewal sedang membuat hon.



A Story from the Last Village in Jayapura Regency

Posted on 19 October 2021
Author by Ros Weyai

Novilla Aru, also known as Amo as ‘mother’ in the Nabire language, is a woman from Sawesuma Village, a village located on the border of Jayapura Regency.

This woman who was born 31 years ago has become a driving force for women in the village. She is not a woman from the Sawe or Oria tribes, which is the two dominant tribes in the village area. She is the wife of a Kamabi (the ulayat owner of the Sawe tribe) whose name is Mr. Robi Digan.

Starting as a Sunday school administrator (a church-built fellowship for the youth community) she is active and diligent as a teacher on Sundays. There she learned more about children, youth and women. Her sociable demeanour and always willingness to learn attracted the sympathy of the villagers, who later chose her to be the representative of BaMusKam (Village Consultative Body) until 2022. Her interest in empowering women, youth and children also made her the head of the Posyandu (Integrated Healthcare Center). Amo's activeness in activities in the village is what makes her learn a lot about social life and the character of the people in his village. She became aware of the issues and challenges faced by women's groups.

Periodically, she often gathers women, just sharing stories about household problems, exchanging dreams and hopes. At the end of 2020, the Head of Sawesuma Village appointed her to be the head of the Sawesuma Village Indigenous Women's Association. They also named the group Ingger Wewal which means Female Cenderawasih (Birds of paradise).

This group consists of 60 people or all women in the village. Amo is very excited because there is a place for women to interact and be recognized in the village. She also feels there is a big responsibility, how to realize the dreams and hopes of women in the village that she usually hears about. A simple hope and yet it takes serious effort to be implemented.

Most of her female friends that were members of the group played the role of farmers, they spend a lot of time in the garden, taking care of children and the household. Routines prevent them from receiving formal education. To read and write, some women did not have the ability yet. This is an obstacle that makes them insecure, inferior, and embarrassed when meeting new people.

Even so, they are tough people, to ensure the fulfilment of daily household needs, they are the ones who manage it. Gardening, fishing, gathering firewood, chopping sago, they do all domestic activities. No wonder they know the sources of life in the forest with certainty because they are the ones who routinely manage them. They are the ones who ensure that the natural resources in the forest for the necessities of life are always available, always sustainable.

The pressure on the forest in Sawesuma Village, especially the land-based investment sector, will have a direct impact on them. Meanwhile, the persuasion of investors to sell land for plantation locations is intensively carried out when the family's economy is crushing. Amo and her group at Ingger Wewal did not standstill.

Through the funding assistance from the Jayapura Women's Empowerment Service of 10 million rupiah. They started a craft business of noken, or hon in Orian, their spoken language. “Right now, we can only do “hon” and rope plate crafts”. Amo said, “That's the talent of the women of Sawe and Oria. Their hands are skilled to make crafts,” she continued. Unexpectedly, this activity was a turning point in the development of the group. The craft group, which was initially only attended by 3 to 4 people, has now involved all members of the group. Not all can weave and knit, but they help find raw materials in the forest, processing them into ready-made materials. Thus, all group members are involved. They also market several products, through the Earth Hour (EH) Jayapura community as well as individuals who will go down to the city.

Slowly but surely, the group began to understand that there were other sectors that they could develop to gain economic benefits apart from selling garden produce. The crafts that they initially did when they were tired after gardening or waiting for sleep at night turned out to have results.

It was these small group steps that later became the inspiration shared by the group, especially Amo at the webinar event at the Asian Pacific Climate Week (APCW) which was conducted online on 8 July. As a speaker, Amo shared the involvement of women who participate in maintaining the climate by utilizing natural resources and participating in managing forests in Sawesuma Village. "Although I was nervous because this activity involved many outsiders (foreigners), I was happy because I could tell stories about women in the village, and even learn from women in other countries," said Amo Novilla Aru.

Asia Pacific Climate Week (APCW) is a routine activity held to inspire various kinds of individuals and groups to take part in the momentum of global community-based climate action agreements. This event involved 100 participants from various countries and backgrounds. The countries participant are the Netherlands, Accra-Ghana, Philippines, India, Kenya, Zimbabwe, Vietnam, Thailand, Japan, and Indonesia.

