BAHASA LOKAL, PINTU MASUK MEMAHAMI MASYARAKAT ADAT
WWF-Indonesia baru saja menyelenggarakan kegiatan menarik berupa Kajian Sosial, Ekonomi, dan Budaya di Kampung Syukwo. Aktivitas ini bertujuan untuk mendalami bagaimana penduduk setempat melakukan pengelolaan hutan dengan sistem Sasi. Sistem ini adalah metode pemanfaatan hutan yang arif dan berdampak secara bermanfaat, terutama bagi gugusan hutan dan wilayah pesisir di Kampung Syukwo yang berada di Distrik Abun, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat Daya.
Kampung ini terletak di lokasi yang dikelilingi oleh panorama pesisir Abun yang indah dan berbatasan dengan kampung-kampung penyangga lainnya seperti Wau, Weyaf, Womom, dan Resye di garis Pantai Utara Samudra Pasifik. Untuk bisa mencapai lokasi Kampung Syukwo, perjalanan hanya dapat ditempuh dengan menggunakan jalur laut, baik dengan menaiki Kapal Sabuk Nusantara 112 maupun Long Boat atau dikenal juga dengan Perahu Johnson. Selama melakukan perjalanan dan petualangan menuju Kampung Syukwo, banyak pengalaman serta cerita baik tentang pengetahuan pengelolaan hutan yang selalu disampaikan oleh masyarakat setempat.
Tujuan tim ke Kampung Syukwo yaitu untuk melaksanakan kajian Sosial Ekonomi Budaya yang dimulai pada tanggal 26 hingga 29 Maret 2025, dengan melibatkan 4 orang anggota diantaranya, Sadrach Woisiri, Roberthus Titit, Jhon Wororit dan Glenn Ohee. Dalam kajian tersebut dilakukan penggalian informasi dengan metode FGD (Focus Group Discussion) yang dibantu dengan panduan pertanyaan yang telah disiapkan oleh tim sebagai bahan data, selain itu juga dilakukan wawancara ke beberapa masyarakat sekitar. Hal ini berguna untuk mengetahui potensi dan permasalahan sosial ekonomi yang ada di Kampung Syukwo.
Dari Data yang dikumpulkan, tercatat masyarakat Kampung Syukwo memiliki mata pencaharian utama yaitu bertani, menangkap ikan, dan berburu. Hasil mata pencaharian tersebut biasanya dijual kepada pengepul. Selain itu, warga masyarakat juga sering berdagang dengan Kapal Sabuk Nusantara 112 atau pergi ke Kecamatan Sausapor untuk memasarkan hasil yang mereka dapatkan. Secara budaya, masyarakat Kampung Syukwo masih memegang teguh kearifan lokal Suku Abun, terbukti dari praktik-praktik seperti sistem pembayaran dengan mas kawin, yang umum dilakukan dengan cara musyawarah dan gotong royong oleh masyarakat Kampung, Pembayaran mas kawin bisa berupa harta/benda seperti Kain Timur dan Piring, dan juga berupa ada tunai yang disebut dengan ‘uang kak’ (Hasil Wawancara, 2025). Selain itu, metodologi yang digunakan pada kajian ini juga untuk memfasilitasi ekspresi masyarakat tentang perspektif mereka mengenai kondisi sosial-ekonomi dan budaya yang berlaku di kampung tersebut.
Selama proses pengumpulan data, terdapat beberapa kendala, salah satunya saat wawancara dengan Bapak Bodowen Sedik yang memiliki keterbatasan dalam berbahasa Indonesia. Namun, hal ini dapat diatasi berkat bantuan Roberthus Titit, salah satu anggota tim yang juga berasal dari masyarakat Abun. Dengan menggunakan bahasa lokal, Bapak Sedik dapat lebih memahami pertanyaan dan menyampaikan informasi yang relevan, sehingga perannya dalam wawancara berubah dari semula pasif menjadi lebih aktif. Bahasa Abun sendiri mencerminkan identitas mereka sebagai bagian dari Suku Abun.
Penggunaan bahasa lokal merupakan aspek penting dalam proses pengumpulan data. Oleh karena itu, dibutuhkan setidaknya satu anggota tim yang mahir berbahasa lokal untuk menjembatani komunikasi antara tim dan masyarakat setempat. Selain itu, menerjemahkan istilah atau bahasa akademis ke dalam bahasa lokal yang lebih mudah dipahami juga menjadi hal yang sangat penting agar informasi dapat diakses secara lebih luas oleh masyarakat.
Bapak Sedik mengatakan” Nden re sibi suk sno ga more, tepga syur ee, kwe ee Kadit membi yenggras kamim me meri digane, mem bere koton daret retnde mo syur ee mo nden eee, karena syur nen wa menda, mekon sugit, nden juga ret nde, nden nento bi men sugit wa menggit: yang artinya “Hutan ini sudah kami jaga dari sejak nene moyang, karena hutan telah menjadi sumber kehidupan bagi kita”. Mama Welince berkata “Nden tepga mas wa men nden bi sugit si ron wa men” yang artinya “Hutan itu adalah sumber penghidupan bagi kita, makanan tersedia dan obat tersedia”.
Dari sejumlah jawaban-jawaban yang dilontarkan responden menggunakan Bahasa Abun, tim belajar bahwa pengetahuan masyarakat adat, misalnya terkait pelestarian sumber daya alam, akan tergali secara baik, ketika proses penggalian informasi diposisikan pada tingkatan kemampuan berkomunikasi yang sama antara tim kajian dan responden. Selain itu, penggunaan bahasa lokal ini juga telah meningkatkan pemahaman tim lebih mendalam tentang isu yang diteliti. Tanggapan yang diberikan oleh responden dalam bahasa Abun menggarisbawahi pentingnya pengetahuan adat, khususnya yang berkaitan dengan pelestarian sumber daya alam. Tim juga mengamati bahwa komunikasi dan pertukaran informasi yang efektif dapat terwujud jika kedua belah pihak terlibat dalam tingkat kompetensi komunikasi yang setara. Lebih jauh, penggabungan bahasa daerah secara signifikan meningkatkan pemahaman tim terhadap isu-isu relevan.