Plastic Waste

SAMPAH PLASTIK? LET’S CRUSH IT!

klestiarsi — Wed, 13 Nov 2024 03:02:53 +0000

SAMPAH PLASTIK? LET’S CRUSH IT! klestiarsi Rab, 11/13/2024 - 10:02

Kami, tim magang dari Universitas Negeri Jakarta, beruntung dapat mengikuti perjalanan yang membuka wawasan kami mengenai pengelolaan sampah plastik di kota besar yang merupakan dampingan dari WWF-Indonesia. Bersama tim Plastic Smart Cities (PSC), kami mengunjungi berbagai mitra yang tersebar di Jakarta, Bogor dan Depok. Mulai dari Bank Sampah Unit hingga perusahaan besar seperti Waste4Change, Kibumi dan Konsorsium RECO. Perjalanan ini memberi kami pandangan baru tentang betapa pentingnya kerja sama dalam mencegah sampah plastik mencemari lingkungan.

Langkah pertama kami ke TPST Mutiara Bogor Raya, yang sedang bertransformasi menjadi Koperasi Takesi (Taman Kreasi Olah Sampah Terintegrasi). Di sini, kami belajar bagaimana mereka mengelola sampah rumah tangga menjadi produk bernilai, termasuk melalui bank sampah dan perkebunan organik. Koperasi Takesi ini bukan hanya menciptakan lingkungan sekitarnya yang lebih bersih tetapi juga menjadi sumber pendapatan bagi anggota-anggotanya. “wah dengan dibentuknya koperasi ini merupakan ide yang sangat bagus, TPST MBR ini bisa jadi inspirasi nih” ujar fahtia. Semangat mereka membuat kami semakin sadar bahwa perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang konsisten.

Selanjutnya, kami mengunjungi Bank Sampah Puspa Cindra Kana (PCK), yakni sebuah Bank Sampah Unit yang berlokasi di tengah pemukiman penduduk di area Sunter Jaya, Jakarta Utara. Bank sampah ini mengajak warganya untuk memilah sampah dari rumah hingga mengolah sampah rumah tangga menjadi berbagai produk unik, seperti eco enzyme, pot dari galon bekas, dan roster hijau dari sampah tak bernilai yakni Multilayer Plastic (MLP).

“Wah, keren banget ternyata banyak produk yang dihasilkan dari pengelolaan sampah!” seru Nadiyah yang saat itu berkunjung ke Bank Sampah PCK. Melihat kreativitas yang muncul dari limbah plastik membuat kami tersadar bahwa di tangan yang tepat, sampah bisa diubah menjadi karya yang berguna dan bahkan menginspirasi.

Terlebih pengurus bank sampah yang rata-rata merupakan ibu rumah tangga tetapi mempunyai komitmen yang kuat dan semangat membara layaknya anak muda, ternyata berpengaruh besar terhadap pengelolaan sampah terutama pada ranah bank sampah. Dan bukan hanya itu loh, para ibu-ibu pengurus juga berperan sebagai penggerak, motivator, serta aktor utama dalam aksi pengelolaan sampah terhadap bank sampah nya masing-masing.

Perjalanan kami berlanjut ke mitra lainnya yakni ADUPI (Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia), Kibumi dan UD Indah Plastik. Di Kibumi, kami mempelajari proses pengepresan plastik PET, terutama botol plastik bekas, menjadi bentuk padat yang siap didistribusikan. Tidak hanya itu, Kibumi juga memberi kesempatan kerja kepada ibu-ibu dan bapak-bapak di sekitar lingkungan mereka, menciptakan dampak sosial yang positif.

Di UD Indah Plastik, proses pengolahan plastik lebih lengkap. Mereka mengolah botol plastik menjadi serpihan kecil yang nantinya dapat dijadikan bahan baku untuk produk daur ulang. Melalui proses yang teliti, dari pemilahan, pembersihan, hingga penggilingan, kami menyaksikan bagaimana limbah yang dianggap tak berharga diubah menjadi bahan yang siap dipakai oleh industri.