Currently, Ingger Wewal's group is involved in the VCA or Voice For Just Climate Action program. VCA or Voice for Climate Justice Action is a partnership program between local and national institutions. VCA aims to strengthen the voices of marginalized groups at the site level, in particular indigenous peoples, indigenous women, youth, and other civil society groups, so that their voices can be heard at local, national and global levels and can contribute to climate change action, either directly or indirectly. 

"We do everything organically, free of chemicals, but we still have homework, namely replanting our handicraft raw materials, so that they are sustainable," said Amo. For Amo and the group, ensuring the availability of raw materials is a form of protecting and caring for the forest, their own kitchen.

____________________________________________________________________________________________________________________________________________


Novilla Aru yang lebih akrab dipanggil Amo sebutan ibu dalam bahasa Nabire adalah salah satu dari sejumlah perempuan yang ada di Kampung Sawesuma, kampung di batas Kabupaten Jayapura. 

Perempuan kelahiran 31 tahun lalu ini, menjadi penggerak bagi kaum perempuan di kampung. Ia bukanlah perempuan dari suku Sawe atau Oria, dua suku yang mendominasi di wilayah kampung tersebut.  Ia adalah istri dari seorang kamabi (pemilik ulayat suku Sawe) yang Bernama Bapak Robi Digan. 

Berawal dari pengurus sekolah minggu (persekutuan binaan gereja untuk komunitas anak remaja) ia aktif dan tekun menjadi pengajar saat hari minggu. Di situlah ia belajar lebih banyak mengenal anak-anak, pemuda dan kaum perempuan. Pembawaannya yang supel dan selalu mau belajar, menarik simpati masyarakat kampung, yang kemudian memilihnya menjadi wakil BaMusKam (Badan Musyawarah Kampung) hingga tahun 2022 mendatang. Minatnya dalam pemberdayaan kaum perempuan, pemuda dan anak-anak juga menjadikannya sebagai ketua posyandu. Keaktifan Amo dalam kegiatan di kampung inilah yang membuatnya banyak belajar tentang kehidupan sosial dan karakter masyarakat kampungnya. Ia jadi mengetahui isu dan tantangan yang dihadapi kelompok perempuan.

Secara berkala, ia sering mengumpulkan kaum perempuan, hanya sekedar berbagai cerita persoalan rumah tangga, bertukar mimpi-mimpi dan harapan-harapan. Pada akhir tahun 2020, Kepala Kampung Sawesuma mengangkatnya menjadi ketua kelompok Ikatan Perempuan Adat Kampung Sawesuma. Merekapun menamai kelompok tersebut dengan Ingger Wewal yang artinya Cenderawasih Betina. 

Kelompok ini beranggotakan 60 orang atau seluruh perempuan di kampung tersebut. Amo sangat bersemangat karena ada wadah bagi kaum perempuan untuk berinteraksi dan diakui di kampung. Ia juga merasa ada tanggung jawab yang besar, bagaimana mewujudkan mimpi dan harapan perempuan di kampung yang biasa ia dengar. Harapan yang sederhana dan namun butuh upaya yang serius untuk dilaksanakan. 

Teman-teman perempuannya sesama anggota kelompok sebagian besar berperan sebagai petani, mereka menghabiskan waktu banyak di kebun, mengurus anak dan rumah tangga. Rutinitas membuat mereka tidak sempat mengenyam pendidikan formal. Untuk baca tulis, Sebagian kaum perempuan belum dapat membaca dan menulisdapat. Ini adalah kendala yang membuat mereka tidak percaya diri, minder dan malu jika bertemu dengan orang yang baru. 

Di balik itu, mereka adalah orang-orang tangguh, untuk memastikan pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari, merekalah yang melakukannya. Berkebun, memancing, mengumpulkan kayu bakar, menokok sagu, semua kegiatan domestik mereka lakukan. Tidak heran mereka mengetahui dengan pasti sumber-sumber hidup di hutan, karena merekalah yang secara rutin mengelolanya. Merekalah yang memastikan bahwa sumber daya alam di hutan untuk kebutuhan hidup selalu tersedia, selalu lestari.

Tekanan terhadap hutan di Kampung  Sawesuma terutama sektor investasi berbasis lahan akan berdampak langsung pada meraka. Sementara, bujukan investor untuk menjual tanah untuk lokasi perkebunan gencar dilakukan saat himpitan ekonomi keluarga. Amo dan kelompoknya di Ingger Wewal tidak tinggal diam.

Melalui bantuan dana dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Jayapura sebesar 10 juta rupiah. Mereka memulai usaha kerajinan noken, atau hon dalam Bahasa Oria, Bahasa tutur mereka. “Saat ini, hanya hon dan kerajinan piring tali yang dapat kami lakukan”. Kata Amo, “itu talenta perempuan Sawe dan Oria. Tangan mereka terampil untuk membuat kerajinan”,lanjutnya. Tidak disangka, kegiatan tersebut merupakan titik balik perkembangan kelompok. Kelompok kerajinan yang awalnya hanya diikuti 3 hingga 4 orang saja, sekarang sudah melibatkan seluruh anggota kelompok. Tidak semua dapat mennganyam dan merajut, tapi mereka membantu mencari bahan baku di hutan, mengolahnya hingga menjadi bahan siap jadi. Dengan demikian semua anggota kelompok terlibat. Beberapa produk juga mereka pasarkan, melalui komunitas Earth Hour  (EH) Jayapura juga perorangan yang akan turun ke kota.

Perlahan namun pasti, kelompok mulai paham bahwa ada sektor lain yang dapat mereka kembangkan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi selain penjualan hasil kebun. Kerajinan tangan yang awalnya mereka kerjakan saat melepas lelah sepulang berkebun ataupun menunggu rasa kantuk di malam hari ternyata dapat membuahkan hasil. 

Langkah-langkah kecil kelompok inilah yang kemudian menjadi inspirasi yang dibagikan oleh kelompok, khususnya Amo pada acara webinar di Pekan Asian Pacifific Climate Week (APCW) yang dilakukan secara daring tanggal 8 Juli lalu. Sebagai pembicara Amo berbagi keterlibatan perempuan yang ikut berpartisipasi dalam menjaga iklim dengan memanfaatkan sumber daya alam dan ikut mengelola hutan di Kampung Sawesuma. "walaupun gugup karena kegiatan ini melibatkan banyak orang luar (asing) tapi saya senang karena bisa sampaikan cerita tentang perempuan di kampung, bahkan bisa belajar dari perempuan di negara lain” kata Amo Novilla Aru. 

Asia Pacific Climate Week (APCW) atau Pekan Iklim Asia Pasifik merupakan kegiatan rutin yang diadakan untuk menginspirasi berbagai macam individu dan kelompok dalam mengambil peran dari momentum kesepakatan aksi iklim berbasis komunitas skala global. Ajang ini melibatkan 100 peserta dari berbagai negara dan latar belakang. Negara yang berpartisipasi yaitu Belanda, Accra-Ghana, Filipina, India, Kenya, Zimbabwe, Vietnam, Thailand, Jepang, dan juga Indonesia.

Saat ini, kelompok Ingger Wewal terlibat dalam program VCA atau Voice For Just Climate Action. VCA atau Suara untuk Aksi Iklim Berkeadilan  merupakan program kemitraan antar lembaga lokal maupun nasional. VCA bertujuan memperkuat suara dari kelompok marginal di tingkat tapak, khususnya masyarakat adat, perempuan adat, pemuda dan kelompok masyarakat sipil lainnya, agar suara dari mereka dapat terdengar di tingkat lokal, nasional dan global serta dapat berkontribusi terhadap aksi perubahan iklim, baik secara langsung maupun tidak langsung.  

“Kami melakukan semuanya secara organik, bebas zat kimia, tapi masih ada PR (pekerjaan rumah) kami, yakni melakukan penanaman kembali bahan baku kerajinan tangan kami, supaya berkelanjutan” kata Amo. Bagi Amo dan kelompok, menjamin ketersediaan bahan baku merupakan bentuk menjaga dan merawat hutan, dapur mereka sendiri.



Cerita Terkini

Setahun Berkiprah, KSU Sampah Komodo Bebaskan Labuan Bajo dari 54,8 To

Oleh: Kusnanto (Biodiversity Monitoring and Plastic Free Ocean, WWF-Indonesia) Studi Pengelolaan sampah yang...

Berbagi Ruang

https://www.youtube.com/watch?v=a0TzWVIpKa4...

Penangguhan Kerja Sama Bilateral antara WWF-Indonesia dengan Royal Les

PERNYATAAN RESMIPenangguhan Kerja Sama Bilateral antara WWF-Indonesia dengan Royal Lestari Utama“Sejak 2015, WWF...

Get the latest conservation news with email