"Wahh tenyata seru banget bisa lihat langsung proses daur ulangnya dari awal sampai akhir!" ujar Adinda setelah melihat langsung proses pengolahan plastik di UD Indah Plastik.

Sebagai langkah akhir minggu itu, kami mengunjungi Warehouse Waste4Change dan RECO, dua perusahaan yang bergerak di bidang daur ulang plastik. Di Waste4Change, kami belajar bagaimana plastik HDPE dan polietilen diolah menjadi bahan baku daur ulang. Proses ini merupakan bagian dari rantai pengelolaan sampah yang membantu mengurangi limbah plastik yang mengotori lingkungan.

Kunjungan terakhir kami adalah ke RECO, yang memiliki teknologi untuk mengubah plastik bekas menjadi pelet plastik, produk akhir yang siap digunakan oleh industri lain. “Ih keren banget bisa jadi bentuk kaya gitu!” seru Yoshi yang saat itu datang kunjungan. Dukungan teknologi modern dan tenaga kerja yang berdedikasi menjadikan RECO salah satu mitra PSC yang krusial dalam mencapai tujuan keberlanjutan.

"Setelah ikut kegiatan ini, aku jadi paham kalau pengelolaan sampah plastik itu penting banget. Melihat bagaimana mitra PSC mengubah limbah jadi barang berguna bikin aku sadar, kita semua bisa berkontribusi. Mulai dari hal kecil seperti memilah sampah di rumah, semua bisa jadi bagian dari solusi."ujar Fahtia, salah satu anggota magang yang ikut serta kegiatan tersebut.

Perjalanan ini membuka mata kami bahwa pengelolaan sampah plastik memerlukan kerja sama yang erat dari hulu ke hilir. WWF-Indonesia bersama para mitra-mitranya terus berkomitmen dan berkolaborasi untuk menghadirkan solusi nyata dalam penncegah sampah plastik terhadap pencemaran lingkungan. Sebagai individu, kita pun dapat berperan dalam upaya ini, mulai dari memilah sampah di rumah hingga mendukung inisiatif daur ulang. Dengan langkah-langkah kecil yang konsisten, kita bersama bisa menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Standard

Adinda Fitri A, Fahtia Maharani, Nadiyah Putri Z, Yoshi Julia R

PENEKANAN PENGGUNAAN PLASTIK SEKALI PAKAI MELALUI PROGRAM YOUTH ACTIVIST

klestiarsi — Fri, 05 Jan 2024 06:48:25 +0000

PENEKANAN PENGGUNAAN PLASTIK SEKALI PAKAI MELALUI PROGRAM YOUTH ACTIVIST klestiarsi Jum, 01/05/2024 - 13:48

Dunia telah dihadapkan pada situasi buruk akibat perubahan iklim. Negara-negara di dunia telah memberikan perhatian yang serius terhadap isu perubahan iklim. Faktanya, perumpamaan "bumi sudah tidak lagi ramah" telah menggambarkan kekalutan di dunia ini. Aktivitas buruk manusia merupakan salah satu faktor yang memperparah dampak perubahan iklim seperti penggunaan plastik yang berlebihan.

Penggunaan plastik menjadi kebutuhan sehari-hari manusia yang tidak dapat dilepaskan. Hal ini dikarenakan plastik sangat mudah ditemukan, digunakan, dan harganya relatif murah.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada tahun 2022, sampah terbanyak berasal dari sisa makanan sebanyak 40,3 persen dan plastik sebanyak 18,1 persen, dimana sampah tersebut berasal dari rumah tangga dengan persentase sebanyak 38,3 persen. Sedangkan, timbulan sampah sebanyak 36.190.195,05 ton/tahun (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2022). Dari data tersebut, diketahui bahwa laju penggunaan sampah plastik dan sampah makanan di Indonesia sangat tinggi.

Tentu saja, Indonesia menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar di dunia. Sifat konsumtif manusia yang disertai dengan minimnya pengetahuan untuk mengelola sampah telah memperburuk keadaan. Pengelolaan sampah rumah tangga dengan bijak masih belum dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Kurangnya tingkat kesadaran terhadap bahaya sampah plastik yang berlebihan, membuat masyarakat acuh tak acuh dalam penggunaan dan pengelolaannya. Tidak dapat dibayangkan bagaimana keadaan bumi, negara-negara, termasuk Indonesia jika timbulan sampah plastik semakin membludak. Oleh karena itu, dibutuhkan sinergisme bersama bagi setiap elemen dari level individu sampai dengan kelompok. Sinergisme inilah yang memiliki satu tujuan bersama untuk mengurangi sampah plastik di Indonesia.

Youth Activist Plastic Smart Citiesmerupakan program yang diinisiasi oleh WWF-Indonesia bekerja sama dengan Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB). Program ini bertujuan untuk mengajak anak muda untuk menjadi agen perubahan bangsa dalam mengampanyekan hidup berkelanjutan atau ramah lingkungan dengan mengurangi penggunaan sampah plastik. Program ini menyasar anak muda yang berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Keterlibatan anak muda sebagai agent of change merupakan langkah yang sangat tepat, karena sejak dini menyadarkan anak muda terkait penggunaan dan pengelolaan plastik dengan bijak. Plastik sekali pakai yang digunakan secara berlebihan akan menyebabkan adanya timbulan sampah. Faktanya, penguraian plastik sekali pakai membutuhkan waktu yang sangat lama hingga ratusan tahun.

Banyak dampak negatif yang akan terjadi seperti pencemaran lingkungan, sumber penyakit, dan pemanasan global akibat pembakaran sampah plastik. Oleh karena itu, melalui program ini anak muda dilatih untuk dapat mengendalikan sampah plastik. Pengukuran yang dilakukan setiap bulan sebagai bentuk pengendalian diri terhadap penggunaan plastik sekali pakai, bertujuan untuk menekan laju penggunaan pada level individu. Penggunaan botol minum, misting, dan bahan isi ulang dapat menjadi solusi untuk mengurangi sampah plastik. Tidak hanya itu, para youth activist juga diajarkan bagaimana mengelola sampah makanan (organik) dengan metode pengomposan. Terbukti, salah satu youth activist 2023 berhasil mengurangi sampah dengan persentase 100 persen melalui perbandingan pengukuran level individu pertama dan kedua pada program ini.

Sampah plastik merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan berpotensi menimbulkan dampak multidimensi. Permasalahan sampah ini dapat memperburuk dampak perubahan iklim. Untuk itu, sangat diharapkan masyarakat bersama-sama melakukan penekanan penggunaan plastik sekali pakai. Penekanan ini dapat dilakukan melalui konsep ekonomi sirkular dengan prinsip 5R yaitu rethink, reduce, reuse, recycle, dan repair. Keberhasilan ini akan bermanfaat bagi generasi sekarang dan generasi berikutnya.

Bayangkan jika seluruh anak muda di Indonesia melakukan program youth activist, ada berapa banyak sampah plastik yang akan berkurang? Pastinya akan menurunkan persentase jumlah sampah plastik. Maka dari itu, sangat dibutuhkan sinergi bersama untuk menjaga bumi yang lebih baik. Bumi akan diwariskan kepada generasi-generasi baru sebagai penerus. Sebagai generasi sekarang, hendaknya kita selalu menjaga kehijauan bumi dengan hidup yang sustainability agar terciptanya kehidupan yang berkualitas. Karena sejatinya, kualitas hidup generasi yang akan datang ditentukan oleh kita yang hidup di masa sekarang.

Sumber Data:Sumber Data:Sumber Data:Sumber Data:Sumber Data:Sumber Data:Sumber Data:Sumber Data:Sumber Data

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN). Diperoleh pada Desember 2023, dari Situs Web Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan: https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/

Standard

Ramadhania Septia Ningrum (Youth Activist 2023)

BMP: MERANCANG DAN MENJALANKAN INISIATIF PENGURANGAN SAMPAH PLASTIK DI SEKOLAH

Afif Dzakwan — Mon, 11 Dec 2023 18:55:33 +0000

BMP: MERANCANG DAN MENJALANKAN INISIATIF PENGURANGAN SAMPAH PLASTIK DI SEKOLAH Afif Dzakwan Sel, 12/12/2023 - 01:55

Best Management Practice (BMP) ini bertujuan untuk menjadi acuan bagi manajemen sekolah dalam menyusun dan menyelenggarakan inisiatif pengurangan sampah plastik di lingkungan sekolah. Lewat inisiatif yang dilakukan sekolah, diharapkan nantinya terjadi penurunan konsumsi sampah plastik oleh warga sekolah yang kemudian kebiasaan ini menjadi hal yang dilakukan tidak hanya di sekolah tetapi juga di kehidupan sehari-hari.

Unduh BMP di sini

Standard

WHERE DOES OUR WASTE GO?

larasaulia — Wed, 02 Mar 2016 09:08:26 +0000

WHERE DOES OUR WASTE GO? larasaulia Rab, 03/02/2016 - 16:08

Kelautan dan Perikanan

Artikel

Plastic Waste

Writer: Indarwati Aminuddin (National Coordinator of Responsible Marine Tourism WWF-Indonesia) and IA Dian Kusuma Dewi (Responsible Marine Assistant for Species Issues)

Koperasi Bank Sampah Komodo (KBSK) generated that there are approximately 2 tons of trash every month in Labuan Bajo with trash disposal rate was 0,8 kg per person per day. Sixty percent waste came from tourism activities and business, 20% from public facilities such as school, market, office, hospital and other 20% from residences. If we break it down again based on their type, 80% waste are inorganic such as plastic, bottle glass, cans, iron and 20% are organic such as food. Those trashes mostly end up in the old landfill of Manggarai Barat, or flows to Komodo National Park waters, stranded at the edge of the beach and on the road, and only small amount goes to Koperasi Sampah Komodo.

Tourists and residence have known about the accumulating waste in Labuan Bajo threatens marine animals, economy, and human health. But how to deal with it?

WWF-Indonesia developed the KBSK to empower community to take their own action in reducing waste and in the same time receiving economic incentive. WWF-Indonesia assists KBSK to develop a system to collect inorganic waste, separate, and sell them based on their value. In October 2015, WWF-Indonesia approaches tourism business players, such as tour operator, boat operator, agency, the authority of Komodo National Park, the authority of Harbor, and local government to work closely for managing waste program and policy.

As KBSK only employs a few staffs, reducing and collecting trash are just a small step to lessen the total waste volume in Labuan Bajo and Komodo National Park. This community was established in the end of 2014 with 11 members and well recognized for its collecting and recycling waste activities. The KBSK acts as a trader by buying recyclables i.e., plastics, paper, glass, aluminum items, and metals from locals and sorts the recyclables to increase the resale value. Finally, the KBSK sells sorted materials to a recycling company outside Labuan Bajo. The goal of this community is to diminish waste in Manggarai Barat, a big dream for this community. KBSK coordinator, Ari Daru, said that waste in Labuan Bajo as ‘public problem’ that couldn’t be coped by KBSK itself.

The community in Labuan Bajo are consist of more than 58 tourism business, 200 boat operators, and 230 thousand residences who live in 10 districts. They all have same urge to overcome waste problem, but still couldn’t find the best way to beat it. Classic dilemma of a small and under-developed island: How can we manage the waste? Some of community initiatives has been set up for waste management, for example Swiss Contact, Yayasan Komodo Kita or Eco Flores, but it still being a huge homework in Labuan Bajo.

Another question also arises: How many amount of waste entering the Komodo National Park ocean? Yes, we can easily spot plastic waste at the edge of the Pink Beach, Loh Buaya, Loh Liang, Kampung Komodo, Kampung Papagarang, but that’s only the tip of the iceberg. Not to mention the hazardous wastes infiltrate to the waters, we can barely see it. And when the raining season comes where mostly wastes come to Labuan Bajo, “Then you will see trash everywhere.”, Ari Daru said.

In October 2015, 23 tons of waste were collected and 23 million rupiahs of waste revenue was generated. This revenue is delivered by more than 200 customers. KBSK has reduced waste in Labuan Bajo and Komodo Park by taking plastic, cans, glass, and iron from 33 households with help from other collector unit like Om Roberts that assisted by Swiss Contact. It took almost two years for Ari Daru and his team at KBSK to manage their small step in the waste management program in Labuan Bajo, but it was all worth the effort.

Standard

Indarwati Aminuddin, IA Dian Kusuma Dewi

THE JOURNEY OF A PLASTIC CUP

larasaulia — Tue, 15 Sep 2009 07:23:25 +0000

THE JOURNEY OF A PLASTIC CUP larasaulia Sel, 09/15/2009 - 14:23

Climate and Market Transformation

Plastic Smart Cities

Artikel

Plastic Waste

Anissa S. Febrina , The Jakarta Post , Jakarta | Tue, 09/15/2009 11:17 AM | Environment

On a hot, humid day, a cup of water becomes our savior. But as soon as that cup is emptied — the speed depending on how thirsty you are — it gets tossed away, with little thought for what happens next.
But imagine if a plastic cup could share its journey …
Ouch! Whoa, what’s going on? Five minutes ago I was in a cooler box and now I’m in a waste bin alongside who knows what. Well, I guess I’m luckier than most to have ended up here. Others are simply thrown on the sidewalk, to be stepped on by passersby or flattened by vehicles.
The journey that one single discarded plastic cup — or anything plastic — makes from the moment it is tossed away is not a short one. It’s more of a cycle, involving a number of players along the way, as the formal and informal sectors of the country’s recycling industry try to make a profit out of dealing with used plastic.
And they have a lot of it to deal with.
Around 3.8 million tons of plastic products are manufactured each year, and only 2.1 million tons of raw material virgin polymer pellets are produced locally.
As the amount of additional imported raw materials fluctuates along with the foreign exchange rate and global oil price, recycled plastic products make up the shortfall.
As domestic waste sorting — into organic, glass, paper and plastic waste — has yet to become common practice among Indonesians, the informal sector still plays a significant role in making recycling happen. These entrepreneurs and workers — among them trash pickers, waste sorters and middlemen bosses — form the longest chain in the industry.
One of those on the frontline is 33-year-old Moh. Darmadi. A self-employed plastic-waste collector, he roams the streets and neighborhoods in South Jakarta’s Setiabudi equipped with a metal picker and a plastic sack on his back.
He heads out onto the streets each evening on the hunt for plastic treasure: bottles, cups and bags. He chooses to work the “night shift” as his territory is more crowded with street-side eateries, providing more things to collect in less time, he says.
“I used to work during the day, for three years here,” Darmadi says. “But then more people [trash collectors] arrived, so I shifted to later hours.”
What Darmadi collects he then sells to a nearby lapak — a term for businesses that buy waste material from trash collectors — in Karet Pedurenan. For a kilogram of plastic cups and bottles, he receives Rp 900; for plastic bags, he receives half that amount.

Darmadi is among the regular suppliers for the lapak run by 60-year old Sutoyo. Set up some 15 years ago, Sutoyo’s business receives around two dozen sacks filled with bottles and cups each day. Also in the waste he buys are bottle tops, empty shampoo bottles and a variety of other kinds of discarded plastic packaging.
His 13 workers, all of whom are his relatives from Central Java’s Tegal, sort the waste according to function and composition in two separate plots in the area, a vast vacant block of land tucked behind the skyscrapers in the Kuningan business strip.
Seventeen-year-old Sri Wahyuni uses a knife to peel labels off the colorless bottles and cups, once the plastic items have been sorted.
Workers such as Sri Wahyuni and Wahid Hasyim have become experts in what is what in the plastic world, after having lived and breathed it during their working lives.
“This type of gallon seal is the most expensive,” says Wahid, pointing to a seal. “It sells for Rp 4,500 a kilogram. They will be turned into seals again, while regular bottles and cups are usually made into yarn.”
Once a week, a truck comes and picks up the sacks of plastic and takes them to a plant in West Jakarta’s Cengkareng. Sumanto, owner of the plant, pays the lapak business Rp 10 million for a truck loaded with around 35 sacks of the waste.
“Bosses like Sumanto are the ones who set the price,” says Casmudi, manager of Sutoyo’s lapak. “Prices go up and down occasionally.”
In Sumanto’s plant, five workers re-sort the waste, flattening the bottles and cups, washing them, placing them in the sun to dry and then dumping the plastic into a Chinese-made crushing machine. A separate machine turns the stiffer colored kinds of plastics into pellets.
That’s as far as Sumanto’s business goes. Even with that relatively short process, his business books a minimum weekly turnover of Rp 45 million as he supplies some 9 tons of crushed plastics and pellets to a plastic factory in Bekasi — or even further afield.
“I used to supply crushed PP [polypropylene] to an exporter who sends it to China,” Sumanto says
And so that plastic cup that you drank from and tossed away could eventually end up right back in your house, perhaps in your kitchenware, in your polyester clothes, in the hair on the head of your daughter’s doll.
The plastic recycling business is, like most industries, affected by the financial situation elsewhere in the world.
For plastic manufacturers, recycled materials serve only as fillers when price of the virgin polymer rises along with the price of oil. And when oil is cheaper, recycled pellets —especially the ones that have to be imported — fall off the list.
Sumanto experienced this effect not so long ago. So instead of exporting, he started supplying his plastic to a plant in Bekasi that produces plastic cookie jars. Meanwhile, the colored pellets he produces go to a neighboring factory in Kapuk Muara that produces brooms, baskets and crates.
Is that all there is to plastic recycling? From bottles and cups to jars, from shampoo packaging to brooms?

“Plastic products can be recycled over and over,” says Lies A. Wisojodharmo, a researcher at the Technology Research and Application Agency (BPPT). “However, the quality of the end product will decrease unless virgin polymers are injected into the process.”
Currently, Indonesia’s plastic recycling industry consists of the huge informal sector and some 60 registered manufacturers using recycled materials in Java. All of these follow the mechanical recycling process of crushing and pelletizing, which is a cheaper method than the chemical one that has developed in European countries.
Still, with that industry, only about half of the plastic waste produced annually is being recycled. While plastic accounts for 13.9 percent of the waste in Greater Jakarta, only 6.5 percent is recycled, according to a World Bank pilot project on waste identification.
Which means there’s still a lot of room for developing Indonesia’s plastic recycling industry — and that might need to happen from the very beginning of the process.
“If plastic waste can be sorted from the source, it will increase the quality of the recycled product,” Lies explains.
“Some producers using plastic packaging like Aqua have provided crushing machines to some recycling business run by NGOs. But there is no guarantee of the supply of plastic waste to be able to run effectively,” she adds.
One way to guarantee a more steady supply of sorted waste is to create waste banks as in Thailand. Households there are encouraged to sort their plastic waste and drop the piles off at several points like community units or vihara.
“If the government wants to extend producers’ responsibility for plastic waste recycling, they would do well to create and subsidize programs like waste banks,” Lies said.
“It will help a lot in making the plastic recycling industry more efficient.”

Standard

Anissa S. Febrina